Intervensi koroner perkutan

Intervensi koroner perkutan (PCI) adalah tindakan non-bedah yang dilakukan untuk menangani penyempitan arteri koroner jantung yang ditemukan akibat adanya penyakit arteri koroner . Tindakan ini meliputi angioplasti koroner dan pemasangan stent, yang merupakan penyisipan tabung kawat-jala permanen. Kawat-jala ini dapat berupa stent dengan salut obat (drug eluting stent (DES)) atau stent tanpa salut obat (bare metal stent (BMS)).[1] Balon untuk mengantarkan stent dari kateter angioplasti awalnya dipompa dengan sebuah alat untuk memaksa kontak antara penyangga stent dan dinding pembuluh darah (aposisi stent). Hal ini dapat meningkatkan diameter pembuluh darah tersebut. Tindakan ini menggunakan kateterisasi koroner untuk memvisualisasikan pembuluh darah pada pencitraan sinar-X. Dokter spesialis jantung konsultan kardiologi intervensi dapat melakukan angioplasti koroner setelah terlebih dahulu memperoleh akses aliran darah melalui arteri femoralis atau radialis.[butuh rujukan]

Tindakan angioplasti koroner pertama kali diperkenalkan di Swiss pada tahun 1977 oleh Andreas Gruentzig, seorang ahli radiologi dan kardiologi asal Jerman.[2]

Penggunaan

Angiografi koroner dan angioplasti pada infark miokard akut (kiri: RCA tertutup, kanan: RCA telah melebar)
Stenosis kritis dan ketat (95%) dari LAD bagian proksimal pada pasien dengan sindrom Wellens

Intervensi koroner perkutan secara umum digunakan untuk membuka aliran arteri koroner yang mengalami sumbatan dan mengembalikan aliran darah arteri ke jaringan jantung, tanpa memerlukan tindakan bedah jantung terbuka. Pada pasien yang mengalami sumbatan atau restriksi arteri koroner, PCI mungkin menjadi pilihan utama untuk mengalirkan kembali darah dan mencegah angina (nyeri dada), infark miokard (serangan jantung) dan kematian. Pada masa sekarang ini, PCI biasanya meliputi pemasangan stent, seperti BMS, DES, dan bioresorbable scaffolds (BRS) (atau stent yang dapat larut dengan alami). Penggunaan stent ini telah terbukti dapat memperbaiki hasil akhir setidaknya selama tiga bulan pertama setelah dilakukannya PCI; setelah itu, arteri dapat tetap membuka dengan sendirinya.[3]

Kejadian tidak diharapkan

Tindakan angioplasti koroner dilakukan secara luas dan memiliki beberapa risiko minimal.[4] Angioplasti koroner biasa dilakukan dengan tindakan invasif berbasis kateter yang dilakukan oleh ahli jantung utamanya kardiologi intervensi, seorang dokter yang memiliki keahlian khusus dalam prosedur intervensi jantung.[5]

Risiko paling serius dari tindakan ini adalah kematian, stroke, fibrilasi ventrikel (sering terjadi takikardia ventrikular yang berkelanjutan), infark miokard (serangan jantung, MI), dan diseksi aorta. Serangan jantung selama atau segera setelah dilakukannya tindakan ini ditemukan terjadi pada 0,3% kasus; pada kejadian ini mungkin diperlukan tindakan bedah pintas arteri koroner darurat.[6] Cedera otot jantung juga dapat terjadi pada setidaknya 30% dari keseluruhan prosedur PCI. Peningkatan enzim telah dikaitkan dengan hasil klinis selanjutnya seperti risiko kematian yang lebih tinggi, MI berikutnya, dan kebutuhan untuk prosedur revaskularisasi berulang.[7][8] Angioplasti yang dilakukan segera setelah infark juga memiliki risiko menimbulkan stroke, tetapi angka ini masih lebih sedikit daripada risiko stroke setelah dilakukannya terapi trombolitik.

Sebagaimana halnya tindakan lain yang ikut melibatkan jantung, komplikasi terkadang dapat menyebabkan kematian, meskipun angka ini tergolong rendah. Angka kematian selama tindakan angioplasti adalah 1,2%.[9] Terkadang nyeri dada dapat terjadi selama angioplasti karena tindakan balonisasi walaupun dalam waktu yang sedikit tetap dapat menghalangi suplai darah ke otot jantung. Risiko komplikasi ini lebih tinggi pada:[10]

  • Orang dengan usia lanjut berusia 65 tahun ke atas
  • Orang dengan riwayat penyakit ginjal atau diabetes mellitus
  • Perempuan
  • Orang dengan fungsi pompa jantung yang menurun
  • Orang dengan penyakit jantung yang luas dan mengalami blokade

Penggunaan

Angioplasti koroner perkutan merupakan salah satu tindakan invasif yang paling sering yang dilakukan selama dilakukan perawatan di rumah sakit AS. Angka ini menyumbang sekitar 3,6% dari seluruh tindakan di kamar operasi yang dilakukan pada tahun 2011.[11] Hanya saja di antara tahun 2001 dan 2011, angka ini terhitung turun 28% dari 773.900 tindakan yang dilakukan pada tahun 2001 menjadi 560.500 tindakan pada tahun 2011.[12]

Perbandingan dengan CABG

Pada kebanyakan penelitian pada masa sekarang ini, telah ditemukan bahwa CABG menawarkan beberapa kelebihan dalam upaya mengurangi angka kematian dan infark miokard pada orang dengan penyumbatan pembuluh darah ganda bila dibandingkan dengan PCI.[13] Penelitian dengan metode yang berbeda telah menyimpulkan adanya perlawanan antara efektivitas biaya relatif antara PCI dan CABG pada orang dengan iskemia miokard yang tidak membaik dengan tatalaksana kedokteran.[14][15][16]

Penelitian

Konsep yang dikenal pada masa kini mengakui bahwa setelah tiga bulan sejak tindakan PCI dilakukan, arteri akan mampu beradaptasi dan sembuh dan tidak lagi membutuhkan stent.[17] Revaskularisasi komplit dari seluruh arteri koroner yang mengalami penyempitan setelah STEMI terlihat lebih efektif untuk mencegah semua hal penting yang dapat merugikan jantung dan seluruh penyebab kematian. Tindakan ini terlihat lebih aman jika dibandingkan dengan tindakan yang hanya melakukan PCI pada pembuluh darah yang berpengaruh saja.[18]

Referensi

Pranala luar