Ayat-Ayat Setan

(Dialihkan dari Ayat-ayat setan)

Insiden ayat-ayat setan, atau dikenal juga dalam literatur Islam sebagai Qissat al-Gharaniq (Kisah Burung-Burung Bangau), adalah nama sebuah kejadian di masa kenabian Muhammad, di mana ia pernah keliru mengira perkataan yang "dibisikkan oleh setan" sebagai wahyu dari Tuhan (Allah).[1]

Riwayat mengenai peristiwa ini dapat ditemukan dalam beberapa sumber, seperti Sirah nabawiyah yang ditulis oleh al-Wāqidī, Ibnu Sa'ad (juru tulis dari Waqidi) dan Ibnu Ishaq,[2] demikian pula pada tafsir oleh at-Thabarī yang kerap dianggap sebagai salah satu kitab tafsir yang paling benar (shahih),[3]Tafsir al-Jalalain, dan secara tidak langsung juga dalam Shahih Bukhari.

Ikhtisar Kisah

Bukhari melaporkan di dalam kitab koleksi hadits shahih-nya bahwa orang-orang Musyrik ikut bersujud bersama Muhammad ketika ia selesai membacakan Surat An-Najm:

Disampaikan Ibnu Abbas: Ketika Nabi ﷺ selesai membaca Surat an-Najm, Nabi bersujud, dan orang-orang Muslim, Musyrikin, Jin, dan umat manusia ikut bersujud bersamanya.[4]

Menurut ath-Thabari dan al-Jalalain pada tafsir-tafsir fenomenal mereka,[5][6] dan berbagai sumber Muslim lainnya, hal ini terjadi dikarenakan pada saat Muhammad menyampaikan ayat 19-20 dari Surah An-Najm dari Allah berikut:

{19} Pernahkan kalian memikirkan Al-Lat dan Al-'Uzza
{20} Dan Al-Manat, yang ketiga, (atau) yang satu lainnya?

Setan membisikkan kepada Muhammad kalimat yang justru memuja ketiga Dewi kaum Musyrikin tersebut, sehingga Muhammad menganggap bahwa kalimat dari setan itu adalah sebagai bagian dari Al-Quran, yang kemudian disampaikan oleh Muhammad ke khalayak ramai. Isi dari kalimat itu adalah:

Mereka adalah burung-burung bangau yang terbang tinggi; syafaat dari mereka sungguh sangat diharapkan.[7]

Pada malam harinya, Jibril datang dan mengabari Muhammad, bahwa Setan telah menyelipkan kata-katanya ke dalam wahyu Tuhan yang telah ia sampaikan. Dalam riwayat Ibnu Ishaq, Muhammad dikabarkan merasa sedih atas kejadian itu. Namun beberapa saat kemudian kesedihannya menghilang setelah Tuhan meyakinkannya dengan membatalkan (nasakh) ayat dari setan tersebut serta mengrimkan kembali ayat-ayat yang benar.[8][9][10]

Beberapa ulama Tafsir, seperti ath-Thabari percaya bahwa kejadian ini disebutkan kembali di dalam al-Qur'an pada Surah al-Hajj.

Tidak pernah kami mengutus seorang Rasul ataupun Nabi sebelum dirimu, melainkan ketika ia membacakan (wahyu), Setan melemparkan (suatu kebohongan) ke dalamnya. Namun Allah membatalkan apa yang telah Setan lemparkan tersebut. Lalu Allah mengukuhkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[11]

— QS 22:52

Berbagai Penerimaan Umat Muslim Terhadap Riwayat Ini

Islam Awal

Menurut Ibnu Taymiyyah "Para Ulama Islam awal (Salaf) sepakat mengatakan bahwa peristiwa ayat-ayat setan ini sesuai dengan Al-Qur'an. Dan ulama-ulama yang datang selanjutnya (Khalaf), yang mengikuti ulama-ulama Salaf, mereka berkata bahwa riwayat-riwayat ini telah direkam dengan isnad (rantai penyampaian) yang shahih dan mustahil untuk menolaknya, bahkan Quran sendiri menjadi bukti atasnya."[12] Biografi terawal mengenai Muhammad yang ditulis oleh Ibnu Ishaq (761–767) telah hilang tapi koleksi dari catatan-catatannya secara umum selamat di dalam dua sumber yaitu pada kitab Ibnu Hisyam (833) dan ath-Thabari (915). Di dalam kitab Thabari, Ibnu Ishaq adalah salah satu perawi dari riwayat ini, namun ini tidak ditemukan di dalam catatan Ibnu Hisyam, yang mengakui bahwa dirinya tidak memasukkan bagian-bagian yang dapat "membuat gelisah orang-orang tertentu."[13] Ibnu Sa'ad dan Al-Waqidi, dua penulis awal biografi Muhammad lainnya juga mencatatkan kisah ayat-ayat setan ini.[14][15]

Periode Abad Pertengahan Kemudian

Referensi dan tafsir mengenai ayat-ayat ini tampak dalam bagian awal periode.[16][17][18] Selain terdapat pada tafsir ath-Thabari, kisah ini juga terdapat pada tafsir dari Muqatil bin Sulaiman, Abdur Razzaq as- San'ani, Ibnu Katsir dan juga kitab naskh-nya Abu Ja‘far an-Nahhās, kitab Asbabun Nuzul dari Wahidi, dan bahkan di dalam kompilasi al-Durr al-Manthūr fil-Tafsīr bil-Mathūr tulisan as-Suyuti dari abad pertengahan akhir.

Penolakan terhadap insiden ini dimulai pada awal dari abad ke-4 Hijriah, seperti di dalam buku karangannya an-Nahhās yang mana terus diangkat oleh beberapa ulama seperti Abu Bakar bin al-Arabi (w. 1157), Fakhr ad-Din Razi (1220) begitupula al-Qurtubi (1285). Argumen penolakan paling komprehensif mengenai faktualitas insiden ini datang di dalam buku karangan Qadi Iyad, ash-Shifa‘.[19] Penolakannya terdiri atas dua basis. Pertama, bahwa kisah itu bertentangan dengan doktrin isma', yang mengklaim bahwa Nabi selalu mendapat perlindungan dari Allah dari kesalahan. Yang kedua adalah dia menganggap deskripsi dari rantai sanadnya tidak shahih. Ibnu Katsir berkata pada kitab tafsirnya bahwa berbagai isnad yang tersedia untuknya hampir semua rantai sanadnya mursal, atau tanpa Sahabat Nabi, walaupun menurut asy-Syafi'i ini tidak masalah kalau yang memursalkan adalah termasuk tabi'in tua. Uri Rubin menekankan bahwa terdapat versi-versi sanad yang lengkap sampai ke Ibnu Abbas, tapi ini hanya selamat dalam beberapa sumber, namun dihapus supaya kejadian ini tidak dianggap memiliki sanad yang shahih dan didiskreditkan.[20]

Ulama-Ulama Islam Modern

Walaupun para penulis tafsir pada dua abad pertama Hijriah menganggap riwayat ini tidak merugikan citra Muhammad sebagai nabi Islam, akan tetapi riwayat ini tampak mulai ditolak secara universal setidaknya sejak abad ke-13, dan kebanyakan ulama modern menganggap riwayat ini problematis, dalam artian bahwa riwayat ini dianggap sebagai "sangat sesat karena, dengan mengizinkan syafaat dari ketiga Dewi Kaum Musyrik, riwayat-riwayat tersebut telah mengikis otoritas dan kemaha-kuasaan Tuhan. Selain itu riwayat-riwayat itu membawa implikasi yang sangat merusak untuk ayat-ayat Tuhan secara keseluruhan, karena ayat-ayat yang diturunkan kepada Muhammad seakan-akan berdasarkan keinginannya untuk melunakkan ancaman terhadap dewa-dewa Musyrikin."[21]

Lihat juga

Catatan

Kepustakaan

  • Fazlur Rahman (1994), Major Themes in the Qur'an, Biblioteca Islamica, ISBN 0-88297-051-8 
  • John Burton (1970), "Those Are the High-Flying Cranes", Journal of Semitic Studies, 15: 246–264, doi:10.1093/jss/15.2.246. 
  • Uri Rubin (1995), The Eye of the Beholder: The Life of Muhammad as Viewed by the Early Muslims: A Textual Analysis, The Darwin Press, Inc., ISBN 0-87850-110-X 
  • G. R. Hawting (1999), The Idea of Idolatry and the Emergence of Islam: From Polemic to History, Cambridge University Press, ISBN 0-521-65165-4 
  • Nāsir al-Dīn al-Albānī (1952), Nasb al-majānīq li-nasfi qissat al-gharānīq (The Erection of Catapults for the Destruction of the Story of the Gharānīq) 
  • Prof. Dr. Hamka. Tafsir Al Azhar. XVII. Jakarta: PT Pustaka Panjimas. 

Pranala luar