Daging paus

Daging paus adalah daging dari paus untuk konsumsi manusia dan hewan lain, dan mencakup organ tubuh, kulit, dan lapisan lemaknya. Daging paus dimasak dengan berbagai cara dan dalam sejarah telah dikonsumsi di berbagai tempat di penjuru dunia, termasuk Eropa dan Amerika Kolonial.[1] Konsumsinya tidak terbatas pada penduduk di sekitar pantai karena daging dan lapisan lemaknya dapat diawetkan.

Daging paus di Pasar ikan Tsukiji, Tokyo
Daging paus di pasar ikan Bergen, Norwegia

Praktik konsumsi paus telah berlangsung hingga sekarang di berbagai negara seperti Jepang, Norwegia, Islandia, dan Kepulauan Faroe, juga oleh berbagai suku seperti Basques, Inuit, dan masyarakat pribumi Amerika Serikat, Siberia, dan Kepulauan Karibia.

Konsumsi daging paus bertentangan dengan usaha konservasi hewan liar menghormati hak asasi hewan. Selain itu, toksisitas pada hewan laut secara umum juga menjadi faktor ditentangnya konsumsi paus.

Sejarah

Pemburu paus suku Indian di Neah Bay, Washington, Amerika Serikat, 1910

Di Eropa, paus diburu sejak Abad Pertengahan untuk daging dan lemaknya.[2] Dalam hukum agama Katolik, paus masuk ke dalam kategori "ikan" sehingga dapat dikonsumsi pada Pra-Paskah dan puasa tertentu.[2][3] Penjelasan lainnya yaitu gereja mengkategorikan "daging panas" (hot meat) sebagai daging yang meningkatkan libido sehingga tidak cocok untuk dikonsumsi pada hari raya, dan "daging dingin" (cold meat) kebalikannya. Daging dari hewan dan bagian tubuh hewan yang terendam air, termasuk paus dan ekor berang-berang dikategorikan "daging dingin".[4]

Pemanfaatan daging paus tidak berakhir pada Abad Pertengahan saja melainkan terus terjadi hingga populasi paus menurun drastis karena eksploitasi berlebih.[5] Sehingga para pelaut harus pergi jauh hingga ke Dunia Baru untuk mendapatkan paus.[6][7]

Di awal sejarah benua Amerika, para pemburu paus memakan lapisan lemak paus setelah diolah, yang mereka namakan dengan "cracklings" atau "fritters" karena renyah seperti gorengan.[8][9] Namun di awal tumbuhnya perburuan paus skala besar, daging paus justru tidak dikonsumsi oleh banyak orang karena dianggap "tidak cocok" untuk dimakan oleh orang yang beradab.[10]

Pasca Perang Dunia II daging paus yang diawetkan seperti daging kornet sebagai alternatif konsumsi daging.[11] Rasanya hampir sama dengan daging kornet namun berwarna coklat[12] dan dikatakan oleh pejabat setempat bahwa daging paus "memiliki nilai pangan yang tinggi".[13]

Spesies yang diburu

Penelitian yang dilakukan Universitas Harvard melalui identifikasi DNA dari sampel daging yang dijual di pasar di Jepang menemukan tidak hanya paus minke (yang dilegalkan untuk diburu ketika itu) namun juga ada sebagian daging lumba-lumba yang dijual sebagai daging paus, juga paus dari spesies terancam seperti paus sirip dan paus bongkok.[14] Paus sirip memiliki nilai jual yang tinggi terutama daging bagian ekornya.[15] Di Jepang, paus yang diburu untuk tujuan "penelitian" dilegalkan untuk dijual secara terang-terangan.[16][17]

Toksisitas

Pengujian telah menemukan bahwa daging paus yang dijual di Kepulauan Faroe dan Jepang mengandung merkuri dengan kadar yang tinggi dan toksin lainnya. Merkuri ditemukan terutama di organ hati dengan kadar merkuri 370 mikrogram per gram daging, 900 kali lebih tinggi dari batas yang ditentukan pemerintah. Organ lainnya yang memiliki kadar merkuri yang tinggi adalah paru-paru dan ginjal paus. Disebutkan bahwa keracunan akut akibat konsumsi hati paus dapat terjadi hanya dengan sekali telan.[18]

Dampak lingkungan

High North Alliance menyebutkan bahwa jejak karbon perdagangan dan konsumsi daging paus jauh lebih rendah dibandingkan daging sapi. Namun Greenpeace mengkritik dengan menyebutkan bahwa kelestarian spesies lebih penting dibandingkan rendahnya emisi gas rumah kaca dari konsumsi daging paus.[19] Selain Greenpeace, Sea Shepherd juga mengkritik perdagangan paus dan bergerak untuk melindungi paus.

Lihat pula

Referensi

Bahan bacaan terkait

Pranala luar