Operasi Ke

Operasi Ke (ケ号作戦, Ke-go Sakusen) adalah operasi penarikan mundur tentara Jepang dari Guadalkanal yang berlangsung dengan sukses pada tahap akhir Kampanye Guadalkanal Perang Dunia II. Operasi berlangsung dari 14 Januari hingga 7 Februari 1943, dan melibatkan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di bawah pengarahan sepenuhnya dari Markas Umum Kekaisaran Jepang. Isoroku Yamamoto dan Hitoshi Imamura termasuk di antara komandan dalam operasi ini.

Pihak terlibatTentara Sekutu yang terdiri dari:
 Amerika Serikat
 Australia
 Selandia Baru Kekaisaran JepangTokoh dan pemimpinWilliam Halsey, Jr
Aubrey Fitch
Alexander Patch
Nathan F. Twining
Francis hal. Mulcahy
J. Lawton CollinsIsoroku Yamamoto
Hitoshi Imamura
Jinichi Kusaka
Gunichi Mikawa
Harukichi Hyakutake
Shintaro HashimotoKorban1 kapal penjelajah tenggelam,
1 kapal perusak tenggelam,
3 kapal patroli torpedo tenggelam,
1 kapal perusak rusak berat,
53 pesawat terbang hancur[1]1 kapal perusak tenggelam,
1 kapal selam tenggelam,
3 kapal perusak rusak berat,
56 pesawat terbang hancur[2]

Keputusan Jepang untuk mundur dan menyerahkan Guadalkanal ke tangan Sekutu didasarkan pada beberapa alasan. Segala upaya Jepang untuk merebut kembali Lapangan Udara Henderson di Guadalkanal berakhir dengan kegagalan dan menyebabkan korban besar bagi Jepang. Armada Angkatan Laut Jepang di kawasan itu juga menderita kerugian besar dalam berbagai misi pengiriman bala bantuan dan perbekalan di Guadalkanal. Di samping itu, perkiraan sumber daya yang dibutuhkan untuk upaya-upaya berikutnya merebut Guadalkanal dipandang telah memengaruhi keamanan strategis dan operasi-operasi Jepang di wilayah-wilayah Kekaisaran Jepang lainnya. Keputusan mundur telah mendapat dukungan dari Kaisar Hirohito pada 31 Desember 1942.

Operasi ini dimulai pada 14 Januari 1943 ditandai dengan kedatangan satu batalion pasukan infanteri di Guadalkanal yang bertindak sebagai pasukan barisan belakang sewaktu evakuasi. Sekitar waktu yang bersamaan, pesawat-pesawat dari angkatan darat dan angkatan laut Jepang memulai kampanye superioritas udara di sekitar Kepulauan Solomon dan Nugini. Selama kampanye udara berlangsung, satu kapal penjelajah Amerika Serikat ditenggelamkan Jepang dalam Pertempuran Pulau Rennell. Dua hari kemudian, pesawat-pesawat Jepang menenggelamkan satu kapal perusak Amerika yang sedang berada di dekat Guadalkanal. Operasi penarikan mundur dilaksanakan Jepang pada malam 1 Februari, 4 Februari, dan 7 Februari 1943 dengan memakai kapal-kapal perusak. Selain beberapa kali serangan udara dan serangan kapal patroli torpedo terhadap kapal-kapal perusak Jepang yang sedang melakukan evakuasi, Sekutu tidak berusaha secara aktif menghalangi penarikan mundur tentara Jepang. Para komandan Sekutu percaya operasi yang sedang dilakukan Jepang adalah operasi pengiriman bala bantuan dan bukan operasi evakuasi.

Secara keseluruhan, Jepang berhasil mengevakuasi 10.652 prajurit dari Guadalkanal hanya dengan korban satu kapal perusak tenggelam dan kerusakan pada tiga kapal perusak. Pada 9 Februari 1943, tentara Sekutu baru menyadari bahwa tentara Jepang sudah pergi dan menyatakan Guadalkanal sebagai daerah aman yang menandai berakhirnya perebutan Pulau Guadalkanal yang berlangsung selama enam bulan.

Latar belakang

Kampanye Guadalkanal

Pada 7 Agustus 1942, tentara Sekutu (terutama Amerika Serikat) mendarat di Guadalkanal, Tulagi, dan Kepulauan Florida di Kepulauan Solomon. Pendaratan Sekutu di pulau-pulau tersebut dimaksudkan untuk mencegah Jepang menggunakan Guadalkanal sebagai pangkalan militer yang mengancam rute perbekalan antara Amerika Serikat dan Australia. Sekutu juga bermaksud mengamankan pulau-pulau tersebut sebagai titik awal untuk sebuah kampanye yang bertujuan akhir mengisolasi pangkalan utama Jepang di Rabaul, dan sekaligus secara tidak langsung mendukung kampanye Nugini yang dilancarkan Sekutu. Pendaratan Sekutu di Guadalkanal mengawali Kampanye Guadalkanal yang berlangsung selama enam bulan.[3]

Jepang dikejutkan oleh pendaratan Sekutu. Pada senja 8 Agustus 1942, tentara Sekutu (terutama Korps Marinir Amerika Serikat) telah berhasil mengamankan Tulagi dan pulau-pulau kecil yang berdekatan, berikut sebuah lapangan terbang yang sedang dibangun Jepang di Guadalkanal, tepatnya di Tanjung Lunga. Sekutu kemudian menamakan lapangan terbang itu sebagai Lapangan Udara Henderson. Pesawat terbang Sekutu yang beroperasi dari Henderson disebut "Angkatan Udara Kaktus" sesuai dengan sandi Sekutu untuk Guadalkanal (Kaktus).[4]

Sebagai reaksi terhadap pendaratan Sekutu di Guadalkanal, Markas Umum Kekaisaran Jepang menugaskan Angkatan Darat 17 untuk merebut kembali Guadalkanal. Angkatan Darat 17 adalah kesatuan seukuran korps yang bermarkas di Rabaul di bawah pimpinan Letnan Jenderal Harukichi Hyakutake.[5] Ancaman pesawat-pesawat Angkatan Udara Kaktus menyebabkan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang tidak dapat menggunakan kapal-kapal angkut yang besar dan lambat untuk mengantarkan pasukan dan perbekalan ke Guadalkanal. Sebagai gantinya, kapal-kapal perang yang berpangkalan di Rabaul dan Kepulauan Shortland dipakai Jepang untuk mengantarkan pasukan ke Guadalkanal. Kapal-kapal perang Jepang yang sebagian besar adalah kapal penjelajah ringan dan kapal perusak dari Armada 8 di bawah komando Laksamana Madya Gunichi Mikawa biasanya dapat melakukan pelayaran bolak-balik ke Guadalkanal melalui Selat Georgia Baru hanya dalam satu malam. Konvoi diberangkatkan setelah matahari terbenam, dan kembali dengan selamat ke pangkalan sebelum matahari terbit. Misi-misi bala bantuan tersebut dilakukan pada malam hari untuk mengurangi kemungkinan diserang oleh pesawat-pesawat Angkatan Udara Kaktus. Jepang memakai konvoi kapal perang berkecepatan tinggi untuk mengangkut perbekalan selama berlangsungnya Kampanye Guadalkanal. Sekutu menyebut konvoi Jepang sebagai "Tokyo Ekspres", sementara pihak Jepang menyebutnya sebagai "Angkutan Tikus".[6]

Kawasan Kepulauan Solomon di Pasifik Selatan. Pangkalan utama Jepang di Rabaul berada di bagian kiri atas peta. Guadalkanal (kanan bawah peta) berada di ujung tenggara Selat Georgia Baru (disebut "The Slot" oleh Sekutu).

Dengan memakai pasukan yang diantar kapal-kapal perang ke Guadalkanal, Jepang berusaha sebanyak tiga kali untuk merebut kembali Lapangan Udara Henderson, dan semuanya berakhir dengan kegagalan.[7] Setelah gagal ketiga kalinya merebut Lapangan Udara Henderson, Jepang masih berusaha sekali lagi mengantarkan sisa Divisi Infanteri 38 dan peralatan berat mereka ke Guadalkanal. Namun misi tersebut digagalkan Sekutu dalam Pertempuran Laut Guadalkanal 12 November–15 November 1942. Akibat kehancuran armada Jepang dalam Pertempuran Laut Guadalkanal, Jepang membatalkan upaya berikutnya untuk merebut kembali Lapangan Udara Henderson.[8]

Pada pertengahan November, tentara Sekutu menyerang kedudukan Jepang di Buna-Gona, Nugini. Pimpinan Armada Gabungan angkatan laut Jepang yang bermarkas di Truk dan berada sepenuhnya di bawah komando Laksamana Isoroku Yamamoto menganggap gerak maju Sekutu di Nugini sebagai ancaman yang lebih besar bagi keamanan Kekaisaran Jepang dibandingkan kehadiran militer Sekutu di selatan Kepulauan Solomon. Oleh karena itu, perwira staf Armada Gabungan Angkatan Laut Jepang mulai menyiapkan rencana-rencana meninggalkan Guadalkanal, dan menggeser prioritas serta sumber daya untuk operasi-operasi mereka di sekitar Nugini. Pihak angkatan laut saat itu masih belum menginformasikan angkatan darat mengenai niat-niat mereka yang sebenarnya.[9]

Memasuki bulan Desember 1942, Jepang mengalami kesulitan besar dalam menjaga agar pasukan di Guadalkanal tetap mendapat perbekalan yang cukup akibat serangan udara dan laut Sekutu terhadap pangkalan-pangkalan dan konvoi-konvoi mereka. Sejumlah kecil perbekalan yang berhasil sampai di Guadalkanal ternyata tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan harian tentara Jepang. Hingga 7 Desember 1942, 50 prajurit Jepang tewas setiap harinya akibat malagizi, penyakit, serta serangan darat dan udara Sekutu. Seluruhnya Jepang mengirimkan hampir 30.000 prajurit angkatan darat ke Guadalkanal sejak dimulainya kampanye, namun hingga Desember 1942 hanya kira-kira 20.000 prajurit yang masih hidup. Dari jumlah tersebut hanya kira-kira 12.000 prajurit yang setidaknya masih fit untuk tugas tempur. Sisanya sudah tidak dapat ditugaskan akibat luka pertempuran, penyakit, atau malagizi.[10]

Kapal-kapal Angkatan Laut Kekaisaran Jepang terus menerus ditenggelamkan atau dirusak Sekutu dalam usaha mereka untuk menjaga agar tentara Jepang di Guadalkanal tetap memperoleh perbekalan yang cukup. Satu kapal perusak ditenggelamkan oleh kapal perang Amerika di Pertempuran Tassafaronga 30 November 1942. Satu kapal perusak lainnya berikut satu kapal selam tenggelam, dan dua kapal perusak dirusak serangan-serangan kapal patroli torpedo Amerika dan Angkatan Udara Kaktus ketika melaksanakan misi pembekalan kembali dari 3 Desember hingga 12 Desember 1942. Pihak angkatan laut Jepang makin bertambah frustrasi setelah mengetahui betapa sedikitnya perbekalan yang akhirnya benar-benar sampai ke tangan tentara Jepang di Guadalkanal. Pimpinan Armada Gabungan Jepang mulai menyatakan kekhawatiran kepada kolega mereka di angkatan darat tentang banyaknya kapal-kapal perang Jepang yang tenggelam atau rusak sewaktu melaksanakan misi perbekalan hingga dapat mengancam rencana-rencana strategis untuk melindungi wilayah Kekaisaran Jepang pada masa depan.[11]

Keputusan untuk mundur

Takushiro Hattori, perwira staf di Markas Umum Kekaisaran Jepang.

Sepanjang November 1942, pucuk pimpinan Markas Umum Kekaisaran di Tokyo masih terus secara terbuka mendukung upaya-upaya lebih lanjut untuk merebut kembali Guadalkanal dari tangan Sekutu. Namun pada waktu yang bersamaan, para perwira staf berpangkat rendah mulai secara diam-diam membicarakan rencana meninggalkan Guadalkanal. Takushiro Hattori dan Masanobu Tsuji setelah keduanya baru saja pulang berkunjung dari Guadalkanal, mengatakan kepada rekan-rekan sesama perwira staf bahwa setiap upaya lebih lanjut merebut kembali pulau itu akan sia-sia. Ryūzō Sejima melaporkan bahwa atrisi kekuatan pasukan angkatan darat ternyata lebih parah daripada yang perkiraan sebelumnya sehingga dikhawatirkan tidak dapat lagi mendukung operasi-operasi pada masa mendatang. Pada 11 Desember 1942, dua perwira staf, Letkol Laut Yuji Yamamoto dan Mayor (AD) Takahiko Hayashi tiba kembali di Tokyo dari Rabaul, dan menegaskan laporan-laporan yang dibuat Hattori, Tsuji, dan Sejima. Keduanya lebih lanjut melaporkan bahwa sebagian besar perwira angkatan laut dan angkatan darat di Rabaul tampaknya mendukung rencana Jepang untuk mundur dari Guadalkanal. Sekitar waktu itu pula, Kementerian Perang Jepang menginformasikan kepada Markas Umum Kekaisaran tentang tidak cukupnya jumlah kapal-kapal yang dapat dipakai untuk mendukung upaya merebut kembali Guadalkanal atau mengangkut sumber daya strategis untuk mempertahankan ekonomi dan kekuatan militer Jepang.[12]

Pada 19 Desember 1942, sebuah delegasi perwira staf Markas Umum Kekaisaran yang dipimpin Kepala Seksi Operasi Markas Umum, Kolonel (AD) Joichiro Sanada tiba di Rabaul untuk mendiskusikan rencana-rencana masa depan Nugini dan Guadalkanal. Hitoshi Imamura, komandan Angkatan Darat Wilayah 8 yang bertanggung jawab atas operasi-operasi angkatan darat di Nugini dan Kepulauan Solomon, tidak secara langsung merekomendasikan penarikan mundur dari Guadalkanal, tetapi secara terbuka dan terang-terangan menjelaskan kesulitan-kesulitan yang sedang dihadapi berkaitan dengan upaya-upaya lebih lanjut merebut kembali Guadalkanal. Imamura juga menyatakan bahwa setiap keputusan penarikan mundur harus menyertakan rencana evakuasi sebanyak mungkin pasukan dari Guadalkanal.[13]

Setelah Sanada tiba kembali di Tokyo pada 25 Desember 1942, dan merekomendasikan kepada Markas Umum Kekaisaran agar Guadalkanal ditinggalkan dengan segera, dan semua prioritas dicurahkan untuk kampanye di Nugini. Pimpinan Markas Umum menyetujui rekomendasi Sanada pada 26 Desember 1942, dan memerintahkan staf mereka untuk mulai menyusun rencana penarikan mundur dari Guadalkanal serta membangun garis pertahanan baru di Kepulauan Solomon tengah.[14]

Pada 28 Desember 1942, Jenderal Hajime Sugiyama dan Laksamana Osami Nagano secara pribadi menerangkan kepada Kaisar Hirohito tentang keputusan mundur dari Guadalkanal. Pada 31 Desember 1942, keputusan tersebut didukung secara resmi oleh kaisar.[15]

Rencana dan pihak-pihak yang terlibat

Pada 3 Januari 1943, Markas Umum Kekaisaran memberitahukan Angkatan Darat Wilayah 8 dan Armada Gabungan tentang keputusan mundur dari Guadalkanal. Sebelum 9 Januari 1942, staf Armada Gabungan bersama staf Angkatan Darat Wilayah 8 telah selesai menyusun rencana yang secara resmi diberi nama Operasi Ke. Nama operasi ini diambil dari salah satu mora dalam aksara Kana bahasa Jepang.[16]

Rencana tersebut mengharuskan didaratkannya satu batalion infanteri angkatan darat oleh kapal perusak sekitar tanggal 14 Januari 1942. Mereka akan dipakai sebagai pasukan kawal belakang sewaktu evakuasi berlangsung. Angkatan Darat 17 menurut rencana mulai ditarik mundur ke ujung barat pulau kira-kira pada tanggal 25 Januari atau 26 Januari 1943. Kampanye superioritas udara di sekitar Kepulauan Solomon selatan menurut rencana dimulai pada 28 Januari 1943. Pasukan Angkatan Darat 17 akan dijemput dalam tiga gelombang oleh kapal-kapal perusak pada minggu pertama bulan Februari, dengan target penyelesaian pada 10 Februari 1943. Pada waktu yang bersamaan, armada kapal perang dan pesawat terbang Jepang akan melakukan manuver-manuver mencolok dan serangan-serangan kecil di sekitar Nugini dan Kepulauan Marshall, disertai lalu lintas radio palsu sebagai usaha mengelabui Sekutu mengenai maksud Jepang yang sebenarnya.[17]

Gunichi Mikawa, komandan Armada 8 Jepang

Laksamana Yamamoto menugaskan kapal induk Junyō dan Zuihō, kapal tempur Kongō dan Haruna, dan empat kapal penjelajah berat ditambah satu kapal perusak sebagai armada tabir untuk melindungi Operasi Ke dari kejauhan. Nobutake Kondo bertindak sebagai komandan armada tabir di bawah pimpinan Nobutake Kondo yang akan ditempatkan sekitar pulau Ontong Jawa di utara Kepulauan Solomon. Misi-misi evakuasi akan dilakukan oleh Armada 8 Mikawa yang terdiri dari kapal penjelajah berat Chōkai dan Kumano, kapal penjelajah ringan Sendai, dan 21 kapal perusak. Kapal-kapal perusak Mikawa ditugaskan untuk melakukan operasi evakuasi yang sebenarnya. Yamamoto memperhitungkan setidaknya setengah dari jumlah kapal-kapal perusak Mikawa diperkirakan akan tenggelam sebagai korban dalam operasi ini.[18]

Pendukung superioritas udara dalam operasi ini adalah Armada Udara 11 Angkatan Laut Kekaisaran Jepang dan Divisi Udara 6 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang yang berpangkalan di Rabaul, dengan kekuatan masing-masing sebesar 212 dan 100 pesawat terbang. Selain itu, 64 pesawat dari grup udara kapal induk Zuikaku ditugaskan untuk sementara ke Rabaul. Total pesawat Jepang yang terlibat dalam operasi mencapai 436 pesawat dengan tambahan 60 pesawat terbang laut dari Angkatan Udara Wilayah "R" milik angkatan laut yang berpangkalan di Rabaul, Bougainville dan Kepulauan Shortland. Gabungan satuan-satuan kapal perang dan penerbangan angkatan laut Jepang diresmikan dengan nama Armada Wilayah Tenggara di bawah komando Jinichi Kusaka di Rabaul.[19]

Lawan Jepang adalah kapal induk Amerika Serikat Enterprise dan Saratoga, enam kapal induk kawal, tiga kapal tempur cepat, empat kapal tempur tua, 13 kapal penjelajah, dan 45 kapal perusak di bawah komando Laksamana (AS) William Halsey, Jr. yang menjabat komandan tentara Sekutu di Pasifik Selatan. Di udara, Angkatan Udara 13 mengerahkan 92 pesawat tempur dan pesawat pengebom di bawah komando Brigadir Jenderal (AD) Nathan F. Twining. Sementara itu, Angkatan Udara Kaktus di Guadalkanal menyiapkan 81 pesawat terbang di bawah komando Brigadir Jenderal (Marinir) Francis hal. Mulcahy. Laksamana Muda Aubrey Fitch ditunjuk sebagai komandan keseluruhan Angkatan Udara Pasifik Selatan. Tambahan 339 pesawat terbang didapat dari satuan-satuan udara kapal induk dan kapal induk kawal. Selain itu, 30 pesawat pengebom berat ditempatkan di Nugini, dan memiliki daya jelajah yang cukup untuk melakukan misi pengeboman di atas Kepulauan Solomon. Secara total, Sekutu memiliki persediaan kira-kira 539 pesawat terbang untuk menggagalkan Operasi Ke.[20]

Hingga minggu pertama bulan Januari 1943, akibat korban penyakit, kelaparan, dan gugur dalam pertempuran, anak buah Hyakutake telah berkurang menjadi kira-kira 14.000 prajurit. Di antara mereka yang tersisa, sebagian besar sudah tidak kuat lagi bertempur karena terlalu sakit dan kurang gizi. Angkatan Darat 17 memiliki tiga meriam lapangan yang operasional, namun dalam keadaan sangat kekurangan peluru meriam. Di lain pihak, komandan Sekutu di Guadalkanal,Mayor Jenderal (AD) Alexander Patch menerjunkan kekuatan gabungan berjumlah 50.666 personel dari Angkatan Darat Amerika Serikat dan Korps Marinir Amerika Serikat yang disebut Korps XIV. Patch memiliki 167 senjata artileri, termasuk howitzer kaliber 75mm, 105mm dan 155mm yang semuanya dilengkapi persediaan peluru berlimpah.[21]

Operasi

Persiapan

Pada 1 Januari 1943, militer Jepang mengganti kode komunikasi radio mereka sehingga mempersulit intelijen Sekutu untuk menebak maksud dan gerak-gerik Jepang. Penggantian kode dilakukan setelah sebagian dari sandi radio Jepang dipecahkan oleh Sekutu. Sepanjang bulan Januari, pengintaian dan analisis lalu lintas radio Sekutu mencatat adanya konsentrasi kapal-kapal dan pesawat terbang di Truk, Rabaul, dan Kepulauan Shortland. Analis Sekutu menyimpulkan bahwa peningkatan lalu lintas radio di Kepulauan Marshall tidak lebih dari sekadar pengelabuan untuk mengalihkan perhatian Sekutu dari operasi yang akan dilakukan Jepang di Nugini atau Kepulauan Solomon. Meskipun demikian, personel intelijen Sekutu salah menafsirkan maksud operasi yang dilakukan Jepang. Pada 26 Januari 1943, seksi intelijen Komando Pasifik Sekutu mengabarkan kepada tentara Sekutu di Pasifik bahwa Jepang sedang menyiapkan ofensif baru dengan nama sandi Ke di Kepulauan Solomon atau Nugini.[22]

Pada 14 Januari 1943, sebuah misi Tokyo Ekspres yang terdiri dari sembilan kapal perusak mengantarkan Batalion Yano ke Guadalkanal untuk ditugaskan sebagai pasukan penjaga barisan belakang dalam evakuasi Ke. Mayor Keiji Yano memimpin batalion yang berkekuatan 750 pasukan infanteri dan sebuah baterai meriam gunung yang diawaki oleh 100 prajurit lainnya. Diterjunkan bersama Batalion Yono adalah Letnan Kolonel Kumao Imoto sebagai wakil Angkatan Darat Wilayah 8 yang ditugaskan menyampaikan perintah dan rencana evakuasi kepada Hyakutake. Angkatan Darat 17 masih belum tahu tentang adanya keputusan untuk mundur. Dalam perjalanan pulang dari Guadalkanal, sembilan kapal perusak Jepang diserang oleh pesawat-pesawat Angkatan Udara Kaktus dan Angkatan Udara 13 hingga mengakibatkan kerusakan pada dua kapal perusak, Arashi dan Tanikaze, serta menembak jatuh delapan pesawat tempur Jepang yang mengawal konvoi. Lima pesawat terbang Amerika ditembak jatuh.[23]

"Ini adalah tugas yang sangat berat bagi Angkatan Darat untuk mundur dalam situasi seperti sekarang. Namun, perintah-perintah dari Angkatan Darat Wilayah yang dibuat berdasarkan perintah kaisar, harus dilaksanakan dengan berapa pun ongkosnya. Saya tidak dapat menjamin misi ini dapat dilaksanakan sepenuhnya."
Harukichi Hyakutake, 16 Januari 1943[24]

Pada malam 15 Januari 1943, Imoto tiba di markas Angkatan Darat 17 di Kokumbona, dan memberitahu Hyakutake beserta staf tentang adanya keputusan untuk mundur dari Guadalkanal. Setelah menerima perintah tersebut dengan rasa enggan pada 16 Januari, staf Angkatan Darat 17 baru menyampaikan rencana evakuasi Ke kepada anak buah mereka pada 18 Januari 1943. Rencana tersebut ditujukan kepada Divisi 38 yang saat itu sedang bertahan melawan ofensif Amerika Serikat di bukit-bukit pedalaman agar berhenti bertempur dan mundur hingga ke Tanjung Esperance di ujung barat Guadalkanal mulai 20 Januari 1943. Penarikan mundur Divisi 38 akan dilindungi oleh Divisi Infanteri 2 yang sudah berada di Guadalkanal sejak Oktober 1942, dan oleh Batalion Yano yang selanjutnya akan mengikuti jejak Divisi 38 ke arah barat. Setiap prajurit yang sudah tidak mampu berjalan lagi dianjurkan bunuh diri demi "menjunjung kehormatan Angkatan Darat Kekaisaran".[25]

Mundur ke barat

Patch memulai ofensif baru Sekutu persis ketika Divisi 38 Jepang mulai mundur dari kedudukan mereka di punggung bukit dan perbukitan di pedalaman Guadalkanal. Pada 20 Januari 1943, Divisi Infanteri 25 di bawah komando Mayor Jenderal J. Lawton Collins menyerang beberapa bukit yang disebut tentara Amerika Serikat sebagai Bukit 87, Bukit 88, dan Bukit 89. Ketiga bukit tersebut membentuk sebuah punggungan yang mendominasi medan di Kokumbona. Tentara Amerika Serikat menemui perlawanan yang jauh lebih ringan daripada antisipasi mereka, dan berhasil merebut ketiga bukit tersebut sebelum pagi hari 22 Januari 1943. Setelah memindahkan pasukan untuk memanfaatkan kemajuan yang tidak terduga, Collins segera melanjutkan gerak maju pasukannya, dan sebelum senja berhasil merebut dua bukit berikutnya, Bukit 90 dan Bukit 91. Kemajuan yang diperoleh tentara Amerika membuat mereka berada pada posisi siap mengepung dan merebut Kokumbona, serta memerangkap Divisi 2 Jepang.[26]

Tentara Amerika Serikat merebut Kokumbona dan mulai mendesak ke barat, 23-25 Januari 1943.

Jepang bereaksi cepat terhadap situasi di lapangan, dan segera mengevakuasi tentaranya dari Kokumbona. Divisi 2 diperintahkan untuk segera mundur ke arah barat. Tentara Amerika merebut Kokumbona pada 23 Januari 1943. Walaupun ada beberapa kesatuan Jepang yang hancur akibat terperangkap di antara pasukan Amerika, sebagian besar dari anggota Divisi 2 yang selamat berhasil melarikan diri.[27]

Patch masih mengkhawatirkan adanya ofensif baru Jepang yang telah diperkuat. Dalam satu kali serangan ke posisi Jepang di barat Kokumbona, ia hanya berani mengerahkan pasukan kira-kira sejumlah satu resimen. Sisanya diposisikan di dekat Tanjung Lunga untuk melindungi lapangan terbang. Keadaan medan di barat Kokumbona menguntungkan upaya Jepang untuk menghambat gerak maju pasukan Amerika sementara sisa pasukan Angkatan Darat 17 meneruskan penarikan mundur mereka menuju Tanjung Esperance. Gerak maju pasukan Amerika dihambat di sebuah tanah sempit dengan lebar kira-kira 270 m hingga 550 m yang diapit oleh lautan, hutan lebat pedalaman, dan bukit karang yang terjal. Bukit-bukit karang berada tegak lurus dengan pantai, dilintasi oleh sejumlah sungai dan anak sungai sehingga keadaan medan mirip dengan sebuah "papan cuci".[28]

Pada 26 Januari 1943, gabungan kesatuan Angkatan Darat Amerika Serikat dan Marinir yang disebut Divisi Gabungan Angkatan Darat-Marinir (Composite Army-Marine) maju ke arah barat hingga berhadapan dengan Batalion Yano di Sungai Marmura. Divisi Gabungan Angkatan Darat-Marinir AS untuk sementara dapat dihentikan oleh pasukan Yano yang kemudian perlahan-lahan mundur ke arah barat sepanjang tiga hari berikutnya. Pada 29 Januari 1943, Batalion Yano mundur hingga di seberang Sungai Bonegi. Di sana sudah menunggu prajurit-prajurit dari Divisi 2 yang telah membangun posisi-posisi defensif lain.[29]

Kubu pertahanan Jepang di Bonegi berhasil menahan gerak maju tentara Amerika selama hampir tiga hari. Setelah dibantu bombardemen pantai dari kapal perusak Wilson dan Anderson, tentara Amerika Serikat pada 1 Februari 1943 berhasil sampai seberang sungai, tetapi tidak langsung memaksa maju ke barat.[30]

Kampanye udara

Kampanye superioritas udara Operasi Ke dimulai pertengahan Januari dengan serangan-serangan gangguan setiap malam ke Lapangan Udara Henderson oleh tiga hingga sepuluh pesawat terbang Jepang yang hanya mengakibatkan kerusakan kecil. Pada 20 Januari 1943, satu pesawat Kawanishi H8K terbang sendirian mengebom Espiritu Santo. Pada 25 Januari, Angkatan Laut Kekaisaran Jepang mengerahkan 58 pesawat tempur Zero dalam misi serangan siang bolong ke Guadalkanal. Sebagai balasan, Angkatan Udara Kaktus memberangkatkan delapan Wildcat dan enam pesawat tempur P-38 yang semuanya kembali dengan selamat setelah menembak jatuh empat pesawat Zero.[31]

Serangan besar kedua yang lebih besar dilancarkan pada 27 Januari 1943 oleh sembilan pesawat pengebom ringan Kawasaki Ki-48 yang dikawal oleh 74 pesawat tempur Nakajima Ki-43 milik Divisi Udara 6 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dari Rabaul. Dua belas Wildcat, enam P-38, dan sepuluh Curtiss P-40 dari Lapangan Udara Henderson menyambut serangan pesawat-pesawat Jepang di atas Guadalkanal. Dalam duel udara, enam pesawat tempur Jepang ditembak jatuh, sementara korban Angkatan Udara Kaktus terdiri dari satu Wildcat, empat P-40, dan dua P-38. Pesawat pengebom Kawasaki menjatuhkan bom-bom mereka di kubu-kubu Amerika di sekitar Sungai Matanikau yang hanya menyebabkan kerusakan kecil.[32]

Pertempuran Pulau Rennell

Halsey mengira Jepang sedang memulai sebuah ofensif besar-besaran di selatan Kepulauan Solomon dengan Lapangan Udara Henderson sebagai target. Oleh karena itu, Halsey menanggapi dengan mengirim satu konvoi pembekalan kembali ke Guadalkanal pada 29 Januari 1943 yang didukung oleh sebagian besar kapal-kapal perang yang dibagi menjadi lima gugus tugas. Kelima gugus tugas tersebut mencakup dua armada kapal induk pesawat terbang, dua kapal induk kawal, tiga kapal tempur, 12 kapal penjelajah, dan 25 kapal perusak.[33]

Gugus Tugas 18 di bawah pimpinan Giffen berlayar menuju Guadalkanal pada 29 Januari 1943.

Sebagai tabir kedatangan konvoi kapal transpor adalah Gugus Tugas 18 (TF 18) di bawah komando Laksamana Muda Robert C. Giffen. Armada tabir Giffen berkekuatan tiga kapal penjelajah berat, tiga kapal penjelajah ringan, dua kapal induk kawal, dan delapan kapal perusak. Gugus tugas armada kapal induk berintikan kapal induk Enterprise yang berlayar kira-kira 400 kilometer (250 mil) di belakang Gugus Tugas 18.[34] Selain melindungi konvoi perbekalan, Gugus Tugas 18 ditugaskan untuk bertemu dengan empat kapal perusak Amerika Serikat asal Tulagi pada pukul 21.00 tanggal 29 Januari 1943. Keesokan harinya, mereka bersama-sama ditugaskan melakukan sweeping di Selat Georgia Baru utara Guadalkanal sebagai tabir kapal-kapal angkut yang sedang membongkar muatan di Guadalkanal.[35] Namun akibat kapal-kapal induk kawal berlayar begitu lambat, armada Giffen terhambat untuk tiba tepat waktu di titik pertemuan seperti dijadwalkan. Oleh karena itu, Giffen yang masih ingin tiba di titik pertemuan sesuai jadwal semula terus berlayar maju meninggalkan kapal-kapal induk kawal di belakang dengan kawalan dua kapal perusak pada pukul 14.00 tanggal 29 Januari 1943.[36]

Armada Giffen diamat-amati oleh kapal-kapal selam Jepang yang melaporkan lokasi dan gerakan armada Amerika ke kesatuan-kesatuan dari markas angkatan laut.[37] Sekitar petang hari, berdasarkan laporan-laporan kapal selam, 16 pesawat pengebom Mitsubishi G4M Tipe 1 dari Grup Udara 705 dan 16 pesawat pengebom Mitsubishi G3M Tipe 96 dari Grup Udara 701 lepas landas dari Rabaul. Mereka membawa torpedo-torpedo yang akan dipakai menyerang armada Giffen yang waktu itu sedang berada di antara Pulau Rennell dan Guadalkanal.[38]

Pesawat pengebom torpedo menyerang kapal-kapal Giffen dalam dua gelombang antara pukul 19.00 dan 20.00. Kapal penjelajah berat USS Chicago menjadi korban dua torpedo Jepang yang menyebabkan kerusakan berat hingga mesin terhenti. Tiga pesawat terbang Jepang ditembak jatuh oleh senjata antipesawat yang ditembakkan kapal-kapal Giffen. Halsey bertindak dengan mengirim sebuah kapal tunda untuk menyeret Chicago, dan memerintahkan gugus tugas Giffen untuk kembali ke pangkalan pada keesokan harinya. Enam kapal perusak ditinggal di belakang untuk mengawal Chicago dan kapal tunda.[39]

Pada pukul 16.00 tanggal 30 Januari 1943, Chicago yang sedang ditarik oleh kapal tunda diserang oleh 11 pengebom torpedo Mitsubishi dari Grup Udara 751 yang berpangkalan di Kavieng dan memakai Buka sebagai daerah singgahan. Pesawat-pesawat tempur dari Enterprise menembak jatuh delapan pesawat Jepang, tetapi sebagian besar di antaranya sudah melepaskan torpedo-torpedo mereka sebelum jatuh. Satu torpedo tepat mengenai kapal perusak USS La Vallette dan menyebabkan kerusakan berat. Empat torpedo lainnya menghantam Chicago hingga membuat kapal penjelajah itu tenggelam.[40]

Konvoi kapal angkut Amerika Serikat tiba di Guadalkanal dan berhasil membongkar muatan pada 30 Januari dan 31 Januari 1943. Sisa kapal-kapal perang Halsey ditempatkan di Laut Karang yang berada di selatan Kepulauan Solomon. Mereka ditugaskan menanti kedatangan kapal-kapal perang Jepang yang dipercaya Sekutu segera akan tiba untuk mendukung sebuah ofensif besar-besaran. Ditarik mundurnya Gugus Tugas 18 dari Guadalkanal berarti hilangnya ancaman potensial bagi kelancaran Operasi Ke.[41]

Selain itu, pada 29 Januari 1943 pukul 18.30, dua korvet Angkatan Laut Selandia Baru mencegat kapal selam Jepang I-1 yang sedang mencoba melakukan misi pembekalan di laut dekat Kamimbo, Guadalcanal. Dua korvet Selandia Baru tersebut adalah Moa dan Kiwi. Keduanya menabrak dan menenggelamkan I-1 setelah berlangsung pertempuran selama 90 menit. (09°13′S 159°40′E / 9.217°S 159.667°E / -9.217; 159.667 159°40′E / 9.217°S 159.667°E / -9.217; 159.667).[42]

Evakuasi gelombang pertama

Setelah meninggalkan kapal-kapal penjelajahnya di Kavieng, Mikawa pada tanggal 31 Januari 1943 mengumpulkan semua dari 21 kapal perusak yang ada di pangkalan angkatan laut Jepang di Kepulauan Shortland, dan memulai misi evakuasi. Laksamana Muda Shintaro Hashimoto ditunjuk sebagai komandan gugus kapal perusak yang disebut Satuan Bala Bantuan. Enam puluh pesawat terbang laut dari Angkatan Udara Wilayah "R" ditugaskan memandu Satuan Bala Bantuan dan membantu pertahanan terhadap serangan-serangan kapal patroli torpedo selama berlangsungnya misi evakuasi malam hari. Pesawat pengebom B-17 Sekutu menyerang pelabuhan Kepulauan Shortland pada pagi hari 1 Februari 1943 tanpa menimbulkan kerusakan dan bahkan harus kehilangan empat pesawat yang ditembak jatuh pesawat tempur Jepang. Masih pada hari yang sama, Divisi Udara 6 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang menyerang Lapangan Udara Henderson dengan memakai 23 pesawat tempur Nakajima Ki-43 dan enam pesawat pengebom Kawasaki Ki-48, tetapi tidak menimbulkan kerusakan apa pun meski mengorbankan satu pesawat tempur.[43]

Peta fase final Kampanye Guadalkanal 26 Januari–9 Februari 1943, menunjukkan gerak maju tentara Amerika Serikat dan posisi-posisi pertahanan serta titik-titik evakuasi Jepang.

Menurut perkiraan Patch, Jepang akan mundur ke pantai selatan Guadalkanal. Pada 1 Februari 1943, Patch mendaratkan satu batalion bala bantuan yang berkekuatan 1500 pasukan angkatan darat dan Marinir di bawah komando Kolonel Alexander George di Verahue yang berada di pantai selatan Guadalkanal. Tentara Amerika Serikat diantar ke lokasi pendaratan oleh sebuah armada kapal transpor yang terdiri dari enam kapal pendarat tank dan satu kapal perusak transpor (Stringham) yang dikawal oleh empat kapal perusak lainnya (kapal-kapal perusak yang sama dengan kapal-kapal yang disiapkan untuk Gugus Tugas 18 tiga hari sebelumnya). Konvoi pendaratan Sekutu terlihat oleh pesawat intai Jepang. Jepang menganggap konvoi tersebut sebagai ancaman terhadap misi evakuasi yang sesuai rencana akan dilaksanakan malam itu. Sebuah serangan udara berkekuatan 13 pesawat pengebom tukik Aichi D3A dengan pengawalan 40 pesawat Zero diberangkatkan dari Buin, Bougainville untuk menyerang kapal-kapal Sekutu.[44]

Salah mengenali pesawat-pesawat Jepang yang datang sebagai pesawat kawan, kapal-kapal perusak Amerika Serikat tidak melepaskan tembakan hingga pesawat-pesawat pengebom Jepang mulai menukik. Dalam pertempuran yang dimulai pada pukul 14.53, kapal perusak De Haven segera menjadi korban tiga buah bom Jepang dan langsung tenggelam di 2 mil (3,2 km) selatan Pulau Savo berikut nakhoda dan 167 dari awaknya. Kapal perusak Nicholas rusak akibat beberapa bom yang nyaris tepat. Lima pengebom tukik dan tiga pesawat Zero jatuh sebagai korban tembakan senjata antipesawat dan pesawat-pesawat Angkatan Udara Kaktus. Tiga pesawat Wildcat milik Angkatan Udara Kaktus tertembak jatuh.[45]

Hashimoto berangkat dari Kepulauan Shortland pada pukul 11.30 tanggal 1 Februari 1943 bersama 20 kapal perusak untuk memulai evakuasi gelombang pertama. Sebelas kapal perusak difungsikan sebagai kapal angkut, dikawal oleh sembilan kapal perusak lainnya sebagai kapal tabir. Pada sore harinya di dekat Vangunu, kapal-kapal perusak Jepang diserang oleh 92 pesawat Angkatan Udara Kaktus yang datang dalam dua gelombang. Para penerbang Sekutu menjatuhkan bom yang nyaris tepat mengenai Makinami yang dipakai sebagai kapal komando oleh Hashimoto, dan menyebabkan kerusakan berat. Empat pesawat Angkatan Udara Kaktus ditembak jatuh. Hashimoto dipindahkan ke Shirayuki, sementara Fumizuki dilepas untuk menarik Makinami kembali ke pangkalan.[46]

Sebelas kapal patroli torpedo Amerika Serikat mengadang kedatangan kapal-kapal perusak Hashimoto di antara Guadalkanal dan Pulau Savo. Dimulai pukul 22.45, kapal-kapal perusak Hashimoto dan kapal patroli torpedo Sekutu terlibat dalam serangkaian pertempuran yang berlangsung selama tiga jam. Dibantu oleh pesawat-pesawat terbang dari Angkatan Udara Wilayah "R", kapal-kapal perusak Hashimoto menenggelamkan tiga kapal patroli torpedo.[47]

Sementara itu, kapal-kapal perusak transpor Jepang tiba di dua titik penjemputan di Tanjung Esperance dan Kamimbo berturut-turut pada pukul 22.40 dan 24.00. Personel angkatan laut Jepang mengangkuti prajurit-prajurit yang sudah menunggu dengan menggunakan tongkang dan kapal pendarat, dan menaikkan mereka ke atas kapal-kapal perusak. Laksamana Muda Tomiji Koyanagi, wakil komandan Satuan Bala Bantuan menggambarkan keadaan para prajurit yang dievakuasi, "Pakaian yang dikenakan mereka begitu compang-camping dan kotor, kerusakan kondisi fisik mereka sangat luar biasa. Mungkin mereka bahagia tetapi wajah mereka tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Organ pencernaan mereka begitu rusak parah, kami tidak dapat memberi mereka makanan, hanya bubur."[48] Perwira lainnya menambahkan, "Pantat mereka begitu kurus hingga anus mereka tampak dengan jelas, dan ketika berada di atas kapal perusak yang mengangkut mereka, mereka menderita diare berkepanjangan dan tidak terkendali."[49]

Setelah menaikkan 4.935 prajurit, terutama dari Divisi 38, kapal-kapal perusak transpor sudah tidak lagi menaikkan muatan pada pukul 01.58, dan bersiap untuk melakukan pelayaran pulang ke Kepulauan Shortland. Sekitar waktu itu pula, Makigumo yang ditugaskan sebagai salah satu kapal tabir, tiba-tiba didera sebuah ledakan besar akibat torpedo yang dilepaskan kapal patroli torpedo Amerika atau sebuah ranjau laut. Setelah menerima kabar Makigumo sudah dilumpuhkan, Hashimoto memerintahkan para awak untuk meninggalkan kapal, dan Makigumo ditenggelamkan. (09°15′S 159°47′E / 9.250°S 159.783°E / -9.250; 159.783). Dalam perjalanan pulang, Satuan Bala Bantuan diserang oleh pesawat-pesawat Angkatan Udara Kaktus pada pagi pukul 08.00, tetapi tidak mengakibatkan kerusakan apa pun, dan selamat tiba di Kepulauan Shortland tanpa ada insiden lebih lanjut pada 2 Februari 1943 pukul 12.00 tengah hari.[50]

Evakuasi gelombang kedua dan ketiga

Pada 4 Februari 1943, Patch memerintahkan Resimen Infanteri 161 untuk menggantikan Resimen Infanteri 147 di garis depan, dan melanjutkan upaya gerak maju ke arah barat. Batalion Yano mundur ke kubu-kubu baru di Sungai Segilau, dan pasukannya dikerahkan untuk menahan gerak maju pasukan Kolonel Alexander George di sepanjang pantai selatan. Sementara itu, gugus tugas kapal induk dan kapal tempur Halsey tetap berada persis di luar jarak jangkau serangan udara Jepang, sekitar 300 mil (480 km) di selatan Guadalkanal.[51]

Kapal perusak Jepang Asagumo.

Kondo mengirimkan dua dari armada kapal perusaknya, Asagumo dan Samidare ke Kepulauan Shortland untuk menggantikan dua kapal perusak yang tenggelam dalam evakuasi gelombang pertama. Hashimoto memimpin misi evakuasi kedua yang didukung 20 kapal perusak ke selatan menuju Guadalkanal pada pukul 11.30 tanggal 4 Februari 1943. Dengan berkekuatan 74 pesawat terbang yang dibagi dalam dua gelombang, Angkatan Udara Kaktus memulai serangan terhadap armada Hashimoto pada pukul 15.50. Bom yang jatuh nyaris tepat mengakibatkan Maikaze rusak berat. Hashimoto mengutus Nagatsuki untuk menarik pulang Maikaze ke Kepulauan Shortland. Angkatan Udara Kaktus kehilangan 11 pesawat yang jatuh dalam serangan, sementara Jepang kehilangan satu pesawat Zero.[52]

Kapal patroli torpedo Amerika Serikat tidak melakukan serangan terhadap armada Hashimoto malam itu sehingga pekerjaan bongkar muatan berlangsung tanpa insiden. Gugus Bala Bantuan diberangkatkan membawa Hyakutake dan staf, beserta 3.921 prajurit, terutama dari Divisi 2, dan tiba di Bougainville tanpa adanya insiden pada 5 Februari 1943 pukul 12.50. Sebuah serangan Angkatan Udara Kaktus yang diberangkatkan pagi itu gagal menemukan armada Hashimoto.[53]

Sekutu masih mempercayai operasi-operasi yang dilakukan Jepang pada 1 Februari dan 4 Februari 1943 adalah misi pengiriman pasukan bala bantuan, dan bukan misi evakuasi. Armada Amerika Serikat di Guadalkanal berlayar dengan lambat dan hati-hati, hanya bergerak maju kira-kira 900 yard (820 m) per hari. Pasukan George berhenti pada 6 Februari setelah maju ke Titi yang berada di pantai selatan. Di pantai utara, Resimen Infanteri 161 akhirnya memulai serangan ke arah barat pada pukul 10.00 tanggal 6 Februari 1943, dan tiba di Sungai Umasani pada hari yang sama. Pada waktu yang bersamaan, Jepang menarik mundur sisa pasukan yang berjumlah 2.000 orang ke Kamimbo.[54]

Pada 7 Februari 1943, Resimen Infanteri 161 menyeberangi Sungai Umasani dan tiba di Bunina, sekitar 14 km dari Tanjung Esperance. Pasukan George yang saat itu dipimpin George F. Ferry bergerak maju dari Titi ke Marovovo, dan menggali parit untuk bermalam kira-kira 1.800 m di sebelah utara desa.[55]

Setelah mengetahui keberadaan kapal-kapal induk Halsey dan kapal-kapal perang besar lainnya di dekat Guadalkanal, Jepang awalnya memutuskan untuk membatalkan evakuasi gelombang ketiga, tetapi akhirnya bertekad untuk melaksanakannya sesuai rencana. Armada Kondo mendekat dari utara hingga 550 mil (890 km) dari Guadalcanal dan bersiap-siap menghadapi kapal-kapal perang Halsey datang untuk turut campur. Hashimoto memimpin konvoi berkekuatan 18 kapal perusak yang berangkat dari Kepulauan Shortland pada tengah hari 7 Februari 1943. Jalur pelayaran yang diambil melewati selatan Kepulauan Solomon, dan tidak melewati Selat Georgia Baru. Satu kali serangan Angkatan Udara Kaktus yang berkekuatan 36 pesawat menyerang konvoi Hashimoto pada pukul 17.55. Isokaze rusak berat akibat bom yang jatuh nyaris tepat. Isokaze ditarik mundur dari wilayah pertempuran dengan kawalan Kawakaze. Sekutu dan Jepang masing-masing kehilangan satu pesawat terbang.[56]

Setelah tiba di dekat Kamimbo, Armada Hashimoto telah menaikkan 1.962 tentara Jepang sebelum pukul 00.03 tanggal 8 Februari 1943 tanpa mendapat halangan dari Angkatan Laut Amerika Serikat. Selama satu setengah jam berikutnya, para awak kapal perusak mendayung perahu-perahu mereka di sepanjang pantai, dan berteriak-teriak memanggil untuk memastikan tidak ada satu pun prajurit yang tertinggal. Pada pukul 01.32 Gugus Bala Bantuan meninggalkan Guadalkanal dan tiba di Bougainville tanpa insiden apa pun pada pukul 10.00, dan sekaligus menandai berakhirnya operasi ini.[57]

Akibat

Pada fajar 8 Februari 1943, pasukan Angkatan Darat Amerika Serikat dari pantai selatan dan pantai utara kembali melanjutkan gerak maju mereka, dan hanya berjumpa dengan segelintir prajurit Jepang yang sakit dan sekarat. Patch akhirnya menyadari bahwa misi-misi Tokyo Ekspres yang berlangsung sejak minggu sebelumnya adalah misi evakuasi dan bukan misi penguatan. Pada pukul 16.50 tanggal 9 Februari, pasukan Amerika dari pantai selatan bertemu pasukan Amerika dari pantai utara di pantai barat Guadalkanal, tepatnya di Desa Tenaro. Patch mengirim sebuah pesan kepada Halsey yang menyatakan, "Kekalahan total dan menyeluruh tentara Jepang di Guadalkanal, berlaku mulai pukul 16.25 hari ini...Tokyo Ekspres tidak lagi memiliki terminal di Guadalkanal."[58]

Jepang sukses mengevakuasi total 10.652 prajurit dari Guadalkanal, atau hampir semua yang tersisa dari total 36.000 prajurit yang dikirim ke pulau itu selama kampanye. Enam ratus dari prajurit yang dievakuasi akhirnya tewas akibat luka atau sakit sebelum dapat menerima perawatan medis yang memadai. Tiga ribu lainnya memerlukan waktu penyembuhan dan rawat inap yang panjang. Setelah menerima kabar keberhasilan operasi, Yamamoto memuji semua kesatuan yang terlibat dan memerintahkan Kondo bersama kapal-kapal perangnya untuk kembali ke Truk. Divisi 2 dan Divisi 38 dikirim kembali ke Rabaul dan sebagian disusun ulang dengan memakai para pengganti. Divisi 2 direlokasikan ke Filipina pada bulan Maret 1943 sementara Divisi 38 dikerahkan untuk mempertahankan Rabaul dan Irlandia Baru. Pasukan Angkatan Darat Wilayah 8 dan Armada Wilayah Tenggara diorientasikan kembali untuk mempertahankan Kepulauan Solomon bagian tengah di Kolombangara dan Georgia Baru, serta bersiap-siap untuk mengirimkan pasukan bala bantuan ke Nugini yang terutama diambil dari Divisi Infanteri 51 yang semula direncanakan untuk Guadalkanal. Angkatan Darat 17 dibangun kembali dengan berintikan Divisi Infanteri 6 dan dimarkaskan di Bougainville. Dari beberapa kelana yudha Jepang yang tertinggal di Guadalkanal, banyak di antaranya yang kemudian terbunuh atau ditangkap oleh patroli Sekutu. Tentara Jepang yang terakhir menyerah dari persembunyiannya pada bulan Oktober 1947.[59]

Para sejarawan menyalahkan pihak Amerika Serikat, khususnya Patch dan Halsey yang tidak memanfaatkan superioritas darat, udara, dan laut Amerika Serikat untuk mencegah keberhasilan Jepang mengevakuasi sebagian besar prajurit mereka yang masih hidup dari Guadalkanal. Mengenai kesuksesan Operasi Ke, Chester Nimitz, komandan tentara Sekutu di Pasifik berkata, "Hingga saat terakhir Jepang terlihat sedang mencoba melakukan upaya pengiriman bala bantuan secara besar-besaran. Hanya berkat keterampilan menjaga kerahasiaan rencana dan kecepatan bertindak melaksanakannya memungkinan Jepang dapat menarik mundur semua sisa pasukan dari garnisun Guadalkanal. Setelah semua kekuatan-kekuatan Jepang yang terorganisir selesai dievakuasi dari Guadalkanal pada 8 Februari 1943, kami akhirnya menyadari tujuan sebenarnya dari disposisi udara dan laut mereka."[60]

Meskipun demikian, kesuksesan Sekutu merebut kembali Guadalkanal dari Jepang merupakan kemenangan strategis yang penting bagi Amerika Serikat dan sekutunya. Bermodalkan keberhasilan di Guadalkanal dan tempat-tempat lain, Sekutu melanjutkan perlawanannya terhadap Jepang yang berpuncak dengan kapitulasi Jepang dan berakhirnya Perang Dunia II.[61]

Catatan kaki

Referensi

Buku

Sumber daring