Komplikasi pada kehamilan

gangguan kesehatan yang terjadi selama kehamilan

Komplikasi kehamilan adalah masalah kesehatan yang terkait atau muncul selama kehamilan. Komplikasi yang terjadi terutama saat melahirkan disebut sebagai komplikasi persalinan obstetri, sedangkan masalah yang terutama muncul setelah melahirkan disebut sebagai gangguan nifas. Meskipun beberapa komplikasi dapat membaik atau sembuh sepenuhnya setelah kehamilan,namun memiliki dampak jangka panjang, menyebabkan morbiditas, atau dalam kasus yang paling serius dapat menyebabkan kematian ibu atau janin.[1][2][3] Beberapa komplikasi umum selama kehamilan meliputi anemia, diabetes gestasional, infeksi, hipertensi gestasional, dan preeklamsia.[4][5] Keberadaan komplikasi-komplikasi ini dapat mempengaruhi pengawasan laboratorium, pencitraan, dan manajemen medis selama kehamilan.[4]

Kehamilan adalah proses yang fisiologis namun pada suatu keadaan tertentu dalam perkembangannya dapat terjadi komplikasi sehingga dapat membahayakan ibu dan bayinya. Kehamilan yang memiliki resiko baik rendah atau tinggi akan berdampak pada persalinannya yang mengarah langsung pada morbiditas dan kematian ibu dan anak.

Komplikasi serius selama kehamilan, persalinan, dan masa nifas terjadi pada sekitar 1,6% ibu di Amerika Serikat,[6] dan sekitar 1,5% ibu di Kanada.[7] Setelah melahirkan (masa nifas), antara 87% hingga 94% wanita melaporkan mengalami setidaknya satu masalah kesehatan.[8][9] Sekitar 31% wanita melaporkan mengalami masalah kesehatan jangka panjang yang masih ada setelah enam bulan pasca persalinan.[10] Pada tahun 2016, komplikasi selama kehamilan, persalinan, dan masa nifas menyebabkan 230.600 kematian di seluruh dunia. Penyebab kematian ibu yang paling umum meliputi perdarahan pada ibu, infeksi nifas termasuk sepsis, hipertensi pada kehamilan, persalinan yang terhambat, dan aborsi yang tidak aman.[11][12]

Masalah pada ibu

Diabetes gestasional

Diabetes gestasional terjadi ketika seorang wanita yang sebelumnya tidak didiagnosis menderita diabetes kemudian mengalami peningkatan kadar gula darah selama kehamilan.[13][14] Ada berbagai faktor risiko, baik yang tidak dapat dikondisikan maupun yang dapat dikondisikan, yang menyebabkan meningkatnya komplikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dikondisikan termasuk riwayat diabetes dalam keluarga, usia ibu yang lanjut, dan faktor etnis. Faktor risiko yang dapat dikondisikan meliputi obesitas pada ibu.[14]

Selama kehamilan, kebutuhan insulin meningkat, yang memicu peningkatan produksi insulin oleh sel beta pankreas. Peningkatan permintaan ini disebabkan oleh peningkatan asupan kalori dan berat badan ibu, serta peningkatan produksi prolaktin dan hormon pertumbuhan. Diabetes gestasional meningkatkan risiko komplikasi pada ibu dan janin, seperti pre-eklamsia, kebutuhan akan persalinan sesar, persalinan prematur, polihidramnion, makrosomia, distosia bahu, hipoglikemia janin, hiperbilirubinemia, dan perluasan perawatan intensif neonatal. Tingkat risiko ini berkaitan dengan seberapa baik diabetes gestasional dikendalikan selama kehamilan, dengan pengendalian yang kurang maksimal akan berdampak pada hasil yang buruk.[14] Penanganan diabetes gestasional melibatkan pendekatan multidisiplin yang mencakup pemantauan kadar glukosa darah, modifikasi nutrisi dan pola makan, perubahan gaya hidup seperti peningkatan aktivitas fisik, manajemen berat badan ibu, dan penggunaan pengobatan seperti insulin.[14]

Hiperemesis gravidarum

Hiperemesis gravidarum adalah kondisi muntah parah dan terus-menerus yang mengakibatkan dehidrasi dan penurunan berat badan.[15][16] Kondisi ini mirip dengan mual pagi hari yang umum terjadi selama kehamilan, tetapi lebih parah. Diperkirakan gangguan ini mempengaruhi sekitar 0,3-3,6% wanita hamil dan merupakan penyebab utama ibu harus rawat inap saat usia kehamilan dibawah 20 minggu. Meskipun gejala mual dan muntah selama kehamilan seringkali hilang pada trimester pertama, beberapa wanita mengalami gejala yang berlanjut. Diagnosis hiperemesis gravidarum didasarkan pada kriteria berikut: muntah lebih dari 3 kali sehari, adanya keton dalam urin, serta penurunan berat badan lebih dari 3 kilogram atau 5% dari berat badan normal.[17]

Nyeri korset panggul

Gangguan nyeri korset panggul (PGP) adalah nyeri pada area di antara puncak tulang pinggul belakang dan lipatan gluteal, mulai dari periode kehamilan atau pasca melahirkan, yang disebabkan oleh ketidakstabilan dan pembatasan mobilitas. PGP terkait dengan nyeri pada simfisis pubis dan terkadang nyeri yang menjalar ke pinggul dan paha. Pada sebagian besar wanita hamil, PGP akan membaik dalam waktu tiga bulan setelah melahirkan, namun pada beberapa kasus, PGP dapat bertahan hingga bertahun-tahun, yang mengurangi toleransi terhadap aktivitas berat. PGP mempengaruhi sekitar 45% individu selama kehamilan, dengan 25% melaporkan nyeri yang parah dan 8% mengalami cacat berat. Faktor risiko untuk komplikasi PGP termasuk memiliki banyak anak, indeks massa tubuh yang tinggi, pekerjaan fisik yang berat, merokok, tekanan, riwayat trauma pada punggung dan panggul, serta riwayat nyeri panggul dan punggung bawah sebelumnya. Sindrom ini disebabkan oleh pertumbuhan rahim selama kehamilan yang meningkatkan tekanan pada area lumbar dan panggul ibu, menyebabkan perubahan postur dan melemahnya kekuatan otot lumbopelvis yang mengakibatkan ketidakstabilan panggul dan nyeri. Tidak jelas apakah hormon tertentu pada kehamilan berkontribusi pada perkembangan komplikasi PGP. PGP dapat mengurangi kualitas hidup, meningkatkan risiko sindrom nyeri kronis, memperpanjang cuti kerja, dan menyebabkan tekanan psikososial. Ada berbagai pilihan pengobatan berdasarkan tingkat keparahan gejala. Pengobatan non-invasif termasuk modifikasi aktivitas, penggunaan pakaian penyangga panggul, analgesia dengan atau tanpa istirahat dalam waktu singkat, dan fisioterapi untuk memperkuat otot gluteal dan adduktor guna mengurangi stres pada tulang belakang lumbar. Penanganan bedah dianggap sebagai opsi terakhir jika semua pengobatan lain gagal dan gejala PGP parah.[18]

Hipertensi

Wanita yang sudah memiliki riwayat hipertensi kronis sebelum hamil memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami komplikasi seperti kelahiran prematur, bayi dengan berat badan rendah, atau kematian janin. Wanita yang mengalami tekanan darah tinggi selama kehamilan dan mengalami komplikasi juga memiliki risiko tiga kali lipat terkena penyakit kardiovaskular dibandingkan dengan wanita yang memiliki tekanan darah normal dan tidak mengalami komplikasi selama kehamilan. Memantau tekanan darah selama kehamilan dapat membantu mencegah komplikasi dan penyakit kardiovaskular di masa mendatang.[19][20]

Tromboemboli vena

Tromboemboli vena, yang mencakup trombosis vena dalam dan emboli paru, adalah faktor risiko utama morbiditas dan mortalitas setelah melahirkan, terutama di negara-negara maju. Kondisi hiperkoagulabilitas selama kehamilan, yang diperparah oleh faktor risiko tambahan seperti obesitas dan trombofilia, membuat wanita hamil rentan terhadap trombosis. Tindakan pencegahan seperti penggunaan heparin dengan berat molekul rendah telah terbukti secara signifikan mengurangi risiko penyakit trombotik, terutama pada pasien dengan risiko tinggi, termasuk mereka yang menjalani operasi. Kesadaran di antara penyedia layanan kesehatan dan respons cepat dalam mengidentifikasi dan mengelola dini tromboemboli vena selama kehamilan dan setelah melahirkan sangat penting untuk merespons kondisi ini dengan cepat. Trombosis vena dalam, salah satu bentuk tromboemboli vena, memiliki insiden sekitar 0,5 hingga 7 per 1.000 kehamilan, dan merupakan penyebab kematian ibu terbanyak kedua di negara-negara maju setelah perdarahan.[21]

Anemia

Anemia adalah masalah umum yang sering terjaid selama kehamilan di seluruh dunia yang ditandai oleh rendahnya jumlah hemoglobin dalam darah pada salah satu trimester kehamilan. Perubahan fisiologis ini sering terjadi pada individu dengan kekurangan gizi atau penyakit kronis yang mempengaruhi produksi hemoglobin, seperti anemia sel sabit. Pencegahan anemia selama kehamilan melibatkan pendekatan yang kompleks, termasuk suplementasi makanan, terapi zat besi, dan pemantauan terus-menerus ibu dan janin dengan melibatkan berbagai profesional kesehatan.[22]

Infeksi

Kehamilan merupakan periode kritis di mana ibu hamil rentan terhadap bahaya infeksi yang dapat membahayakan kesehatan ibu dan bayi. Perubahan kompleks dalam fisiologi selama kehamilan dan peningkatan modulasi imunitas secara alami dapat meningkatkan risiko penularan penyakit seperti influenza, hepatitis E, dan sitomegalovirus.[23]

Kardiomiopati peripartum

Kardiomiopati peripartum adalah kegagalan jantung yang terjadi saat fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) menurun menjadi kurang dari 45%, muncul pada akhir kehamilan atau beberapa bulan setelah melahirkan. Gejalanya termasuk sesak napas dalam berbagai posisi atau saat beraktivitas, kelelahan, pembengkakan kaki, dan rasa sesak di dada. Faktor risiko meliputi usia ibu di atas 30 tahun, kehamilan dengan bayi kembar, riwayat keluarga dengan kardiomiopati, diagnosis kardiomiopati sebelumnya, preeklampsia, tekanan darah tinggi, dan keturunan Afrika. Meskipun patogenesis kardiomiopati peripartum masih belum jelas, kemungkinan penyebabnya meliputi proses autoimun, miokarditis akibat infeksi virus, kekurangan nutrisi, dan perubahan hemodinamik yang meningkatkan beban jantung. Kardiomiopati peripartum dapat berpotensi menyebabkan komplikasi serius seperti gagal jantung paru, edema paru, tromboemboli, cedera otak, dan bahkan kematian. Pengobatan umumnya mirip dengan gagal jantung pada pasien non-hamil, tetapi perhatian khusus diberikan pada keamanan janin. Contohnya, dalam pengobatan antikoagulasi untuk mengurangi risiko tromboemboli, heparin dengan berat molekul rendah digunakan karena lebih aman bagi janin daripada warfarin yang dapat menembus plasenta.[24]

Hipotiroidisme

Hipotiroidisme umumnya disebabkan oleh penyakit Hashimoto merupakan kondisi autoimun yang memengaruhi kelenjar tiroid dengan menghasilkan hormon tiroid dalam jumlah rendah. Gejalanya termasuk kelelahan, sensitivitas terhadap dingin, kram otot, sembelit, serta masalah dalam ingatan dan fokus. Diagnosis hipotiroidisme dilakukan dengan mengukur kadar hormon perangsang tiroid (TSH). Hipotiroidisme dianggap nyata jika TSH meningkat dan kadar tiroksin bebas (T4) menurun, sedangkan hipotiroidisme subklinis terjadi jika TSH tinggi namun kadar T4 bebas masih dalam batas normal.[25]

Masalah janin dan plasenta

Kehamilan ektopik

Kehamilan ektopik terjadi ketika embrio tumbuh di luar rahim. Jenis kehamilan ini sangat kompleks, di mana telur yang telah dibuahi tidak berhasil menempel di rahim, dapat mengakibatkan kegagalan kehamilan yang serius, bahkan membahayakan nyawa. Namun, penyebab pasti fenomena ini masih belum diketahui. Kondisi ini sering kali terkait dengan penyakit radang panggul (PID) atau pengangkatan tuba (salpingektomi). Faktor risiko kehamilan ektopik seperti merokok, usia ibu yang lebih tua, dan riwayat operasi atau trauma pada saluran tuba. Risiko juga meningkat dengan adanya penyakit radang panggul yang tidak diobati, yang kemungkinan disebabkan oleh adanya jaringan parut pada tuba falopi.[26] Untuk pengobatan, dalam sebagian besar kasus, diperlukan operasi minimal invasif untuk mengangkat janin bersama dengan tuba falopi. Jika kehamilan terdeteksi sangat awal, kehamilan dapat berakhir dengan sendirinya atau dapat diobati dengan metotreksat, yaitu obat yang digunakan untuk menggugurkan kehamilan secara medis.[27]

Keguguran

Keguguran adalah kehilangan kehamilan sebelum mencapai usia kehamilan 20 minggu.[28][29] Di Inggris, keguguran didefinisikan sebagai kehilangan kehamilan pada 23 minggu pertama.[30] Dukungan komprehensif diperlukan, termasuk konseling genetik dan pelayanan medis atau bedah yang sesuai. Relevansi dukungan psikologis dari anggota keluarga, kerabat, dan teman bagi individu yang berduka juga sangat penting. Tindakan yang paling efektif untuk mengurangi dampak psikologis pada keluarga adalah melalui otopsi dan konseling duka. Sebagian besar keguguran terjadi pada trimester pertama, dengan risiko keguguran yang menurun setelah usia kehamilan mencapai 12 minggu. Beberapa faktor, seperti usia ibu yang lebih tua atau kelainan kromosom, dapat meningkatkan risiko keguguran berulang. Keguguran dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, termasuk keguguran lengkap, keguguran yang tidak dapat dihindari, keguguran terlewat, dan keguguran yang terancam.[31]

Lahir mati

Lahir mati adalah kematian atau kehilangan sebelum atau selama persalinan. Keguguran dan lahir mati menggambarkan keguguran, namun keduanya berbeda tergantung kapan keguguran terjadi. Di Amerika Serikat, keguguran biasanya didefinisikan sebagai kehilangan bayi sebelum minggu ke-20 kehamilan, dan lahir mati adalah kehilangan bayi pada atau setelah usia kehamilan 20 minggu.[32] Lahir mati selanjutnya diklasifikasikan menjadi awal, akhir, atau cukup bulan.

  • Lahir mati dini adalah kematian janin yang terjadi antara 20 dan 27 minggu kehamilan.
  • Kelahiran mati yang terlambat terjadi antara 28 dan 36 minggu kehamilan lengkap.
  • Lahir mati cukup bulan terjadi antara 37 minggu kehamilan atau lebih.[32]

Solusio plasenta

Solusio plasenta yang didefinisikan sebagai terpisahnya plasenta dari rahim sebelum persalinan, merupakan penyebab utama perdarahan vagina pada trimester ketiga dan menyulitkan sekitar 1% kehamilan.[33] [34] Gejala yang muncul bervariasi: Beberapa wanita mengabaikan gejalanya sama sekali, sementara yang lain mengalami pendarahan ringan atau rasa tidak nyaman dan nyeri pada perut. Oleh karena itu, meskipun perbedaan tingkat keparahan gejala dan pemisahan plasenta secara tiba-tiba tidak relevan, hal ini masih dapat menyebabkan diagnosis dan penatalaksanaan klinis menjadi rumit. Beberapa penyebab dapat menyebabkan solusio plasenta. Hal ini mencakup: faktor ibu yang sudah ada sebelumnya (misalnya, merokok , hipertensi, usia lanjut).[35]

Faktor risiko umum

Faktor biologis

Risiko pada kehamilan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait. Gabrysch dan Campbell mengidentifikasi empat faktor diantaranya: (1) faktor sosiokultural; (2) manfaat/kebutuhan kehadiran yang terampil; (3) aksesibilitas ekonomi; dan (4) aksesibilitas fisik. McCarthy dan Maine juga menyimpulkan bahwa morbiditas pada kehamilan merupakan konsekuensi dari lima faktor penentu antara: (1) status kesehatan; (2) status reproduksi; (3) akses terhadap layanan kesehatan; (4) perilaku pelayanan kesehatan; dan (5) faktor yang tidak diketahui yang disebabkan oleh latar belakang sosial ekonomi dan budaya ibu. Faktor tingkat individu mencakup risiko biologis seperti usia, paritas atau jarak kelahiran serta faktor sosiodemografi, seperti pendidikan dan pekerjaan. Faktor individu berada dalam lingkungan sosiokultural yang lebih luas, yang mencakup faktor-faktor seperti etnis, agama, dan kekayaan. Hal ini, pada gilirannya, bergantung pada faktor politik dan kontekstual yang lebih luas seperti berfungsinya sistem kesehatan dan lokasi geografis.[36]

Kehamilan berisiko tinggi

Kehamilan berisiko tinggi akan mengancam kesehatan dan kehidupan janin dan ibu sehingga diperlukan perawatan khusus dari tenaga profesional. Beberapa kelainan dan kondisi dapat menyebabkan kehamilan dianggap berisiko tinggi (sekitar 6-8% kehamilan di AS) dan dalam kasus ekstrim dapat dikontraindikasikan . Kehamilan berisiko tinggi menjadi fokus utama para dokter spesialis pengobatan ibu-janin. Kelainan serius yang sudah ada sebelumnya dan dapat mengurangi kemampuan fisik seorang wanita untuk bertahan hidup selama kehamilan mencakup serangkaian cacat bawaan (yaitu, kondisi yang dialami wanita tersebut saat dilahirkan, misalnya cacat jantung atau organ reproduksi, beberapa di antaranya tercantum di bawah ini: di atas) dan penyakit yang didapat kapan saja selama hidup wanita tersebut.[37]

Referensi