Kritik terhadap agama

kritik historis dan terkini terhadap ajaran agama dan keyakinan kepada Tuhan
(Dialihkan dari Kritikan terhadap agama)

Kritik agama adalah kritik terhadap konsep, doktrin, validitas, dan/atau praktik agama, termasuk implikasi politik dan sosial yang terkait.[1]

Kritik agama memiliki sejarah yang panjang. Sejarah kritik agama tercatat setidaknya dari abad ke-5 SM di Yunani kuno yang diawali oleh Diagoras, sang ateis dari Melos, dan pada abad ke-1 SM di Roma kuno dengan De Rerum Natura oleh Titus Lucretius Carus. Kritik agama terus berlanjut hingga sekarang ini dengan munculnya Ateisme Baru, yang diwakili oleh penulis dan wartawan seperti Richard Dawkins, Daniel Dennett, Sam Harris, dan Christopher Hitchens. Kritik agama juga telah digunakan oleh kritikus sastra, Harold Bloom, untuk menggambarkan tata-cara diskusi agama yang sekuler tetapi tidak bersifat anti-agama. Kritik agama merupakan suatu hal yang rumit karena terdapat beragam definisi dan konsep agama dalam budaya dan bahasa yang berbeda. Dengan adanya beragam kategori agama seperti monoteisme, politeisme, panteisme, nonteisme, dan agama tertentu yang beragam seperti Kristen, Yahudi, Islam, Taoisme, Buddhisme, dan banyak lainnya; tidak selalu jelas kepada siapa kritik ditujukan atau sampai sejauh mana kritik berlaku untuk agama-agama lain.

Sejarah

Penyair Romawi abad 1 SM, Titus Lucretius Carus, dalam karyanya De RerumNatura, menulis “But 'tis that same religion oftener far / Hath bredthe foul impieties of men”.[2] Sebagaiseorang filsuf aliran Epicurean, Lucretius percaya bahwa duniaterdiri semata-mata dari materi dan kekosongan, dan bahwa semua fenomena dapatdipahami sebagai akibat dari sebab-sebab yang alami. Lucretius, seperti Epicurus, merasa bahwaagama lahir dari ketakutan dan ketidaktahuan, dan bahwa memahami dunia akanmembebaskan orang dari belenggu tersebut;[3] tetapi, ia percaya pada dewa-dewa. Diatidak melawan agama tetapi melawan agama tradisional yang dilihatnya sebagaitakhayul karenamengajarkan bahwa dewa-dewa ikut campur dalam pergerakan dunia.[4]

Niccolò Machiavelli, pada awal abad ke-16mengatakan, “Kami, orang Italia adalah orang yang tidak beragama dan korup daripada orang lain... karena gereja dan perwakilannya telah mengajarkan kita contoh yang terburuk. Bagi Machiavelli, agama hanyalah alat yang berguna bagi seorang penguasa yang ingin memanipulasi opinipublik.[5]

Pada abad ke-18, Voltaire adalah deis dan ia sangat kritis terhadap ketidaktoleransiandalam beragama. Voltaire mengeluhtentang orang-orang Yahudi yang dibunuh oleh orang Yahudi lainnya karena menyembah anak lembu emas atau melakukan tindakan serupa. Ia juga mengutuk orang Kristen yang membunuh orang Kristen lainnya karena perbedaan dalam agama dan orang-orang Kristen yangmembunuh penduduk asli Amerika karena tidak mau dibaptis. Voltaire mengklaim bahwa alasan sebenarnya pembunuhan ini adalah karena orang-orang Kristen ingin menjarahkekayaan mereka yang tewas. Voltaire juga kritis terhadap ketidaktoleransianumat Muslim.[6]

Pada abad ke-18, David Hume mengkritik argumen teleologis untukagama. Hume menyatakan bahwa penjelasan alami untuk tatanan di alam semesta adalah wajar, lihatlah pendapatnya tentang Rancangan. Tujuan penting dari tulisan-tulisan Hume adalah untuk menunjukkan ketidakjelasan dasar filosofis agama.[7]

Pada awal abad ke-21, para Ateis yang baru yaitu Sam Harris, Daniel Dennett, Richard Dawkins danChristopher Hitchens merupakan kritikus agama yang menonjol.[8][9]

Rujukan

Lihat juga