Kedok Ketawa

Kedok Ketawa (juga dikenal dengan judul Belanda Het Lachende Masker) adalah film bandit tahun 1940 dari Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Ini adalah film pertama Union Film. Film ini disutradarai Jo An Djan dan dibintangi oleh Oedjang, Fatimah, Basoeki Resobowo, dan Eddy Kock. Film ini menceritakan pasangan muda yang menghadapi sekelompok preman dengan bantuan seorang bandit bertopeng.

Kedok Ketawa
Iklan koran (Surabaya)
SutradaraJo An Djan
Pemeran
  • Oedjang
  • Fatimah
  • Basoeki Resobowo
  • Eddy Kock
Perusahaan
produksi
Tanggal rilis
  • Juli 1940 (1940-07) (Hindia Belanda)
NegaraHindia Belanda
BahasaIndonesia

Diiklankan sebagai "campuran aksi kekerasan Indonesia ... dan romantika yang manis",[1] film ini banyak dipuji, terutama pada sinematografinya. Setelah kesuksesan film tersebut, Union membuat enam karya lainnya sebelum berhenti pada awal 1942 saat pendudukan Jepang. Film ini, yang diputar sampai setidaknya Agustus 1944, kemungkinan hilang dari peredaran.

Alur

Di Cibodas, Banten, seorang gadis bernama Minarsih (Fatimah) diselamatkan dari kepungan empat preman oleh Basuki (Basoeki). Mereka saling jatuh cinta dan berencana memulai hidup bersama. Akan tetapi, seorang juragan kaya tertarik menjadikan Minarsih istrinya dan mengirimkan satu geng untuk menculiknya. Basuki tidak mampu mengalahkan mereka, tetapi ia sendiri bekerja sama dengan seorang bandit berjulukan "Kedok Ketawa" (Oedjang), yang kemampuan kelahinya luar biasa. Setelah dua perkelahian melawan geng tersebut, Basuki dan Kedok Ketawa menang. Basuki dan Minarsih dapat melanjutkan hidup bersama-sama dengan tenang.[2]

Produksi

Basoeki Resobowo dan Fatimah, dua bintang dari Kedok Ketawa.

Kedok Ketawa adalah film pertama yang diproduksi oleh Union Films,[3] salah satu dari empat rumah produksi baru yang didirikan setelah kesuksesan Terang Boelan karya Albert Balink yang menghidupkan kembali industri film domestik. Union bermarkas besar di Prinsenlaan, Batavia (sekarang Mangga Besar, Jakarta) dan didanai oleh seorang pengusaha beretnis Tionghoa yang bernama Ang Hock Liem, meskipun Tjoa Ma Tjoen yang mengatur operasi dari hari ke hari.[4] Pengambilan gambar pada film tersebut dilakukan di Cibodas, dan menampilkan perkelahian, komedi, dan nyanyian.[5]

Kedok Ketawa disutradarai Jo An Djan dan dibintangi oleh Oedjang, Fatimah, dan Basoeki Resobowo. Anggota pemeran lainnya meliputi S Poniman dan Eddy Kock.[6] Oedjang sebelumnya merupakan aktor panggung sebelum bergabung di film ini, sementara Fatimah dan Basoeki adalah bangsawan dengan jenjang pendidikan tinggi.[a] Sejarawan film Indonesia Misbach Yusa Biran menulis bahwa inilah bukti bahwa film ini ditujukan pada kaum intelektual, sebuah manifestasi dari tujuan akhir Union "buat mengangkat derajatnya kesenian Indonesia."[7]

Setelah kesuksesan Terang Boelan (1937; berdasarkan dari The Jungle Princess), industri film domestik mulai memodelkan produksi mereka berdasarkan pada karya-karya Hollywood. Hal ini diharapkan untuk memastikan kesuksesan finansial. Sarjana film Indonesia Ekky Imanjaya dan Said Salim menyatakan bahwa Kedok Ketawa terinspirasi oleh novel Dracula karya Bram Stoker tahun 1897. Kedua penulis tersebut juga memberikan persamaan ilustrasi yang mempengaruhinya.[8]

Kedok Ketawa bukanlah film pertama pada waktu itu yang menampilkan pahlawan bertopeng. Tan's Film juga meluncurkan Gagak Item, dengan Rd Mochtar sebagai Gagak Hitam bertopeng, pada 1939,[9] dan juga Srigala Item yang diluncurkan oleh Java Industrial Film pada 1941, yang melanjutkan tren tersebut.[10] Seperti halnya film-film pada masa itu, Kedok Ketawa menyertakan lagu-lagu keroncong yang dinyanyikan S Poniman.[3]

Rilis dan tanggapan

Kedok Ketawa dirilis di Batavia bulan Juli 1940,[3] dan ditayangkan untuk pers tanggal 20 Juli.[11] Bulan September, film ini ditayangkan di Surabaya.[1] Di sejumlah iklan koran, seperti Pemandangan, film ini diberi judul Pendekar dari Preanger,[12] sedangkan di koran lain diberi judul Belanda Het Lachende Masker.[1] Film ini dipasarkan sebagai "campuran aksi kekerasan Indonesia ... dan romantika yang manis."[b][1]

Kritikus dan penulis naskah Saeroen, yang menjadi wartawan pada harian Pemandangan, memuji film ini terutama sinematografinya. Ia membanding-bandingkannya dengan film-film impor Hollywood.[13] Sebuah ulasan tanpa nama di Bataviaasch Nieuwsblad menyebutkan bahwa film ini mencampurkan sensibilitas pribumi dan orang Eropa dan memuji sinematografinya. Ulasan tersebut berkesimpulan film ini melampaui harapan orang-orang, tetapi terlihat jelas bahwa ini film pertama buatan studionya.[11] Ulasan lain di Soerabaijasch Handelsblad menyebutkan film ini adalah salah satu film buatan lokal terbaik sambil memuji sinematografi dan pemeranan tokohnya.[2]

Peninggalan

Setelah kesuksesan Kedok Ketawa, Saeroen bergabung dengan Union Film dan menulis empat film untuk perusahaan tersebut. Film-film tersebut tidak disutradarai oleh Jo An Djan, yang meninggalkan Union dan berpindah ke kompetitor-nya Populair's Film, melainkan disutradarai oleh R Hu dan Rd Ariffien.[14] Union Film memproduksi tujuh film pada tahun 1940 dan 1941 sebelum ditutup pasca-invasi Jepang pada awal 1942.[14] Dari seluruh pemeran utama dalam film tersebut, hanya Fatimah dan Oedjang yang tercatat melanjutkan karier akting mereka, keduanya tampil dalam beberapa produksi Union lainnya.[15] Namun, pada 1950an Resobowo melanjutkan kariernya di belakang layar, dengan bertugas sebagai sutradara seni pada film-film seperti Darah dan Doa (1950).[16]

Kedok Ketawa setidaknya ditayangkan hingga akhir Agustus 1944,[17] namun keberadaannya saat ini bisa jadi tergolong film hilang. Film-film yang dibuat di Hindia Belanda direkam di film nitrat yang mudah terbakar, dan setelah kebakaran menghanguskan sebagian besar gudang Produksi Film Negara tahun 1952, film-film nitrat lama ikut lenyap.[18] Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia yang dibuat sebelum 1950 tidak diketahui lagi keberadaan salinannya.[19] Akan tetapi, Katalog Film Indonesia yang disusun JB Kristanto menyebutkan beberapa film masih disimpan di Sinematek Indonesia dan Biran menulis bahwa sejumlah film propaganda Jepang masih ada di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.[20]

Catatan penjelas

Referensi

Bacaan lanjutan

Pranala luar