Serayo (Kerinci)

sistem gotong royong masyarakat suku Kerinci
(Dialihkan dari Serayo)

Serayo atau nyanyo adalah sistem gotong royong dalam masyarakat suku Kerinci yang berada di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Sistem ini juga sering disebut baselang atau berselang. Pada prinsipnya, serayo merupakan gotong royong yang menguntungkan individu atau memenuhi kepentingan seseorang yang meminta bantuan untuk mengerjakan sesuatu. Adapun permintaan tersebut dilakukan oleh salah satu pihak kepada kaum kerabat terdekatnya, para tetangga yang berada di dekat rumahnya, maupun warga sekampung (kelurahan ataupun dusun). Orang yang dimintai pertolongan akan memberikan bantuan sesuai dengan permintaan pihak yang memerlukan bantuan. Dalam sistem serayo terlihat adanya unsur kerja sama dalam mengerjakan sesuatu yang dipimpin oleh orang yang meminta pertolongan. Orang yang diminta biasanya tidak menolak dan dapat diperkirakan warga akan "membalas" kebaikan sebelumnya.

Etimologi

Istilah serayo atau nyanyo lebih dekat kepada pengucapan yang dipengaruhi oleh bahasa Minang,[1][2] sedangkan istilah baselang atau berselang lebih dekat pengucapannya kepada bahasa Melayu.[3] Serayo atau nyanyo berarti "menyampaikan maksud yang akan dikerjakan", sedangkan baselang atau berselang berarti "kerja sama dalam bidang mata pencaharian hidup".[4] Menurut Novendra, serayo berwujud pengerahan tenaga kerja tanpa adanya unsur pamrih seperti halnya kegiatan gotong royong.[a] Kegiatan ini lebih menjurus kepada kerja sama yang menguntungkan individu atau memenuhi kepentingan seseorang yang meminta bantuan untuk mengerjakan sesuatu.[5] Lawan dari kegiatan serayo adalah gawe karepat, yaitu gotong royong untuk menyelesaikan kepentingan umum (seperti membuat jalan desa, memperbaiki jembatan, membersihkan saluran irigasi, dan sebagainya). Untuk membedakannya dengan serayo, masyarakat suku Kerinci cukup menyebutnya dengan istilah gotong royong atau kerja bakti saja.[6]

Latar belakang

Gunung Kerinci.

Suku Kerinci adalah suku asli yang mendiami wilayah Dataran Tinggi Kerinci yang berada di Jambi.[7][8] Sebagai salah satu suku yang dikenal dekat dengan alam, suku Kerinci banyak melahirkan beragam peninggalan kebudayaan dan kearifan lokal yang kaya akan nilai budaya.[9] Beragam benda budaya yang dapat ditemukan di berbagai pelosok alam Kerinci antara lain batu megalit, punden berundak, menhir, dan berbagai artefak lainnya, termasuk prasasti Kerinci (lebih dikenal dengan nama Tambo Kerinci)[b][10] yang ditulis di daun lontar, tanduk, dan ruas bambu yang berumur ribuan tahun.[11] Adapun "Kerinci" adalah nama awal sebuah gunung serta danau dan wilayah yang berada di sekitarnya disebut dengan nama yang sama. Dengan demikian, daerahnya disebut dengan Kerinci (Kurinchai, Kunchai, atau Kinchai dalam logat asli), sedangkan penduduknya disebut dengan orang Kerinci atau suku Kerinci. Pada masa lalu, lembah Kerinci telah dihuni oleh penduduk pribumi yang disebut sebagai kecik wok gedang wok.[12]

Asal-usul

Wanita dan anak-anak desa suku Kerinci pada masa Hindia-Belanda.

Tidak diketahui secara pasti mengenai awal-mula dilakukannya kegiatan serayo oleh masyarakat suku Kerinci. Faktor yang membuat munculnya sistem serayo (terutama dalam bidang pertanian) adalah adanya kepemilikan tanah pertanian, baik milik sendiri maupun milik kerabat (tanah pusaka) atau milik adat (tanah adat).[13] Mereka yang memiliki lahan pertanian luas akan membutuhkan bantuan dari orang lain untuk mengolah dan merawat lahannya, sedangkan mereka yang tidak memiliki lahan pertanian biasanya akan menumpang tanam atau mengerjakan lahan pertanian dari pemilik lahan dengan sistem bagi hasil. Selain itu, kegiatan serayo juga tumbuh karena adanya kesadaran dalam kelompok masyarakat kecil, seperti halnya kegiatan gotong royong lain di daerah perdesaan.[14]

Sejak zaman dahulu, masyarakat suku Kerinci mengerjakan sawah maupun terlibat dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan dilakukan secara gotong royong tanpa memberikan upah kepada orang yang telah membantunya. Imbalan yang diterima hanya berupa makanan dan minuman yang disantap bersama dan disediakan oleh pihak yang meminta bantuan.[15] Pada waktu yang lain, ketika pihak yang memberikan bantuan memerlukan pertolongan, pihak yang telah menerima bantuan memiliki kewajiban untuk membalas jasa pihak yang telah membantunya.[16]

Kegiatan serayo dalam bidang mata pencaharian hidup hanya dilakukan untuk mengolah lahan pertanian dan perkebunan, seperti menanam padi di sawah dan membersihkan ladang atau kebun. Dalam bidang peternakan hanya dikenal sistem penggembalaan ternak yang dilakukan dengan bagi hasil antara pemilik ternak dengan orang yang memeliharanya.[17] Adapun kegiatan serayo dalam bidang mata pencaharian hidup lain adalah membuka hutan untuk dijadikan sebagai kebun atau ladang. Upaya tersebut dapat memupuk sifat gotong royong karena dalam kegiatan ini para pelakunya akan saling membantu dan secara bergiliran mengerjakan bagian masing-masing.[18]

Bentuk

Serayo merupakan ajakan dari seseorang untuk bergotong royong menyelesaikan pekerjaan tanpa upah. Kegiatan serayo mencakup berbagai bidang, seperti pertanian, peternakan, pembangunan rumah, dan upacara adat. Sistem dalam serayo tidak mengenal adanya pembagian tingkatan kerja berdasarkan keahlian. Hal ini disebabkan karena serayo sudah berulang kali dilaksanakan dalam masyarakat. Keahlian akan dipilah-pilah ketika dilaksanakan gotong royong dalam mendirikan rumah dan upacara adat.[19] Pembagian kerja dalam aktivitas membuat rumah memang diperlukan mengingat rumah dibuat sebagai tempat berlindung dalam jangka waktu yang lama, sedangkan pembagian kerja dalam gotong royong upacara keagamaan sangat diperlukan karena tidak semua masyarakat suku Kerinci benar-benar paham dengan adat. Serayo dalam upacara adat biasanya dipimpin oleh sko depati (pemimpin adat tertinggi)[c] dan sko ninik mamak (pemimpin dalam kekerabatan).[d][20] Adapun upacara adat tersebut antara lain upacara lingkaran hidup (kehamilan, kelahiran, pernikahan, dan kematian), upacara membuka tanah, dan upacara mendirikan rumah.[21]

Pemberitahuan serayo pada masa lampau dilakukan dengan cara memukul canang (gong kecil) mengelilingi kampung, tetapi ada juga yang mengunjungi rumah orang-orang yang hendak dimintai pertolongan sambil membawa sirih pinang untuk dicicipi kaum kerabat atau tetangga dekat yang didatangi. Apabila dirasa sudah cukup banyak orang yang didatangi, si pembawa sirih pinang akan kembali ke rumahnya karena dia menginginkan bantuan tenaga dari orang yang dikunjungi saja.[22][23]

Kegiatan serayo dibagi menjadi dua berdasarkan jumlah orang yang berpartisipasi di dalamnya. Kegiatan gotong royong serayo berskala kecil atau kelompok kecil disebut dengan mbobo, yaitu hanya diikuti oleh 5–10 orang. Adapun kegiatan gotong royong serayo berskala besar disebut dengan andin, yaitu diikuti oleh lebih dari 10 orang. Serayo berskala besar biasanya ditujukan untuk membuka ladang. Gotong royong serayo dalam kelompok kecil atau mbobo biasanya diikuti oleh sko tigo takah (tiga perangkat pemimpin informal). Kelompok kecil dari sko tigo takah ini antara lain sko depati (pemimpin adat tertinggi), sko ninik mamak (pemimpin dalam kekerabatan), serta sko anak jantan atau tengganai dan sko anak betino atau semenda (laki-laki dan perempuan dewasa). Serayo dalam ruang lingkup ini hanya diikuti oleh orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan satu sama lain. Biasanya, serayo ini dilakukan erat kaitannya dengan pengolahan tanah pusaka.[24]

Sistem serayo telah melembaga dalam kehidupan masyarakat Kerinci dan mereka memiliki kewajiban untuk memenuhinya sebagai kewajiban sosial. Kerabat dekat maupun tetangga yang menerima permintaan serayo biasanya tidak mungkin menolak.[25] Hal ini disebabkan karena seseorang yang mau memberikan bantuannya berharap apa yang dilakukannya nanti akan mendapatkan balasan dari orang yang telah dibantunya. Mereka harus membalas budi bantuan yang telah diberikan suatu saat nanti.[26] Masalah dalam kegiatan serayo muncul ketika masyarakat yang tidak pernah aktif dalam kegiatan ini tidak akan ditolong apabila mempunyai maksud mengerjakan sesuatu. Hal ini disebabkan karena yang bersangkutan tidak pernah memberikan jasanya.[14][27]

Ketentuan

Ketentuan yang selama ini berlaku dalam sistem serayo bukanlah berdasarkan perjanjian perdata. Tidak ada ketentuan formal dalam serayo karena sistem ini telah menjadi suatu kebiasaan yang dilakukan pada masa lampau oleh nenek moyang suku Kerinci, seperti layaknya sistem gotong royong di daerah lain yang berada di Indonesia. Serayo dilaksanakan dari awal sampai selesai, biasanya dimulai sejak pagi hari sampai dengan sore hari. Apabila pada siang hari aktivitas serayo belum selesai, mereka akan kembali ke rumah untuk melaksanakan ibadah salat zuhur atau makan siang bersama di sekitar tempat gotong royong tersebut dilaksanakan.[28]

Makanan dan minuman yang disediakan dalam serayo dalam bahasa setempat dinamakan dengan minum kwo. Minum kwo sudah menjadi kelaziman untuk disediakan mengingat yang melakukan serayo tentu akan haus dan lapar. Apabila minum kwo ini tidak disediakan, orang yang meminta tolong dianggap sebagai orang yang pelit. Keluarga yang pelit biasanya tidak banyak yang mau membantu, meskipun itu kaum kerabatnya sendiri. Bagi orang-orang yang jarang atau tidak pernah mengikuti serayo, konsekuensinya mereka tidak akan ditolong ketika meminta bantuan. Seseorang baru mau membantu jika diberi imbalan berupa uang atau padi sebanyak yang telah disepakati.[29]

Hasil

Kegiatan serayo dapat mengurangi beban kerja individu dalam masyarakat Kerinci. Kegiatan mengolah sawah, mendirikan rumah, menggembalakan ternak, ataupun melaksanakan upacara keagamaan sulit untuk dilakukan sendiri. Untuk memudahkan pekerjaan tersebut, diperlukan bantuan tenaga orang lain. Cara termudah dan murah adalah dengan melakukan kegiatan serayo bersama-sama keluarga dekat maupun tetangga.[30] Berdasarkan segi non-material, kegiatan serayo mempererat hubungan kekeluargaan antar warga sebuah desa. Menurut Marbakri, sistem serayo akhirnya melahirkan suatu kesadaran sebagai hasil dari pergaulan sosial mereka di lingkungan sekitarnya. Hal ini disebabkan karena unsur utama dari serayo adalah gotong royong atau kerja sama guna mewujudkan keteraturan sosial dalam masyarakat karena mereka akan merasa bahwa pekerjaan tersebut adalah tanggung jawab bersama.[31] Melalui serayo, aktivitas ini menjadi salah satu unsur persatuan dan kesatuan di antara sesama masyarakat suku Kerinci.[32]

Lihat pula

Catatan

Rujukan

Daftar pustaka

Pranala luar