Pengguna:FarhanNF/Proyek 1

Pelayaran Khazanah

Beberapa kapal Cheng Ho yang ditampilkan dalam buku cetak blok kayu, awal abad ke-17 M
Hanzi tradisional: 鄭和下西洋
Hanzi sederhana: 郑和下西洋
Makna harfiah:[Perjalanan] Cheng Ho turun ke Samudra Barat

Pelayaran Cheng Ho ke Samudra Barat (Hanzi: 郑和下西洋; Pinyin: Zhèng Hé Xià Xīyáng) atau disebut juga Pelayaran Khazanah atau Pelayaran Harta dalam sejarah Tiongkok merupakan tujuh ekspedisi angkatan laut Dinasti Ming yang dipimpin laksamana Cheng Ho pada tahun 1405 sampai tahun 1433. Kaisar Yongle memerintahkan dibangunnya kapal harta Tiongkok pada tahun 1403. Dari proyek besar ini kemudian dilakukan ekspedisi pelayaran ke daerah yang jauh dari Tiongkok seperti Laut Tiongkok Selatan, Samudra Hindia, dan kawasan laut sekitarnya. Enam ekspedisi dilakukan pada masa pemerintahan Kaisar Yongle (m. 1402–1424), sementara ekspedisi ketujuh sekaligus yang terakhir dilakukan pada masa pemerintahan Kaisar Xuande (m. 1425–1435). Tiga ekspedisi pertama dapat menempuh pelayaran hingga pelabuhan Kolkata di pesisir barat daya India, sementara ekspedisi keempat mencapai Selat Hormuz di Teluk Persia. Kemudian, armada menempuh perjalanan lebih jauh sampai Jazirah Arabia dan Afrika Timur.

Kapal ekspedisi Tiongkok ini dilengkapi dengan senjata militer dan membawa harta dalam jumlah besar yang bertujuan untuk menunjukkan kekuatan dan kekayaan Tiongkok kepada dunia. Saat kembali ke Tiongkok, banyak duta besar, raja, dan penguasa asing yang ikut bersama kapal ini untuk menyatakan diri sebagai negeri bawahan Tiongkok. Selama pelayaran, mereka menumpas armada bajak laut yang dipimpin Chen Zuyi di Palembang, menaklukkan Raja Alekeshvara dari Kerajaan Kotte di Sinhala, dan mengalahkan pasukan Sekandar yang menuntut takhta Samudra di Sumatra bagian utara. Eksploitasi maritim yang dilakukan Tiongkok ini berhasil menghimpun banyak negara asing menjadi negara bawahan Tiongkok, baik melalui diplomasi politik maupun penaklukan militer. Negara-negara ini kemudian tergabung dalam tatanan Tiongkok Raya di bawah kedaulatan dinasti Ming.

Pelayaran Cheng Ho ke Samudra Barat dipimpin oleh seorang kasim yang sangat bergantung pada pengaruh politik kekaisaran. Namun, dalam sistem kekaisaraan Tiongkok Ming, pemerintahan sipil merupakan lawan politik dari kaum kasim dan oposisi yang menentang ekspedisi. Menjelang akhir ekspedisi, pemerintah sipil memegang kekuasaan tertinggi birokrasi, sementara kaum kasim turun secara bertahap setelah kematian Kaisar Yongle.

Sepanjang pelayaran maritim dari awal abad ke-15, Tiongkok Ming menjadi kekuatan angkatan laut tak tertandingi karena memproyeksikan kekuatan lautnya sampai selatan dan barat. Hingga saat ini, tujuan sebenarnya, ukuran kapal, kekuatan armada, rute yang diambil, pakar laut yang dipekerjakan, negara-negara yang dikunjungi, dan barang yang diangkut dalam ekspedisi ini masih menjadi bahan perdebatan besar.[1]

Latar belakang

Rute pelayaran maritim

Di bawah pemerintahan Kaisar Yongle, Dinasti Ming Tiongkok berniat memperluas daerah kekaisarannya dengan mengirimkan pasukan, termasuk di dalamnya pelayaran khazanah ini.[2][3] Pada 1403, Kaisar Yongle mengeluarkan perintah untuk memulai proyek besar membangun Armada Khazanah.[4] Cheng Ho diperintahkan untuk memulai pembangunan armada tersebut.[5] Armada khazanah ini disebut "Xiafan Guanjun" (harfiah: "armada ekspedisi asing") dalam sumber-sumber kronik Tiongkok.[6] Armada ini terdiri atas kapal dagang, kapal perang, dan kapal penunjang.[4] Kebanyakan dari kapal-kapal ini dibuat di galangan kapal di Longjiang.[7][8] Seluruh kapal khazanah juga dibangun disini.[7][9] Galangan kapal ini terletak di tepi Sungai Qinhuai dekat Nanjing yang mengalir ke Sungai Yangtze.[7][10] Banyak pohon yang ditebang di sepanjang Sungai Min di hulu sungai Yangtze, untuk memasok kebutuhan kayu untuk pembangunan armada kapal.[11] Kaisar Yongle menunjuk Laksamana Cheng Ho untuk memimpin armada khazanah.[11][12] Kaisar sangat memercayai Cheng Ho,[11][12] bahkan memberikan gulungan kertas kosong bersegel kekaisaran, sehingga memberikan wewenang kepada Laksamana Cheng Ho untuk mengeluarkan perintah kekaisaran di atas lautan.[12]

Ekspedisi

Pelayaran pertama

Patung Laksamana Cheng Ho di Museum Maritim Quanzhou

Pada bulan lunar ketiga (30 Maret sampai 28 April) tahun 1405, perintah awal diberikan kepada Cheng Ho dan pejabat lain, untuk memimpin 27 ribu tentara menuju Samudra Barat.[13] Titah kekaisaran, dikeluarkan pada 11 Juli 1405, mengandung perintah pelaksanaan ekspedisi.[14][15] Perintah ini ditujukan kepada Cheng Ho, Wang Jinghong dan pejabat lainnya.[14]

Kaisar Yongle menggelar jamuan kekaisaran untuk menjamu awak armada semalam sebelum keberangkatan perdana mereka.[16] Hadiah dan anugerah diberikan kepada masing-masing pejabat hingga anak buah kapal sesuai berdasarkan pangkat mereka.[16] Doa persembahyangan dan sesaji korban dihaturkan kepada Dewi Tianfei, dewi pelindung para pelaut, dengan harapan keberhasilan ekspedisi dan keselamatan sepanjang perjalanan.[16] Pada musim gugur 1405, awak armada khazanah berkumpul di Nanjing dan bersiap untuk berangkat meninggalkan kota.[17] Menurut catatan Taizong Shilu tanggal 11 Juli 1405 tentang pemberangkatan armada, Laksamana Cheng Ho dan rekan-rekannya berangkat untuk ekspedisi perdana "membawa surat kekaisaran untuk negeri-negeri di Samudra Barat, serta membawa hadiah untuk raja mereka berupa kain brokat emas, kain sutra berpola, dan kain kasa sutra, sesuai dengan status mereka".[18] Armada khazanah singgah pertama kali di Liujiagang.[19][20] Di sana, armada diatur menurut skuadron, sementara awak kapal kembali melakukan persembahan doa, korban dan sesaji kepada Dewi Tianfei.[19] Setelah itu, armada berlayar menyusuri pesisir Tiongkok menuju muara Sungai Min di Fujian,[20][21] di mana mereka menunggu angin muson timur laut di pelabuhan Taiping di distrik Changle.[21] Awak kapal lebih banyak mempersembahkan doa dan sesaji kepada Dewi Tianfei ketika menunggu angin muson timur laut.[21] Kemudian, armada berangkat melalui Wuhumen (harfiah: "celah lima macan") di Fujian.[21][22]

Armada khazanah berlayar ke Champa,[20][21][23] Jawa,[20][23][24] Malaka,[20][23] Aru,[23][24] Samudra,[20][23][24] Lambri,[23][24] Sri Lanka,[20][23][24] Kollam,[20][23] dan Kolkata.[20][23][25] Dari Lambri, armada khazanah berlayar ke arah Barat langsung menyeberangi Samudra Hindia dan tidak menyusuri pesisir Teluk Benggala menuju Sri Lanka.[24] Tiga hari setelah berangkat dari Lambri, armada berpencar dan salah satunya menuju ke Andaman dan Kepulauan Nikobar.[24] Armada khazanah melihat pegunungan Sri Lanka setelah berlayar selama enam hari dan tiba di pantai barat Sri Lanka dua hari kemudian.[24] Armada Cheng Ho tidak disambut baik oleh raja Alagakkonara yang menganggap sebagai musuh, karena sambutan inilah armada meninggalkan Sri Lanka.[26] Dreyer (2007) menyebutkan bahwa mungkin Laksamana Cheng Ho mendarat di Kollam–tetapi tidak ada catatan yang memastikan hal ini–karena Raja Kollam ikut dalam rombongan kembali ke Tiongkok pada 1407.[27] Mills (1970) menyebutkan bahwa pasukan ekspedisi mungkin tinggal selama empat bulan di Kolkata, dari Desember 1406 sampai April 1407.[28] Di sekitar Tanjung Comorin di ujung selatan semenanjung India, armada khazanah berbalik arah dan memulai perjalanan pulang ke Tiongkok.[27] Pada perjalanan pulang, armada ini kembali singgah di Malaka.[29]

Dalam perjalanan pulang, Laksamana Cheng Ho dan anak buahnya menghadapi gerombolan bajak laut yang dipimpin Chen Zuyi yang bermarkas di Palembang.[23][29] Chen Zuyi adalah pemimpin gerombolan bajak laut yang berhasil menduduki Palembang di Sumatra.[20][29] Dia menguasai jalur perdagangan maritim di sekitar Selat Malaka.[20] Kitab Taizong Shilu mencatat bahwa Chen Zuyi mencoba untuk kabur dan menghindari armada khazanah Cheng Ho.[29] Namun, kitab Mingshi justru mencatat bahwa gerombolan Chen Zuyi berencana untuk mencegat dan merampok armada khazanah secara tiba-tiba.[30] Dreyer (2007) menyebutkan bahwa catatan ini merupakan upaya untuk mencoreng citra Chen Zuyi sebagai bajak laut jahat, ketimbang sebagai saudagar Tionghoa di Palembang.[30] Armada khazanah berhasil menghancurkan armada bajak laut Chen.[20] Dalam pertempuran ini sekitar lima ribu bajak laut tewas, sepuluh kapal perompak dibakar, dan tujuh kapal perompak ditangkap.[30] Chen Zuyi dan letnannya dihukum mati pada 2 Oktober 1407 saat armada Cheng Ho akan kembali ke Nanjing.[15][30][31][32] Pada 29 Oktober 1407, Kaisar Yongle memberikan mandat untuk memberi anugerah kepada panglima dan awak armada yang berperang melawan armada bajak laut Chen Zuyi di Palembang.[33] Ma Huan menulis bahwa Shi Jinqing–seorang dari Guangdong yang tinggal di Palembang–adalah orang yang memberitahu Laksamana Cheng Ho mengenai kejahatan Chen Zuyi.[34] Pengadilan Ming kemudian menunjuk Shi Jinqing sebagai Pengawas Keamanan Palembang serta memerintahkan untuk mendirikan sekutu di Palembang dan mengamankan akses ke pelabuhannya.[35]

Setelah menemani armada khazanah pada perjalanan pulang, para duta asing (dari Kalikut, Quilon, Semudera, Aru, Malaka, dan negara-negara lainnya) mengunjungi istana Ming untuk memberikan penghormatan dan mempersembahkan upeti dalam bentuk produk-produk lokal mereka.[14][31][36] Kaisar Yongle memerintahkan Kementerian Ritus, yang bertugas terkait duta-duta besar luar negeri, untuk menyiapkan hadiah-hadiah bagi para raja asing yang telah mengirim duta-duta ke istana.[31]

Pelayaran kedua

Lukisan Kaisar Yongle (Museum Istana Nasional)

Perintah kekaisaran untuk pelayaran kedua dikeluarkan pada Oktober 1407.[a][20][37] Maklumat tersebut ditujukan kepada Cheng Ho, Wang Jinghong, dan Hou Xian.[37] Qixiuleigao (七修類稿) karya Lang Ying mencatat bahwa Cheng Ho, Wang Jinghong, dan Hou Xian diperintahkan pada 1407.[38] Taizong Shilu mencatat bahwa Cheng Ho dan yang lainnya berangkat sebagai duta ke negara-negara Kalikut, Malaka, Semudera, Aru, Jiayile, Jawa, Siam, Champa, Cochin, Abobadan, Qiulon, Lambri, dan Ganbali.[39]

Pada 30 Oktober 1407, seorang pengarah besar dikerahkan bersama dengan pasukan skuadron ke Champa sebelum Cheng Ho menyusul dengan pasukan utama armada.[40] Armada tersebut berangkat pada tahun kelima pada akhir 1407 atau mungkin awal 1408 dari masa pemerintahan Yongle.[15] Armada tersebut melakukan perjalanan dari Nanjing ke Liujiagang menuju Changle.[41] Mereka kemudian berlayar ke Champa; Siam; Jawa; Malaka; Semudera, Aru, dan Lambri di Sumatra; Jiayile, Abobadan, Ganbali, Qiulon, Cochin, dan Kalikut di India.[41] Dreyer (2007) menyatakan bahwa kemungkinan Siam dan Jawa dikunjungi oleh armada pertama atau oleh skuadron-skuadron kecil sebelum kembali bergabung di Malaka.[41] Pada pelayaran tersebut, Cheng Ho dan armadanya tidak mendarat di Sri Lanka.[41] Armada tersebut ditugaskan untuk menghadiri penobatan resmi Mana Vikraan (馬那必加剌滿) sebagai Raja Kalikut.[25][37][42] Terdapat sebuah prasasti di Kalikut yang memperingati hubungan antara Tiongkok dan India.[25][37]

Dalam pelayaran ini, Tiongkok Ming juga terpaksa menyelesaikan konflik mereka dengan Jawa.[39] Pada perang saudara 1401 dan 1406, Raja di Jawa Barat menewaskan 170 pasukan kedutaan besar Tiongkok saat mereka datang ke pesisir wilayah musuhnya di Jawa Timur.[b][39] Pada catatan Taizong Shilu tanggal 23 Oktober 1407, Kaisar Yongle memanggil para duta besar Jawa.[39] Para duta besar tersebut dikatakan meminta pengampunan atas kelalaian mereka yang telah membunuh 170 pasukan Tiongkok Ming yang bertujuan untuk berdagang.[39] Pengadilan Ming akhirnya menuntut 60 ribu liang emas dan mengintai keadaan di Annam (Vietnam), yang sekarang diinvasi oleh tentara Tiongkok sebagai kompensasi.[39] Tuntutan tersebut disertai peringatan bahwa Tiongkok Ming bisa saja mengirimkan tentara ke pemerintah Jawa jika gagal memenuhi tuntutan tersebut.[39][43] Tiongkok menerima ganti rugi serta permintaan maaf raja Jawa, dan mengembalikan hubungan diplomatik antara keduanya.[44] Menurut Shuyu Zhouzilu dari Yan Congjian, kaisar memaafkan 50 ribu liang emas yang belum dibayarkan setelah raja Jawa menyesali perbuatannya. Tan (2005) menyatakan bahwa sebelumnya Cheng Ho menyerahkan keputusan kasus pembunuhan tersebut kepada Kaisar Tiongkok daripada membalas dengan serangan militer karena pembunuhan itu merupakan kesalahpahaman yang tidak disengaja.[45] Tiongkok akan tetap memantau kegiatan Jawa pada pelayaran-pelayaran berikutnya.[44]

Menurut Fei Xin, pada pelayaran kedua armada mengunjungi Pulau Sembilan di Selat Malaka pada tahun ketujuh masa pemerintahan Yongle (1409).[38][41] Ia menyatakan bahwa pasukan dikirim kesana untuk menebang pohon.[38] Menurut Dreyer (2007), perhentian tersebut terjadi saat perjalanan pulang karena armada khazanah tak meninggalkan pesisir Tiongkok untuk pelayaran ketiga sampai awal 1410.[41] Fei Xin menyatakan: "Pada tahun ketujuh Yongle, Cheng Ho dan para rekannya mengirim pasukan ke pulau tersebut untuk menebang pohon. Mereka menebang enam pohon wewangian, masing-masing berdiameter delapan atau sembilan chi[c] dan memiliki panjang enam atau tujuh zhang.[c] Susunan (dari kayu tersebut) berwarna hitam, dengan garis-garis alami. Masyarakat di pulau tersebut terbelalak takjub, dan para pasukan berkata kepada mereka: 'Kami adalah para prajurit Surga dan kekuatan besarkami berasal dari dewa-dewa.'"[46] Armada khazanah pulang ke Nanjing pada musim panas 1409.[20][41]


Kemungkinan kepastian apakah Cheng Ho memegang pelayaran kedua tersebut dilandasi dari fakta bahwa seorang duta Tionghoa ditempatkan sebelum Cheng Ho berangkat dengan badan utama armada.[31] Maklumat kekaisaran untuk pelayaran ketiga dikeluarkan pada periode pelayaran kedua saat armada khazanah masih berada di Samudera Hindia.[47] Sehingga Cheng Ho sedang absen saat istana mengeluarkan perintah kekaisaran atau ia tak menyertai armada saat pelayaran kedua.[47] Pada 21 Januari 1409, sebuah upacara besar diadakan dalam menghormati dewi Tianfei, dimana ia meraih gelar baru.[48] J.J.L. Duyvendak berpikir bahwa Cheng Ho tak berada pada pelayaran kedua, karena upacara tersebut sangat penting sehingga Cheng Ho wajib datang.[48] Mills (1970), mengutip Duyvendak, juga menyatakan bahwa Cheng Ho tak menyertai armada untuk pelayaran ini.[37] Namun, Fei Xin secara eksplisit menyebut Cheng Ho saat menjelaskan perhentian tahun 1409 di Pulau Sembilan, yang sangat menyatakan bahwa Cheng Ho berada di pelayaran kedua menurut Dreyer (2007).[49]

Pelayaran ketiga

Perintah kekaisaran untuk pelayaran ketiga dikeluarkan pada bulan pertama dari tahun ketujuh dari masa pemerintahan Yongle (16 Januari sampai 14 Februari 1409).[50][51][52] Ini dialamatkan kepada Cheng Ho, Wang Jinghong, dan Hou Xian.[50][52]

Laksamana Cheng Ho menghimpun pelayaran tersebut pada 1409.[53] Armada tersebut datang dari Liujiagang pada bulan kesembilan (9 Oktober sampai 6 November 1409) dan datang ke Changle sebulan berikutnya (7 November sampai 6 Desember).[47][52][53] Mereka meninggalkan Changle pada bulan kedua belas (5 Januari sampai 3 Februari 1410) lewat perairan[47][53] Mereka berlayar di sepanjang Wuhumen (di bagian depan Sungai Min, Fujian).[52] Armada tersebut membuat perhentian di Champa, Jawa, Malaka, Semudera, Ceylon, Quilon, Cochin, dan Kalikut.[20][47][54] Mereka mengunjungi ke Champa selama 10 hari.[47][52] Wang Jinghong dan Hou Xian membuat perhentian pendek di Siam, Malaka, Semudera, dan Ceylon pada penyusulan.[20] Datang ke Ceylon pada 1410, armada khazanah mendarat di Galle.[47]

Pada perjalanan pulang pada 1411, armada khazanah menghadapi konfrontasi militer dengan Raja Alakeshvara (Alagakkonara) dari Ceylon.[d][54][55] Alakeshvara menghimpun ancaman kepada negara-negara tetangga dan perairan lokal Ceylon dan selatan India.[56] Daat datang ke Ceylon, armada Tiongkok terkejut dan menyayangkan Sinhala, yang mereka anggap kaku, tak hormat dan kasar.[57] Mereka juga menganggap bahwa Sinhala melakukan serangan dan perompakan terhadap negara-negara tetangga yang memiliki hubungan diplomatik dengan Tiongkok Ming.[57] Laksamana Cheng Ho dan beberapa pasukannya menjelajahi Kotte, karena Alakeshvara menghadang mereka ke teritorialnya.[57] Alakeshvara memotong perjalanan Laksamana Cheng Ho dan 2000 pasukan yang menyertainya dari armada khazanah,[58] yang mendarat di Kolombo.[56] Ia juga merencanakan peluncuran serangan terhadap armada tersebut.[20][56] Dalam menanggapinya, Laksamana Cheng Ho dan pasukannya menginvasi Kotte, merebut ibu kotanya.[56] Mereka menahan Alakeshvara, keluarganya dan para pejabat utamanya.[52][58] Pasukan Sinhala berpulang dan menyerahkan ibu kotanya, tetapi mereka brulang kali dikalahkan dalam pertempuran melawan pasukan invasi Tiongkok.[57] Tentara Sinhala yang melawan dikatakan memiliki lebih dari 50,000 pasukan.[56] Raja dan keluarganya ditahan di Nanjing, Tiongkok.[55] Sumber-sumber Tiongkok tak menyebutkan kapan konfrontasi tersebut terjadi saat pelayaran ketiga.[56]

Laksamana Cheng Ho pulang ke Nanjing pada 6 Juli 1411.[52][59] Setelah itu, ia mempersembahkan orang-orang Sinhala yang ditangkap kepada Kaisar Yongle.[52] Kemudian, kaisar memutuskan untuk membebaskan dan memulangkan mereka ke negara mereka.[52][55][56] Ia juga meminta Kementerian Ritus untuk merekomendasikan beberapa orang untuk menjabat sebagai raja baru.[56] Namun, dinasti sah sebelumnya menghimpun ulang diri mereka sendiri di Kotte pada masa kedutaan besar Tiongkok datang.[56] Dari situ, armada khazanah tak lagi mengalami pertikaian saat berkunjung ke Ceylon pada pelayaran-pelayaran khazanah berikutnya.[56]

Pelayaran keempat

Tiongkok Ming pada masa pemerintahan Yongle (memerintah 1402–24)

Pada 18 Desember 1412, Kaisar Yongle mengeluarkan perintah untuk pelayaran keempat.[54][60][61] Laksamana Cheng Ho dan lainnya diperintahkan untuk mengkomandaninya.[60][61]

Kaisar Yongle menghadiri kontes panahan untuk Perayaan Pertengahan Musim Panas tahun 1413 (tanggal 5, bulan 5, tahun ke-11).[62] Seluruh perwira Tionghoa dan duta-duta "barbarian" diundang untuk menghadiri acara tersebut.[62] Duyvendak (1938) menyatakan bahwa sejumlah duta tersebut lebih terdiri dari beberapa orang yang Laksamana Cheng Ho akan pulangkan ke negara-negara mereka pada pelayaran keempat ketimbang orang-orang dari tetangga-tetangga terdekat.[62] Pelayaran tersebut akan menghadapkan armada khazanah ke negara-negara Muslim, sehingga ini berpengaruh bagi Tiongkok untuk memajukan penerjemah-penerjemah handal, seperti Ma Huan (yang bergabung dengan pelayaran khazanah untuk pertama kalinya).[63] Sebuah inskripsi tahun 1523 di sebuah masjid Muslim di Xi'an mencatat bahwa, pada bulan 4 tahun ke-11, Laksamana Cheng Ho mencari para penerjemah handal dan menemukan seorang pria bernama Hasan.[63]

Armada Laksamana Cheng Ho meninggalkan Nanjing pada 1413, mungkin pada musim gugur.[61][64][65] Mereka berlayar dari Fujian pada bulan ke-12 tahun ke-11 dalam masa pemerintahan Yongle (23 Desember 1413 sampai 21 Januari 1414).[64][65] Kalikut telah menjadi tempat tujuan paling barat pada pelayaran sebelumnya, tetapi sekarang armada tersebut berlayar ke wilayah-wilayah yang lebih jauh.[66] Taizong Shilu mencatat Malaka, Jawa, Champa, Semudera, Aru, Cochin, Kalikut, Lambri, Pahang, Kelantan, Jiayile, Ormuz, Bila, Maladewa, dan Sunla untuk pelayaran tersebut.[54]

Armada tersebut berlayar ke Champa,[64][67] Kelatan,[67] Pahang,[67] Malaka,[64][67] Palembang,[67][68] Jawa,[66][67] Lambri,[66][67] Lide,[66] Aru,[66] Semudera,[66][67] Ceylon,[66][67] Jiayile (seberang Ceylon),[66] Cochin;[66][67] dan Kalikut.[66][67] Mereka melakukan perjalanan ke Liushan (Kepulauan Maladewa dan Laccadive),[67][69] Bila (Atol Bitra),[69] Sunla (Atol Chetlat),[69] dan Hormuz.[67][69] Di Jawa, armada tersebut mengirimkan hadiah dan persembahan dari Kaisar Yongle.[66] Sebagai balasannya, seorang duta Jawa didatangkan ke Tiongkok pada 29 April 1415, mempersembahkan upeti dalam bentuk "kuda-kuda barat" dan produk-produk lokal sesambil mengekspresikan rasa terima kasih.[66]

Pada 1415, armada tersebut melakukan pemberhentian di utara Sumatra pada perjalanan pulang dari Hormuz.[70] Mereka bertarung dengan Sekandar pada titik pelayaran tersebut.[67] Sekandar sebelumnya telah merampas tahta Semudera dari Zain al-'Abidin,[61] namun Tiongkok secara resmi masih mengakui Zain al-'Abidin sebagai Raja Semudera.[70] Meskipun Sekandar adalah penguasa otonom atas haknya sendiri, ia tak diakui oleh Tiongkok.[70] Laksamana Cheng Ho memerintahkan peluncuran serangan melawan perampas tahta dan merestorasi Zain al-'Abidin sebagai raja yang sah.[61] Dalam membalas keadaan tersebut, Sekandar memimpin pasukannya untuk menyerang pasukan Ming, tetapi Laksamana Cheng Ho dan pasukannya dikerahkan dari kapal-kapal mereka dan menangkap Sekandar.[70] Mereka menekan pasukan Sekandar ke Lambri dimana mereka menangkap Sekandar, istrinya dan anaknya.[61] Raja Zain al-'Abidin kemudian mengadakan misi tribut untuk mengekspresikan rasa terima kasihnya.[70] Konflik tersebut menghimpun ulang kekuasaan Tiongkok atas negara-negara asing dan rute maritim dengan melindungi otoritas politik lokal yang menamengi perdagangan.[70] Sekandar dihadapkan ke Kaisar Yongle di gerbang istana dan kemudian dieksekusi.[61] Tak diktahui kapan eksekusi tersebut dilakukan, tetapi Ma Huan menyatakan bahwa Sekandar dieksekusi secara terbuka di ibu kota setelah armada pulang.[71]

Pada 12 Agustus 1415, armada Laksamana Cheng Ho pulang ke Nanjing dari pelayarannya.[54][61][71] Sehari setelah mereka pulang, seorang kasim dikirim ke Bengal.[71] Kaisar Yongle telah absen sejak 16 Maret 1413 untuk kampanye Mongol keduanya dan tak pulang saat armada datang.[64] Setelah armada pulang, para penguasa dari 18 negara mengirim para duta sebagai tanda tribut kepada pemerintah Ming.[67]

Pelayaran kelima

Pada 14 November 1416, Kaisar Yongle pulang ke Nanjing.[72] Pada 19 November, sebuah acara besar diadakan dimana Kaisar Yongle memberikan hadiah kepada para pangeran, pejabat sipil, perwira militer dan duta besar dari 18 negara.[72] Pada 19 Desember, delapan belas[e] duta besar diraih di istana Ming.[73] Pada 28 Desember, mereka mengunjungi istana Ming untuk hengkang dan menyerahkan jubah-jubah sebelum mereka berangkat.[72] Pada hari itu, Kaisar Yongle memerintahkan pengerahan pelayaran kelima,[64][73][74] yang ditujukan untuk memulangkan 18 duta besar dan menyerahkannya kepada para raja mereka.[73][74] Pada 12 April 1417, ia meninggalkan Nanjing untuk pergi ke utara.[64]

Laksamana Cheng Ho dan orang-orang lainnya meraih perintah untuk memulangkan para duta besar.[72] Mereka membawa surat-surat kekaisaran dan beberapa hadiah untuk beberapa raja.[72] Raja Cochin meraih perlakuan istimewa, karena ia mengirim uputi sejak 1411 dan kemudian juga mengirim para duta besar untuk meminta paten penobatan dan segel.[72] Kaisar Yongle menerima dua permintaannya, memberikannya dengan sebuah inskripsi panjang (diduga dikomposisikan oleh kaisar itu sendiri), dan memberi gelar "Negara Pelindung Gunung" untuk sebuah bukit di Cochin.[72]

Laksamana Cheng Ho meninggalkan pantai Tiongkok pada musim gugur 1417.[73][75] Laksamana Cheng Ho mula-mula berlabuh di Quanzhou untuk mengisi kargo-kargo armada tersebut dengan porselen dan barang-barang lainnya.[76] Temuan-temuan arkeologi dari porselen Tionghoa kontemporer diekskavasi di tempat-tempat Afrika Timur yang dikunjungi oleh armada Cheng Ho.[77] Sebuah prasasti Ming di Quanzhou menyatakan bahwa Laksamana Cheng Ho membakar kemenyan untuk perlindungan ilahi untuk pelayaran ini pada 31 Mei 1417.[77][78] Armada tersebut mengunjungi tempat-tempat berikut: Champa, Pahang, Jawa, Palembang, Malaka, Semudera, Lambri, Ceylon, Cochin, Kalikut, Shaliwanni (mungkin Cannanore), Liushan (Kepulauan Maladewa dan Laccadive), Hormuz, Lasa, Aden, Mogadishu, Brava, Zhubu, dan Malindi.[79] Untuk Arabia dan Afrika Timur, rute yang paling tampak adalah Hormuz, Lasa, Aden, Mogadishu, Brava, Zhubu, dan kemudian Malindi.[80] Duyvendak berpendapat bahwa Cheng Ho mendaratkan pasukan militer di Mogadishu dan Lasa karena disambut tak hangat oleh warga lokal.[73]

Pada 8 Agustus 1419, armada pulang ke Tiongkok.[73][77][81] Kaisar Yongle masih di Beijing pada masa itu, tetapi ia memerintahkan Kementerian Ritus untuk memberikan pemberian uang pada delapan bulan candra (21 Agustus sampai 19 September) 1419.[73][81] Upeti mereka meliputi singa, macan tutul, unta, burung unta, badak, antelop, jerapah, dan hewan eksotis lainnya,[67] yang menimbulkan sensasi besar di kalangan istana Ming.[81]

Pelayaran keenam

Catatan tertanggal 3 Maret 1421 dari Taizaong Shilu menyatakan bahwa para duta dari enam belas negara (Hormuz dan negara-negara lainnya) memberikan hadiah uang kertas dan koin, dan jubah-jubah seremonial dan berbaris sebelum pulang ke negara mereka masing-masing di bawah naungan armada khazanah.[82] Perintah kekaisaran untuk pelayaran keenam dimajukan pada 3 Maret 1421.[83][84] Laksamana Cheng Ho membawa serta surat-surt kekaisaran, brokat sutra, kain sutra, dan hadiah lainnya untuk para penguasa negara-negara tersebut.[82]

Catatan tertanggal 14 Mei 1421 dari Taizong Shilu menyatakan bahwa pelayaran khazanah tersebut sempat tertunda.[82] Xiyang Fanguo Zhi karya Gong Zhen mencatat sebuah maklumat kekaisaran 10 November 1421 yang memerintahkan Cheng Ho, Kong He (孔和), Zhu Buhua (朱卜花), dan Tang Guanbao (唐觀保) untuk melaksanakan tujuan-tujuan Hong Bao dan lainnya untuk memulangkan para duta asing.[84][85] Para duta dari 16 negara berbeda dibawa ke kampung halaman mereka oleh armada khazanah.[86] Beberapa tempat tujuan pertamanya tampaknya adalah Malaka dan tiga negara Sumatra yakni Lambri, Aru, dan Semudera.[86] Armada tersebut dipecah dalam beberapa skuadron terdetasemen di Semudera.[83][86][87] Seluruh skuadron mengarah ke Ceylon, dimana mereka dipisahkan untuk Jiayile, Cochin, Ganbali, atau Kalikut di selatan India.[86] Skuadron-skuadron tersebut berlayar dari sana ke tempat tujuan mereka masing-masing di Liushan (Kepulauan Maladewa dan Laccadive); Hormuz di Teluk Persia; tiga negara Arabia: Djofar, Lasa, dan Aden; dan dua negara Afrika: Mogadishu dan Brava.[86] Kasim Zhou (diyakini Zhou Man) memimpin skuadron terdetasemen ke Aden.[83][87][88] Ma Huan menyebut Zhou Man dan Li Xing dalam koneksi dengan kunjungan ke Aden.[89] Skuadron mereka juga mengunjungi Lasa dan Djofar.[88] Menurut Mingshi, Laksamana Cheng Ho secara pribadi mengunjungi Ganbali[f] sebagai duta pada 1421.[86] Ini adalah salah satu dati dua belas negara di barat Sumatra yang dikunjungi oleh Laksamana Cheng Ho.[86] Bahkan meskipun Qiulon tak dikjunjungi, skuadron untuk Mogadishu mungkin dipisah di dekat Qiulon sebagai titik navigasi saat armada utama mengarah ke Kalikut.[88] Sebuah skuadron besar kemudian mengarah dari Kalikut ke Hormuz.[88] Mereka berlayat melewati Kepulauan Laccadive.[88]

Saat pulang, beberapa skuadron dikumpulkan ke Kalikut dan seluruh skuadron dikumpulkan di Semudera.[88] Siam tampaknya dikunjungi saat perjalanan pulang.[86] Armada pulang pada 3 September 1422.[84][90] Mereka membawa serta para duta dari Siam, Semudera, Aden, dan negara-negara lainnya, yang membawa upeti dalam bentuk produk-produk lokal.[90] Para duta asing, yang pergi ke Tiongkok dengan armada tersebut, melewati jalur darat atau melalui Bendungan Besar sebelum mencapai istana kekaisaran di Beijing pada 1423.[91]

Garisun Nanjing

Kuil Bao'en Besar seperti yang digambarkan dalam A Plan of Civil and Historical Architecture (1721) karya Fischer von Erlach

Pada 14 Mei 1421, Kaisar Yongle memerintahkan penundaan temporer dari pelayaran tersebut, tetapi penundaan benar-benar mengakhiri pelayaran tersebut pada akhir masa pemerintahannya.[92] Perhatian dan pendanaan kekaisaran terhadap kampanye Mongol ketiga, keempat dan kelima mengikis pelayaran armada khazanah tersebut.[92] Antara 1422 dan 1431, armada khazanah masih di Nanjing untuk bertugas dalam garisun kota tersebut.[6]

Pada 1424, Laksamana Cheng Ho berangkat untuk misi diplomatik ke Palembang.[g][93] Sementara itu, Zhu Gaozhi mewarisi tahta sebagai Kaisar Hongxi pada 7 September 1424 setelah kematian Kaisar Yongle pada 12 Agustus 1424.[94][95] Cheng Ho mengetahui kematian Kaisar Yongle saat ia pulang dari Palembang.[96][97]

Pada 7 September 1424, Kaisar Hongxi mengambil alih kepentingan pelayaran khazanah berikutnya.[98][99] Ia melucuti kepentingan pelayaran tersebut.[82][100] Meskipun demikian, ia membiarkan armada khazanah sebagai bagian dari garisun Nanjing.[101] Armada tersebut juga masih mempertahankan sebutan aslinya "Xiafan Guanjun" (artinya "armada ekspedisioner luar negeri").[101] Ia berharap untuk memindahkan ibu kota kekaisaran dari Nanjing ke Beijing, yang telah terjadi pada masa pemerintahan Yongle.[102] Kemudian, pada 24 Februari 1425, ia mengangkat Laksamana Cheng Ho sebagai pertahanan Nanjing dan memerintahkannya untuk meneruskan komandonya atas armada khazanah untuk pertahanan kota tersebut.[102] Cheng Ho memerintah kota tersebut dengan tiga kasim untuk materi-materi internal dan dua bangsawan militer untuk materi-materi eksternal.[103] Disana, ia menunggu kepulangan Kaisar Hongxi bersama dengan kelompok militer dari utara.[103] Namun, kaisar wafat pada 29 Mei 1425 sebelum ini dapat dilakukan.[102][104] Sehingga, Beijing masih menjadi ibu kota de facto dan Nanjing masih menjadi ibu kota sekunder.[104] Ia diteruskan oleh Kaisar Xuande.[105] Kontras dengan Kaisar Hongxi, yang menghimpun para pejabat sipil pada masa pemerintahannya, Kaisar Xuande menghimpun para kasim pada masa pemerintahannya.[106] Kaisar Xuande masih berada di Beijing, yang secara mutlak membuat pemerintah Nanjing menjadi lembaga permanen.[107]

Pada 25 Maret 1428, Kaisar Xuande memerintahkan Cheng Ho dan lainnya untuk mengambil alih penaungan atas pembangunan ulang dan perbaikan ulang Kuil Baoen Besar di Nanjing.[108] Ia merampungkan pembangunan kuil tersebut pada 1431.[109] Beberapa otoritas berspekulasi bahwa dana yang akan diberikan pada pelayaran khazanah dialihkan ke pembangunan Kuil Bao'en Besar.[110]

Pelayaran ketujuh

Rute pelayaran ketujuh

Gong Zhen mencatat bahwa sebuah perintah kekaisaran yang dikeluarkan pada 25 Mei 1430 untuk penghimpunan tujuan-tujuan yang dibutuhkan untuk pengerahan Cheng Ho, Wang Jinghong, Li Xing, Zhu Liang, Yang Zhen, Hong Bao, dan lainnya pada bisnis resmi untuk negara-negara Samudera Barat.[85] Ini ditujukan kepada Yang Ch'ing, Lo Chih, T'ang Kuan-po, dan Yüan Ch'eng.[85] Pada 29 Juni 1430, Kaisar Xuande mengeluarkan perintahnya untuk pelayaran ketujuh.[83][91][111] Ini ditujukan kepada Cheng Ho dan lainnya.[83] Xuanzong Shilu melaporkan bahwa Cheng Ho, Wang Jinghong, dan lainnya dikirim ke wilayah-wilayah asing yang jauh untuk mengirimkan mereka pertahanan dan pengajuan.[91] Kaisar berharap untuk mereinvigorasikan hubungan-hubungan persukuan yang telah dipromosikan pada masa pemerintahan Yongle.[112] Sebelum berangkat untuk pelayaran ketujuh, Laksamana Cheng Ho dan para rekannya membuat inskripsi Liujiagang dan Changle.[105]

Xia Xiyang memberi informasi berharga tentang itinerari untuk pelayaran tersebut. Tanggal-tanggal berikut berasal dari catatan tersebut. Armada tersebut berlayar dari Longwan (artinya "teluk naga") di Nanjing pada 19 Januari 1431.[113][114] Pada 23 Januari, armada tersebut berhenti di Xushan, sebuah pulau yang saat itu tak dikenal di Yangtze, dimana para krunya berburu hewan.[113][114] Pada 2 Februari 1431, armada tersebut berlayar melewati Perlintasan Fuzi (sekarang Selat Baimaosha) menuju hilir Sungai Yangzte sebelum datang ke Liujiagang pada keesokan harinya (3 Februari).[113][114] Pada 14 Maret 1431, inskripsi Liujiagang dihimpun disana.[115]

Pada 8 April 1431, armada datang ke Changle, dimana mereka singgah sampai pertengahan Desember.[113][114] Inskripsi Changle, tertanggal bulan 11 tahun 6 masa pemerintahan Xuande, dihimpun pada akhir persinggahan mereka disana.[115] Pada 16 Desember, mereka pergi ke Fu Tou Shan, mungkin dekat Fuzhou.[114] Armada khazanah berlayar melewati Wuhumen pada 12 Januari 1432.[113][114] Pada 27 Januari 1432, aramda membaut panggilan di ibu kota Wijaya (sekarang dekat Qui Nhon) di Champa sebelum berangkat pada 12 Februari.[114][116] Pada 7 Maret 1432, armada datang ke Jawa, dimana mereka berlabuh di Surabaya.[114][117] Armada singgah di kawasan tersebut sebelum berangkat pada 13 Juli.[114][117] Pada 24 Juli 1432, armada datang ke Palembang sebelum berangkat pada 27 Juli.[117][118] Dari Palembang, armada berlayar ke Sungai Musi, menuju Selat Bangka, melewati kepulauan Riau dan Lingga.[119] Kepulauan Lingga dan Riau memiliki populasi pembajak yang menonjol yang menghimpun ancaman bagi kapal-kapal yang lewat, tetapi para pembahak tersebut tak menghimpun ancaman kepada armada khazanah.[119] Pada 3 Agustus 1432, armada khazanah datang ke Malaka.[118][119] Armada berangkat dari Malaka pada 2 September 1432.[118][119] Mereka mengunjungi Semudera dan datang kesana pada 12 September.[118][119] Pada 2 November 1432, armada berangkat dari Semudera.[118][119] Pada 28 November 1432, armada datang ke Beruwala, Ceylon.[118][119] Armada berangkat dari Beruwala pada 2 Desember.[118][120] Mereka datang ke Kalikut pada 10 Desember.[118][120] Armada berangkat dari Kalikut ke Hormuz pada 14 Desember 1432.[118][121] Mereka datang ke Hormuz pada 17 Januari 1433.[118][121] Armada khazanah singgah di Hormuz selama hampir dua bulan sebelum pulang pada 9 Maret 1433.[118][121]

Dalam Xia Xiyang, Hormuz merupakan tempat tujuan paling barat dari pelayaran ketujuh yang dicatat.[121] Namun, Mingshi dan sumber-sumber lainnya masih mendeskripsikan pelayaran tersebut dengan setidaknya sebanyak 17 negara yang dikunjungi dari delapan yang disebutkan dalam Xia Xiyang.[121][122] Tempat tujuan tambahan yang dicatat dalam Mingshi adalah: Coimbator (Ganbali), Bengal, Kepulauan Laccadive dan Maladewa, Djofar, Lasa, Aden, Mecca, Mogadishu, dan Brava.[123] Gong Zhen bahkan mencatat sebanyak 20 negara yang dikunjungi.[122] Pada pelayaran tersebut, seperti yang Fei Xin sebutkan, armada tersebut melakukan pemberhentian di Kepulauan Andaman dan Nicobar.[123][124] Pada 14 November 1432, ia menulis bahwa armada datang ke Cuilanxu (mungkin Pulau Nicobar Besar) dimana mereka singgah selama tiga hari karena arus dan angin yang tak bersahabat.[120] Ia kemudian menulis bahwa penduduk asli datang dengan perahu-perahu kayu untuk memperdagangkan kelapa.[120] Negara-negara tetangga Aru, Nagur, Lide, dan Lambri terkadang dikunjungi beberapa kapal, menurut Dreyer (2007), pada perjalanan armada ke Semudera di utara Sumatra.[123]

Laksamana Cheng Ho secara eksplisit disebutkan dalam Mingshi pada kaitannya dengan perjalanan ke Ganbali (mungkin Coimatore),[121][125] Lasa,[121][125] Djorfar,[121] Magadishu,[121][125] dan Brava.[121][125] Ganbali berada di selatan India, Lasa dan Djorfar berada di pantai selatan Arabia, dan Magadishu dan Brava berada di Somalia (Afrika).[121] Dreyer (2007) menyatakan bahwa catatan tersebut tak menjelaskan apakah ia pergi ke tempat-tempat tersebut seorang diri.[121] Pemakaian kata dalam Mingshi dapat mengindikasikan bahwa ia melakukannya seperti halnya catatan tersebut menyatakan bahwa ia memproklamasikan instruksi-instruksi kekaisaran kepada para raja negara-negara tersebut.[121] Meskipun demikian, ini mungkin juga tidaklah demikian, karena armada hanya membuat pemberhentian singkat di Kalikut (4 hari berangkat dan 9 hari pulang) yang tak dapat memberikan waktu yang cukup untuk melakukan penjelajahan sampai Ganbali, meskipun lokasi tersebut tak merujuk kepada Coimatore alih-alih tempat lainnya di selatan India.[126] Perjalanan darat dilakukan oleh beberapa orang selain Cheng Ho itu sendiri.[123] Catatan Mingshi tentang Lasa menyatakan bahwa para duta besar dari Lasa, Aden, dan Brava berkunjung dengan Cheng Ho ke Tiongkok.[123] Ini menandakan bahwa kapal-kapal tersebut mungkin membawa serta mereka dengan armada utama ke Kalikut menurut Dreyer (2007), tergantung pada apakah Cheng Ho mengunjungi negara-negara tersebut seorang diri atau masih dengan awak utama armada.[123] Dreyer (2007) berpikir bahwa skuadron-skuadron terdetasemen mungkin dikerahkan ke Kalikut untuk perjalanan pulangnya, karena armada utamanya tak singgah lama disana.[127]

Hong Bao mengkomandani sebuah skuadron untuk pelayaran ke Bengal.[123] Ma Huan berkunjung dengan Hong Bao dalam skuadron ini.[128] Tak diketahui kapan mereka mengarahkan armada khazanah ke Bengal.[h] Mereka berlayar dari Semudera menuju Bengal.[129] Di Bengal, mereka mengunjungi Chittagong, kemudian ke Sonargaon, dan terakhir ke ibu kota Gaur.[130] Mereka kemudian berlayar dari Bengal ke Kalikut.[129][130] Armada Laksamana Cheng Ho berangkat dari Kalikut ke Hormuz pada waktu skuadron Hong Bao datang ke Kalikut.[129]

Saat di Kalikut, dengan menyiapkan kapal-kapal lokal untuk ke Mekkah, Hong Bao mengirim tujuh pria Tionghoa untuk menyertai sebuah kapal yang mengarah ke Mekkah.[131] Salah satu dari tujuh pria tersebut diyakini adalah Ma Huan.[i][132][133] Ma Huan menyebut soal Mekkah dalam bagian Tianfang ("Kubus Surgawi"), sebuah rujukan kepada Ka'bah.[131] Setelah setahun, tujuh pria tersebut pulang dengan komoditas dan barang-barang berharga yang mereka beli, yang meliputi jerapah, singa dan burung unta.[131]

Dreyer (2007) berpendapat bahwa Hong Bao juga terlibat dalam beberapa destinasi lainnya, seperti Djofar, Lasa, Aden, Mogadishu, dan Brava.[134] Namun, P. Pelliot berpendapat bahwa skuadron armada yang berada di Hormuz berlayar ke Aden, pelabuhan-pelabuhan Afrika Timur dan mungkin Lasa.[132]

Dreyer (2007) menyatakan bahwa negara-negara berikut ini juga dikunjungi oleh beberapa kapal saat armada melintasinya: Siam; negara-negara utara Sumatra Aru, Nagur, Lide, dan Lambri (saat berlayar ke Semudera), Qiulon dan Cochin (saat berlayar ke Kalikut).[123] Mills (1970) menyatakan bahwa para rekan Cheng Ho dan bukan Laksamana Cheng Ho sendiri yang mengunjungi Siam, Aru, Nagur, Lide, Lambri, Kepulauan Nicobar, Bengal, Qiulon, Cochi, Coimbatore, Kepulauan Maladewa, Dhufar, Lasa, Aden, Mekkah, Mogadishu, dan Brava.[124]

Tanggal-tanggal berikut untuk perjalanan ulang berasal dari Xia Xiyang. Armada tersebut berangkat dari Hormuz pada 9 Maret 1433 dan datang ke Kalikut pada 31 Maret.[127][135] Pada 9 April, armada datang ke Kalikut.[127][135] Mereka berlayar melewati samudera terbuka.[127][135] Pada 25 April, armada datang ke Semudera.[127][135] Pada 1 Mei, armada berangkat dari Semudera.[127][135] Pada 9 Mei, armada datang ke Malaka.[127][135] Armada datang ke Samudera Kunlun[j] pada 28 Mei 1433.[k][135] Pada 13 Juni, armada datang ke Wijaya (sekarang Qiu Nhon).[135][136] Armada berangkat dari Wijaya pada 17 Juni.[135][136]

Xia Xiyang menyebut beberapa penglihatan geografi[l] dari sana sampai armada memasuki Taicang.[136] Armada datang ke Taicang pada 7 Juli 1433.[135][136] Xia Xiyang secara eksplisit menyebut bahwa ini tidak mencatat perjalanan dari Taicang ke ibu kota.[135] Pada 22 Juli, mereka datang ke ibu kota Beijing.[135][137] Pada 27 Juli, Kaisar Xuande memberikan uang kertas dan jubah seremonial kepada personel armada.[135][137]

Dreyer (2007) menyatakan bahwa mereka tak berlabuh di Ceylon atau selatan India, karena mereka berlayar di bawah kondisi pelayaran yang memungkinkan dan bergerak sebelum muson barat daya.[127] Ma Huan mencatat bahwa berbagai kapal yang dikerahkan dikumpulkan kembali di Malaka untuk menunggu angin yang memungkinkan sebelum melanjutkan perjalanan pulang mereka.[132]

Laksamana Cheng Ho pulang dengan para duta dari 11 negara, termasuk satu orang dari Makkah.[138] Pada 14 September 1433, seusai yang tercatat dalam Xuanzong Shilu, para duta tersebut datang ke istana untuk mempersembahkan upeti: Raja Zain al-Abidin dari Semudera mengirim adiknya Halizhi Han dan lain-lain, Raja Bilima dari Kalikut mengirim duta besarny Gebumanduluya dan lain-lain, Raja Keyili dari Cochin mengirim duta besarnya Jiabubilima dan lain-lain, Raja Parakramabahu VI dari Ceylon mengirim duta besarnya Mennidenai dan lain-lain, Raja Ali dari Djofar mengirim duta besarnya Hajji Hussein dan lain-lain, Raja Al-Malik az-Zahir Yahya b. Isma'il dari Aden mengirim duta besarnya Puba dan lain-lain, Raja Devaraja dari Coimbatore mengirim duta besarnya Duansilijian dan lain-lain, Raja Sa'if-ud-Din dari Hormuz mengirim orang asing Malazu, Raja "Kayal Lama" (Jiayile) mengirim duta besarnya Abd-ur-Rahman dan lain-lain, dan Raja Makkah mengirim anggota kepala (toumu) Shaxian dan lain-lain.[137]

Masa selanjutnya

Pada masa pelayaran tersebut, Tiongkok Ming menjadi pelopor kekuatan angkatan laut pada awal abad ke-15.[139] Kaisar Yongle memegang kontrol kekaisaran atas wilayah-wilayah asing sepanjang pelayaran tersebut.[140] Namun, pada 1433, pelayaran tersebut berhenti dan Tiongkok Ming makin menjauhi lautan.[141] Tidak diketahui kenapa pelayaran tersebut berakhir sepenuhnya pada 1433.[142] Duyvendak berpendapat bahwa pemberhentian ekspedisi tersebut secara keseluruhan sebagian karena pengeluaran yang berlebihan.[143] Entah benar atau tidak, biaya untuk penghimpunan pelayaran tersebut tidaklah terlalu mengikis kekayaan Ming.[144][145] Perdagangan masih berkembang lama setelah pelayaran dihentikan.[146] Kapal-kapal Tionghoa masih mengendalikan perdagangan maritim Asia Timur.[138][147] Mereka juga masih berdagang di sekitaran India dan Afrika Timur.[147]

Kekuasaan politik secara bertahap beralih ke para pejabat sipil, sementara kalangan bangsawan dan militer memudar, bahkan meskipun mereka telah menjadi para anggota berpengaruh dari elit pemerintahan pada masa pemerintahan Hongwu dan Yongle.[148] Akibatnya, kaum kasim tak dapat mengumpulkan dukungan kepada proyek-proyek awal karena ditentang oleh pemerintah sipil.[148] Para pejabat sipil masih mengharapkan upaya kaum kasim untuk menghimpun kembali pelayaran khazanah, karena itu dapat melanjutkan sugesti bagi para kaisar Ming untuk mencapai prestasi-prestasi dari masa pemerintahan Yongle.[148] Namun, tak ada kaisar pada masa berikutnya yang benar-benar berniat menghimpun ulang ekspedisi tersebut.[149] Penarikan armada khazanah Tiongkok Ming menghengkangkan dominasi kekaisaran asing atas Samudera Hindia.[150]

Dampak

Tujuan

Perjalanan tersebut bernuansa diplomatik, militeristik dan perdagangan.[151] Mereka menghimpun kontrol kekaisaran atas perdagangan maritim,[2][139] untuk mengirim perdagangan maritim ke sistem tributer,[152] dan menarik negara-negara asing untuk ikut serta dalam sistem tributer tersebut.[139][152][153] Aspek diplomatik terdiri dari pengumuman kenaikan tahta Kaisar Yongle, pendirian hegemoni atas negara-negara asing, dan memberikan jaminan keamanan pada para duta asing yang memberikan upeti.[154]

Terdapat tujuan untuk memberadabkan apa yang disebut suku bangsa barbar dengan mengirim mereka ke pengajuan resmi dalam tatanan dunia yang lebih lebar oleh Tiongkok Ming.[155] Para penguasa asing ditarik untuk mempelajari moral inheren dan superioritas kebudayaan Tiongkok, sebuah obligasi yang dapat dicapai dengan membayar tebusan dan mempersembahkan upeti kepada istana Ming.[155] Pada masa pelayaran tersebut, Kaisar Yongle menghimpun hegemoni politik dan kebudayaan Tiongkok Ming atas seluruh wilayah lainnya.[2]

Pada masa pemerintahan Kaisar Hongwu, tindakan militer di luar negeri dilarang.[156] Sehingga, menurut Wang (1998), pengumuman Kaisar Yong Le untuk mencari Kaisar Jianwen—pendahulunya yang digulingkan dan sepupunya—dijadikan sebagai pembenaran publik untuk mengadakan pelayaran khazanah tersebut.[156] Kaisar Yongle mendorong pengesahan pemerintahannya dengan meminta negara-negara asing untuk mengakui status tributer mereka dalam tatanan dunia yang lebih besar dari Tiongkok Ming,[156][157] yang mengikatkan hubungan diplomatik berdasarkan pada presensi terlihat dari angkatan laut militeristik di perairan asing.[156]

Menurut Mills (1970), armada khazanah mengkarakterisasikan "alat agresi dan dominasi politik."[2] Kaisar Yongle memajukan manifestasi kekuatan dan kekayaan Tiongkok untuk menyadarkan wilayah-wilayah asing di bawah hegemoni Tiongkok.[158][159] Ia berharap untuk menunjukkan bendera Ming dan mendirikan keberadaan militer di sepanjang rute perdagangan maritim untuk menyadarkan negara-negara asing di sepanjang rute-rute tersebut.[160]

Terdapat teori meragukan bahwa pelayaran tersebut dilakukan untuk mencari Kaisar Jianwen yang digulingkan.[5][161] Teori meraukan lainnya menyatakan bahwa pelayaran tersebut dilakukan untuk menanggapi kekuatan lainnya di Asia, yakni negara Timuriyah dari Timur Lenk atau Tamerlane, musuh Tiongkok Ming.[5] Namun, setelah kematian Tamerlane pada 1405, Tiongkok Ming ditinggalkan tanpa tandingan oleh Timuriyah, karena Shahrukh (memerintah 1405–1447) menormalisasikan hubungan diplomatik dengan Tiongkok dan melakukan pendudukan secara beriringan.[5] Faktor-faktor Jianwen atau Tamerlane absen dari sumber-sumber sejarah kontemporer, sehingga teori-teori tersebut kurang meraih dukungan dan konfirmasi.[5]

Kebijakan dan pemerintahan

Lukisan Kaisar Xuande (Museum Istana Nasional)

Cheng Ho menjabat sebagai Direktur Besar dalam Direktorat Pelayan Istana, sebuah departemen yang dinominasi kasim, sebelum ia ditunjuk untuk pelayaran tersebut.[162] Proyek-proyek pembangunan biasanya merupakan domain kaum kasim, yang sering kali ditempatkan untuk menaunginya.[162] Pembangunan armada khazanah tak berbeda dengan yang para kasim naungi, sementara militernya ditugaskan untuk menuntunnya.[11] Para pejabat sipil mengkritik pengeluaran negara yang dikeluarkan oleh pembangunan armada tersebut.[11] Disamping kritikan, Kaisar Yongle tetap melanjutkan rencana besarnya.[11]

Kaisar Hongwu mengkhawatirkan dampak politik dan sosial pada perdagangan maritim yang dapat terjadi,[163][164] sehingga ia mendorong pembatasannya dengan melarang perdagangan maritim swasta.[165][166] Kebijakan tersebut juga berlanjut pada masa pemerintahan Kaisar Yongle.[165][166] Namun, Kaisar Yongle sendiri berniat untuk mengkonsolidasikan kontrol kekaisaran atas perdagangan maritim, menghentikan kejahatan pesisir dan penyakit, menyediakan pekerjaan bagi para marinir dan wirausahawan, mengekspor barang-barang Tiongkok ke pasar-pasar asing, mengimpor barang-barang yang diinginkan bagi para konsumen Tiongkok, menghimpun sistem tributer, dan menghimpun kedikdayaan kekaisaran di lautan.[167] Pelayaran tersebut difungsikan sebagai komisi perdagangan dalam upaya pemerintah untuk meregulasi perdagangan maritim swasta dengan menghimpun monopoli kekaisaran terhadapnya dan menginkorporasikannya dalam sistem tributer.[140] Tampaknya terdapat beberapa gagasan tentang kebijakan luar negeri yang terdiri dari perdagangan asing, yang didukung oleh keberadaan angkatan laut militer dan penanaman kepentingan yang dibagi dengan para sekutu lokal.[158]

Kaisar Yongle tinggal di Nanjing dari 1402 tak lama setengah memerintahkan pelayaran ketiga pada 1409, saat ia pergi untuk menaungi pembangunan ibu kota baru di Beijing.[60] Ia berada di Nanjing saat keberangkatan armada untuk pelayaran pertama dan ketiga, dan saat armada pulang dari tiga pelayaran pertama.[168] Menurut Dreyer (2007), kepentingan kaisar dalam pelayaran tersebut adalah hal yang tertinggi pada masa itu, tetapi ia menjadi lebih menyoroti kampanye militer ofensif melawan bangsa Mongol setelah mendirikan ibu kota di Beijing.[168] Wilayah selatan dan perairan kurang diberi perhatian dari para kaisar dan pejabat setelah perpindahan ibu kota dari Nanjing sampai Beijing.[64] Dreyer (2007) menyatakan bahwa pelayaran tersebut akan memiliki manfaat yang baik jika Kaisar Hongzi tidak memindahkan ibu kota dari Nanjing[m] ke Beijing, karena istana akan berada di dekat galangan kapal Longjiang dimana kebanyakan kapal dibangun dan tempat-tempat dimana pelayaran dilakukan.[148]

Dalam pemerintahan Ming, para pejabat sipil merupakan faksi yang menentang pelaran tersebut.[144][157][169] Sebaliknya, kaum kasim dihimpun menjadi kepala armada dan ekspedisi tersebut.[141][142][157][169] Para pejabat sipil mengecam pelayaran tersebut karena berlebihan dan membuang-buang uang.[169][170] Secara tradisional, mereka merupakan lawan politik dari kaum kasim,[141][157][169] namun pihak militer juga ada yang masuk armada tersebut.[157] Ketidakseimbangan politik dan institusional dalam sistem negara ini turut andil pada perlawanan inheren para pejabat sipil melawan pelayaran tersebut.[157][169][171] Atas dasar kebudayaan, pertikaian terjadi karena perdagangan dan akuisisi barang-barang asing aneh yang berseberangan dengan ideologi Konghucu mereka.[172][173][169][170] Peminatan pelayaran tersebut mungkin masih dapat bertahan selama kaum kasim meraih daya tarik kekaisaran.[142][174] Kaisar Yongle memiliki sedikit konsiderasi untuk biaya jangka panjang saat ini mendatangkan keputusannya untuk menangani pelayaran khazanah tersebut.[175] Dalam kasus apapun, pelayaran maritim tidaklah menghabiskan kas negara Ming.[144][145]

Menteri Keuangan Xia Yuanji adalah penentang vokal terhadap pelayaran khazanah.[95][176][177] Pada 1421, ia ditahan karena menyuarakan penentangan melawan keputusan Kaisar Yongle untuk mengadakan kampanye militer Mongol ketiga, yang akan menambahkan pengeluaran lain untuk pengeluaran-pengeluaran yang ada.[176] Kaisar Hongxi sangat menentang pelayaran khazanah sepanjang masa jabatannya.[82] Atas nasihat Xia Yuanji, ia memerintahkan pengulangan pelayaran khazanah pada 7 September 1424, hari kenaikan tahtanya.[95] Pada 8 September 1424, ia membebaskan Xia Yuanji dari penjara.[98] Namun, Kaisar Xuande yang menggantikannya memerintahkan Laksamana Cheng Ho untuk mengkomandoi armada untuk pelayaran ketujuh.[105] Setelah kematian Xia Yuanji pada 19 Februari 1430, rintangan menonjolnya dapat dikatakan lenyap setelah kematiannya.[178] Kaisar Xuande ingin melawan opini pemerintahan umum saat ia memerintahkan pelayaran ketujuh.[112]

Setelah 1433, para pejabat sipil juga menghambat ekspedisi maritim berikutnya.[171] Kapal-kapal dibiarkan teronggok, sementara kayu-kayu mereka dijual untuk dijadikan bahan bakar di Nanjing.[171] Para marinir dialihkan untuk mengurusi bahan-bahan pokok di Bendungan Besar dan membangun mausoleum kaisar.[171] Setelah pelayaran tersebut, para kaisar Ming pada masa selanjutnya menolak kebijakan Kaisar Yongle untuk mengirim perdagangan militer dalam struktur sistem tributer.[141]

Personel dan organisasi

Model dari sebuah kapal khazanah (Museum Sains Hong Kong)

Armada tersebut terdiri dari sejumlah pria yang melebihi populasi laki-laki secara keseluruhan dari kota pelabuhan manapun dari Guangzhou sampai Mombasa pada masa itu.[179] Setiap kapal khazanah mengerahkan sekitar 500 pria (menurut Mills)[180] atau setidaknya 600 pria (menurut Finlay).[181] Para perwira berpangkat tinggi—Laksamana Cheng Ho dan para rekannya—berasal dari kalangan kaum kasim.[182] Mayoritas krunya berasal dari militer Ming.[182] Mereka kebanyakan direkrut dari Fujian.[161][183]

Terdapat tujuh Pengarah Besar (taijian)—yang menjabat sebagai duta besar dan komandan armada—disusul oleh 10 Pengarah Junior (shaojian).[184][185] Laksamana Cheng Ho merupakan salah satu Pengarah Besar.[184] Meliputi seluruh kasim dari personel tersebut,[185] terdapat sebanyak 70 kasim dalam komando armada khazanah.[184] Ini disusul oleh 2 brigadir (du zhihuishi), 93 kapten (zhihuishi), 104 letnan (qianhu), dan 103 sub-letnan (bohu).[n][184][185] Terdapat 180 personel medis, seorang pengarah biro[o] dari Kementerian Keuangan, dua sekretaris, dua perwira protokol[p] Pemerintahan Seremonial Negara, seorang perwira astrologi, dan empat astrolog.[185][186] Personel juga terdiri dari hakim garda (wei zhenfu) dan hakim batalion (suo zhenfu).[184] Sisa personelnya meliputi para perwira bawahan (qixiao atau quanxiao), korps pemberani (yongshi), korps kekuatan[q] (lishi), prajurit militer (disebut sebagai guanjun, "prajurit resmi", atau qijun, "prajurit bendera"), supernumerari (yuding), pasukan perahu (minshao), pembeli (maiban), dan pramuniaga (shushou).[186][187]

Xia Xiyang karya Zhu Yunming mencatat para personelnya sebagai berikut: perwira dan perwira bawahan (guanxiao), prajurit (qijun), pemimpin massa (huozhang), pengurus senjata (tuogong), pengurus jangkar (bandingshou), penerjemah (tongshi), manajer bisnis (banshi), akuntan (susuanshi), dokter (yishi), mekanik jangkar (tiemiao), tukang bangunan (munian), pembuat layar (dacai), prajurit (shuishou), dan pengurus perahu (minshaoren).[186][187]

Inskripsi-inskripsi Liujiagang mencatat Cheng Ho dan Wang Jinghong sebagai para duta utama.[188] Sumber tersebut juga mencatat Zhu Liang, Zhou Man, Hong Bao, Yang Zhen, dan Zhang Da sebagai duta deputi.[188] Inskripsi Changle mengulangnya, tetapi menambahkan Li Xing dan Wu Zhong sebagai duta deputi.[188] Seluruh duta yang dicatat disematkan pangkat Pengarah Besar dalam kedua inskripsi tersebut, kecuali Zhang Da yang disebutkan dengan pangkat Asisten Pengarah Senior dalam inskripsi Liujiagang dan pangkat Pengarah Besar dalam inskripsi Changle.[188] Selain itu, inskripsi Changle menyebut Zhu Zhen dan Wang Heng sebagai brigadir.[183][188] Orang-orang tersebut dan "orang-orang lainnya" yang tak disebutkan namanya disebutkan pada masing-masing inskripsi sebagai orang-orang yang mengkomposisikannya.[188] Inskripsi Changle juga menyebut bahwa pendeta Daois, Yang Yichu meminta untuk mendirikan prasasti penghormatan.[188] Dua inskripsi secara eksplisit menyatakan bahwa Laksamana Cheng Ho mengkomandani sekitar sepuluh ribu prajurit pemerintahan dan lebih dari seratus kapal lintas samudera untuk seluruh pelayaran mereka.[189][190]

Lonceng Cakra Donya adalah sebuah hadiah dari Cheng Ho kepada Kesultanan Samudera Pasai di Aceh, Sumatra

Sepanjang 1403, pemerintahan-pemerintahan provinsial Fujian, Jiangxi, Zhejiang, dan Huguang dan garisun-garisun militer Nanjing, Suzhou, dan kota-kota lainnya diperintahkan untuk membangun kapal-kapal.[11] Taizong Shilu berisi 24 entri pendek untuk perintah kekaisaran untuk pembangunan kapal dari 1403 sampai 1419.[191] Angka yang diberikan adalah sekitar 2868 kapal yang dibangun di bawah perintah kekaisaran sepanjang tahun-tahun masa Tiongkok Ming.[191]

Untuk pelayaran pertama, armada memiliki personel 27.800[18] or 27,870 men.[14][20] Armada khazanah terdiri dari sebanyak 317 kapal untuk pelayaran ini.[12][14][20] Ini meliputi 62 kapal khazanah.[14][18] Ini juga meliputi 63 kapal kazanah.[28] Mingshi menyatakan bahwa armada tersebut memiliki 62 kapal khazanah untuk 27,800 kru untuk pelayaran pertama.[28] Gongque karya Tan Qian mencatat 63 kapal khazanah dan 27,870 kru untuk pelayaran pertama.[28] Zuiweilu mencatat 37.000 personel, tetapi ini kemungkinan adalah sebuah kesalahan.[28] Shuyu Zhouzilu karya Yan Congjian mencatat sebuah perintah kekaisaran untuk pembangunan 250 kapal khusus untuk pelayaran Samudra Barat.[28] Ini sebenarnya merujuk kepada dua perintah kekaisaran terpisah—seperti yang dicatat dalam Taizong Shilu—untuk garda ibu kota Nanjing untuk 200 kapal (haiyunchuan, artinya "kapal transportasi laut") pada 4 September 1403 dan untuk 50 kapal (haichuan, artinya "kapal laut") pada 1 Maret 1404.[192]

Namun, Taizong Shilu tak mencatat keperluan untuk 250 kapal yang dibangun.[193] Sumber tersebut juga mencatat perintah kekaisaran 2 Maret 1404 kepada Fujian untuk membangun 5 kapal (haichuan) dan menyatakan bahwa lima kapal tersebut adalah untuk pelayaran ke Samudera Barat.[28] 255 kapal tersebut ditambah dengan 62 kapal khazanah sehingga totalnya menjadi 317 kapal.[28] Angka 317 kapal[r] untuk pelayaran pertama adalah konsensus umum dari kebanyakan cendekiawan.[28]

Untuk pelayaran kedua, armada khazanah dianggap terdiri dari 249 kapal.[37][165] Pada 5 Oktober 1407, sesuai dengan yang dicatat dalam Taizong Shilu, Wang Hao memerintahkan pengerahan 249 kapal dalam persiapan untuk kedubes-kedubes untuk negara-negara di Samudra Barat.[194] Ini dekat dengan tanggal saat pelayaran kedua diperintahkan, sehingga armada tersebut tampaknya meliputi 249 kapal untuk pelayaran kedua.[193] Jumlah kapal khazanah[39] atau personel[37][39] tidak diketahui.

Untuk pelayaran ketiga, Xingcha Shenglan karya Fei Xin mencatat bahwa armada tersebut memiliki 48 haibo (artinya "pedagang samudera") dan lebih dari 27,000 kru.[195] Dreyer (2007) menyatakan bahwa Fei Xin mungkin menyebut kapal-kapal khazanah dengan sebutan haibo.[196] Shuyu Zhouzilu karya Yan Congjian dan Shuyuan Zaji karya Lu Romg memakai istilah "kapal khazanah" saat mereka menyebut 48 kapal untuk pelayaran ini.[195] Selain itu, Taizong Shilu menyebut perintah kekaisaran 14 Februari 1408 untuk pembangunan 48 kapal khazanah kepada Kementerian Pekerjaan di Nanjing.[195] 48 kapal khazanah tersebut diyakini dipakai untuk pelayaran ketiga.[195] Dreyer (2007) menyatakan bahwa armada khazanah tersebut tampaknya memiliki sejumlah kapal pendukung disamping 48 kapal khazanah.[195]

Yingya Shenglan karya Ma Huan mencatat 63 kapal khazanah untuk pelayaran keempat.[189] Kapal-kapal tersebut diyakini disertai oleh kapal-kapal pendukung.[189] Armada tersebut terdiri dari 28,560 orang[61][64] atau 27670 orang.[67] Fei Xin mencatat jumlah 27.670 personel untuk pelayaran tersebut, tetapi sumber lain menyebut angka 28,560.[189]

Tak ada catatan untuk jumlah pakal atau personel untuk pelayaran kelima.[73][189]

Pada 2 Oktober 1419, sebuah perintah dikeluarkan untuk pembangunan 41 kapal khazanah dari perusahaan pembuatan kapal.[197] Laksamana Cheng diyakini memakai kapal-kapal tersebut untuk pelayaran keenam.[86] Kebanyakan cendekiawan menyatakan bahwa kapal-kapal tersebut tampaknya dipakai untuk pelayaran keenam,[189] namun beberapa kapal khazanah lainnya telah atau sedang dibangun pada masa itu.[198] Tak ada jumlah spesifik untuk jumlah kapal atau personel dari pelayaran keenam.[189] Armada khazanah diyakini menggunakan beberapa puluh kapal khazanah yang disertai oleh sepersepuluh kapal pendukung.[86]

Untuk pelayaran ketujuh, inskripsi Liujiagang dan Changle menyebut lebih dari seratus kapal besar (jubo, artinya "kapal dagang besar").[189] Diyakini, pelayaran tersebut meliputi sebagian besar kapal khazanah yang masih tersisa menurut Dreyer (2007).[189] Kapal-kapak khazanah tersebut tampaknya disertai oleh kapal-kapal pendukung.[189] Armada khazanah tersebut memiliki 27.550 personel untuk pelayaran tersebut.[189]

Urusan militer

Sebelum pelayaran, terdapat ketegangan di sekitaran laut di dekat Tiongkok.[199] Palembang telah menjadi pusat perdagangan ilisit di bawah kontrol terenegasi dari Guangzhou, pantai selatan Vietnam di bawah kontrol para pedagang budak bandit, negara-negara kota Nusantara dan Semenanjung Malaya diwarnai pertikaian karena pemasukan utama mereka dari perdagangan Tionghoa terhambat pada masa pemerintahan Kaisar Hongwu, dan pantai Tiongkok kemudian terganggu oleh wokou (pembajak kerdil) Jepang.[199] Armada khazanah memiliki sejumlah besar kapal kerang untuk melindungi keberadaan kargo mereka dan untuk mengamankan rute maritim.[199] Pelayaran tersebut menghimpun presensi militer Tiongkok di sekitaran Laut Tiongkok Selatan dan kota-kota niaga di selatan India.[41] Bahkan meskipun Laksamana Cheng Ho berlayar melewati samudera dengan pasukan militer yang lebih besar dan lebih kuat ketimbang kekuatan lokal manapun, tak ada bukti tertulis dalam sumber-sumber sejarah bahwa trdapat upaya apapun bahwa mereka secara paksa meniat untuk mengkontrol perdagangan maritim—ketimbang melakukan penjelajah dan promosi dagang—di kawasan Laut Tiongkok Selatan dan Samudera Hindia.[50] Meskipun demikian, Dreyer (2007) menyatakan bahwa harus ada "penampakan mengerikan" saat armada Tiongkok besar datang dengan jumlah terlihat menuju garis pesisir negara asing, mengirim negara manapun dalam pengajuan oleh sorotan tunggal dari itu sendiri.[200] Dari pelayaran keempat dan seterusnya, armada khazanah berlayar lebih jauh ketimbang tujuan akhir mereka biasanya dari Kalikut menuju wilayah yang lebih jauh, dimana mereka kurang mengalami pertikaian langsung.[201]

Armada bertarung dan mengalahkan armada pembajak Chen Zuyi di Palembang, pasukan Alakesewara di Ceylon, dan pasukan Sekandar di Semudera, mengirim keamanan dan stabilitas rute maritim melalui kontrol Tiongkok.[202] Pertempuran tersebut dijadikan sebagai sebuah peringatan terhadap kekuasaan Tiongkok Ming kepada negara-negara di sepanjang rute maritim tersebut.[160] Chen Zuyi (dari Palembang), Alakeswara (dari Ceylon), dan Sekandar (dari Semudera) dipandang sebagai ancaman besar di kawasan mereka.[160] Pada 29 Oktober 1407, Kaisar Yongle memerintahkan tunjangan kepada personel yang berjuang di Palembang.[203] Pada 13 September 1411, kaisar memberikan tunjangan dan promosi untuk konfrontasi Sinhala setelah rekomendasi bersama dari Kementerian Perang dan Kementerian Ritus.[203] Pada 8 Agustus 1419, kaisar memerintahkan Kementerian Ritus untuk memberikan tunjangan moneter kepada personel armada, karena mereka dianggap layak untuk diberi tunjangan atas pelayaran jarak jauh dan menjelajahi beberapa negara asing selama beberapa tahun.[203]

Diplomasi dan perdagangan

Perangkat-perangkat porselen, seperti barang-barang yang sama dengan barang-barang porselen era Yongle dari Jingdezhen, sering dipersembahkan sebagai barang niaga saat ekspedisi. (British Museum)

Kapal-kapal khazanah memiliki sejumlah karga dari berbagai produk.[204] Laksamana Cheng Ho pulang ke Tiongkok dengan beberapa jenis barang tribut, seperti perak, rempah-rempah, cendana, batu akik, gading, eboni, kamper, batubara, tanduk rusa, koral, bulu, cangkang kura-kura, karet, cula badak, secang dan kesumba (untuk bahan pewarna dan obat-obatan), pakaian kapas India, dan ambergris (untuk parfum).[204] Mereka bahkan membawa hewan-hewan eksotis, seperti burung unta, gajah, dan jerapah.[204] Terdapat kobalt oksida dari Persia pada porselen yang ditempatkan di Jingdezhen yang disimpan selama berdekade-dekade setelah pelayaran.[204] Armada juga pulang dengan sejumlah besar lada bitam yang sempat bernilai mewah karena menjadi komoditas umum dalam masyarakat Tionghoa.[204] Beberapa barang Tionghoa terkadang dikatakan tak dapat dibawa pulang sebuah pelabuhan asing tunggal yang dapat menghabiskan waktu sekitar tiga bulan untuk membayar semuanya.[9] Pelayaran khazanah menimbulkan gejolak pada ekonomi Ming,[205] sementara perdagangan maritim lukratif menggelembung sepanjang waktu.[206]

Proklamasi-proklamasi kekaisaran dikeluarkan kepada raja-raja asing, yang menandakan bahwa mereka dapat mengajukan dan menerima tunjangan atau menolak dan menghindari ancaman dari pasukan militer yang berlebihan.[133][207] Raja-raja asing menyatakan pengakuan mereka atas status superior dari kaisar Tiongkok dengan mempersembahkan upeti.[208] Beberapa negara menjadi tributer.[142] Armada khazanah memberikan transportasi kepada beberapa duta asing ke Tiongkok dan perjalanan pulang, tetapi beberapa duta melakukan perjalanan secara sendiri-sendiri.[209] Para penguasa yang mengajukannya meraih tunjangan materil dan perlindungan politik.[180]

Geografi dan masyarakat

Kaisar Yongle memerintahkan Shen Du untuk membuat lukisan jerapah yang dijadikan upeti ini, yang dipersembahkan oleh Bengal pada 20 September 1414 (Philadelphia Museum of Art).[210]

Saat pengerahan pelayaran tersebut, armada khazanah dikerahkan dari galangan kapal Longjiang, barat laut Nanjing.[211] Mereka kemudian mengarungi Sungai Yangtze menuju Liujiagang.[211] Dari sana, Laksaman Cheng Ho akan menghimpun armadanya dan memberikan penyakralan kepada Tianfei.[211] Sepanjang perjalanan selama empat sampai delapan pekan, armada akan secara bertahap menuju ke Taiping di Changle, Fujian.[211] Disana, armada tersebut akan menunggu untuk muson timur laut musim dingin[s] before leaving the Fujian coast.[22][211][212] Mereka akan mencapai laut melalui Wuhumen.[22] Untuk pelayaran tersebut, armada mula-mula selalu mengunjungi pelabuhan Qui Nhon (di Champa).[21]

Pada tiga pelayaran pertama dari 1405 sampai 1411, armada mengikuti rute maritim dasar yang sama: dari Fujian ke panggilan pertama di Champa, melewati Laut Tiongkok Selatan menuju Jawa dan Sumatra, melewati Selat Malaka menuju utara Sumatra untuk penghimpunan armada, melewati Samudera Hindia menuju Ceylon, kemudian melewati Pesisir Malabar menuju Kalikut.[213] Pelayaran tersebut tak melakukan perjalanan ke wilayah yang lebih jauh dari Kalikut di pesisir barat daya pada pelayaran-pelayaran tersebut.[201] Pada pelayaran keempat, rute diperlebar sampai Hormuz.[214] Pada pelayaran kelima, armada melakukan perjalanan sampai ke Jazirah Arab dan Afrika Timur.[214] Pada pelayaran keenam, armada khazanah berlayar sampai Kalikut, dimana beberapa skuadron yang dikerahkan melanjutkan perjalanan sampai Jazirah Arab dan Afrika Timur.[214] Pada pelayaran ketujuh, armada khazanah mengikuti rute menuju Hormuz, sementara para skuadron yang dikerahkan berlayar sampai tempat tujuan lain yang lebih jauh di Jazirah Arab dan Afrika Timur.[214]

Armada khazanah berlayar di perairan khatulistiwa dan subtropis Laut Tiongkok Selatan dan Samudra Hindia, dimana mereka bergantung pada arah angin muson tahunan.[215] Pada seluruh pelayaran, armada akan berlayar ke arah barat menuju Samudera Hindia setelah berangkat dari Sumatra.[216] Semudera dan wilayah tetangganya (di Sumatra) berpengaruh karena letaknya bagi armada tersebut ketimbang kekayaan atau produk-produknya.[119] Ma Huan menyatakan bahwa Semudera adalah rute utama menuju Samudra Barat.[217] Ia mengkarakterisasikannya sebagai pelabuhan paling penting bagi Samudera Barat.[66] Sumatra Utara adalah sebuah kawasan penting bagi pendaratan armada tersebut sebelum pelayaran penjang melewati Samudera Hindia menuju Ceylon dan selatan India.[66] Perjalanan dari utara Sumatra menuju Ceylon tersebut melibatkan pelayaran selama sekitar dua sampai empat pekan tanpa melakukan pendaratan.[212]

Bagian pertama dari Ceylon yang terlihat setelah berangkat dari Sumatra adalah Namanakuli (atau Gunung Paruh Kakaktua), gunung paling timur (ketinggian 6680 kaki dan berjarak 45 mil dari pesisir).[216] Dua atau tiga hari setelah melihat fitur geografi tersebut, armada khazanah akan mendekatkan diri mereka untuk berlayar ke selatan Kepala Dondra di Ceylon.[216] Armada tersebut akan berada di laut selama jangka panjang sejak berangkat dari Sumatra, kemudian mereka akan membuat panggilan di sebuah pelabuhan di Ceylon, biasanya di Beruwala dan terkadang di Galle.[218] Bahkan meskipun armada tersebut membuat panggilan pelabuhan di Galle beberapa kali, keberadaan armada lebih jelas terlihat pada panggilan pelabuhan di Beruwala.[48] Ma Huan menyebut Beruwala sebagai "pintu masuk negara Ceylon."[48]

Tiongkok Ming memiliki hubungan dekat dengan Kalikut, yang bernilai saat mereka berniat untuk menghimpun sistem tributer kepada negara-negara di sekitaran Samudera Hindia.[158] Ma Huan menyebut Kalikut sebagai "negara besar di Samudera Barat".[27][66] Ia sangat tersanjung terhadap pengaturan dagang Kalikut dan perhatiannya terhadap berat atau ukuran.[27] Fei Xin menyebut Kalikut sebagai "pelabuhan besar" negara-negara Samudera Barat.[121]

Fei Xin menulis bahwa rakyat Mohadishu bersikap tak acuh dan keras kepala (wangyin, dua kata yang juga dapat berarti "bodoh").[219] Ini adalah deskripsi paling pejoratif dari negara asing manapun yang mereka kunjungi selama pelayaran samudera.[219] Mereka juga disebut sering mengerahkan prajurit mereka dan mempraktikkan panahan.[219] Namun, Fei Xin mengkarakterisasikan rakyat Brava sebagai murni dan terjujur.[219]

Perjalanan ulang dilakukan pada akhir musim panas dan awal musim gugur, karena angin muson yang diinginkan akan hadir pada periode tersebut.[220]

Navigasi

Laksamana Cheng Ho mengikuti sebagian besar rite dagang yang berdiri pada pelayarannya ketimbang mendatangi wilayah yang tak diketahui.[146] Pada pelayaran khazanah, kru mengakuisisi dan mengumpulkan sejumlah besar data navigasi.[221] Sebuah jawatan astrologi dan empat astrolognya secara khusus mencatat data astronomi.[222] Seagian besar data navigasi diolah dalam jenis pembuatan yang berbeda oleh sebuah jawatan kartografi.[221][222] Pakar tersebut meliputi sebuah jawatan astrologi, empat astrolog, dan para pramuniaga mereka.[222] Ini menyediakan para komandan ekspedisioner dengan catatan navigasi yang dibutuhkan untuk pelayaran mereka.[221] Beberapa salinan dari catatan ekspedisioner disimpan di Kementerian Perang.[221] Data navigasi tambahan diyakini juga disuplai oleh kapal-kapal pandu lokal, catatan-catatan Arab, catatan-catatan India, dan catatan-catatan Tionghoa pada masa sebelumnya.[222]

Peta Mao Kun diasosiasikan dengan rute pelayaran tersebut.[223]

Wubei Zhi meliputi empat diagram rasi bintangi yang mengambil dari peta Mao Kun. Catatan tersebut berasal dari catatan navigator Cheng Ho.

Kepercayaan dan upacara

Kepercayaan sebenarnya dari kru armada khazanah berpusat pada Tianfei, "Putri Kerajaan Surgawi", yang merupakan dewi dari para pelaut dan penjelajah laut.[224] Inskripsi-inskripsi Liujiagang dan Changle menyebutkan bahwa kehidupan Cheng Ho kebanyakan didefinisikan oleh pelayaran khazanah.[225] Akibatnya, mereka juga menyatakan bahwa ia menjadikan Tianfei sebagai kepercayaan dominan yang ia ikuti.[225] Dua inskripsi tersebut menghargai dan mengkomemorasikan Dewi Tianfei.[226] Laksamana Cheng Ho dan para rekannya telah menghimpun inskripsi-inskripsi terseut di kuil-kuil Tianfei di Liujiagang pada 14 Maret 1431 dan Changle antara 5 Desember 1431 dan 3 Januari 1432.[227] Inskripsi-inskripsi tersebut membuat rujukan kepada kru yang menyaksikan api St. Elmo saat angin-angin ribut berbahaya dan menafsirkannya sebagai tanda perlindungan ilahi dari Tianfei.[228] Inskripsi-inskripsi Liujiagang dan Changle dianggap merupakan epitaf dari pelayaran khazanah.[105]

Di Galle, Ceylon, Laksamana Cheng Ho menghimpun sebuah inskripsi tiga bahasa tertanggal 15 Februari 1409.[47] Inskripsi Tiga Bahasa Galle terdiri dari tiga bahasa: Tionghoa, Tamil, dan Persia.[48] Untuk melindungi armada khazanah pada pelayaran tersebut, bagian Tionghoa-nya memuji Buddha, bagian Tamil memuji dewa lokal yang merupakan inkarnasi Wisnu, dan bagian Persia memuji Allah.[48] Tiga bagian tersebut masing-masing terdiri dari daftar tawaran yang sama: 1000 keping emas, 5000 keping perak, 100 gulungan sutra, 2500 botol minyak wangi, dan berbagai ornamen perunggu.[48] Kemudian, inskripsi tersebut memberikan penghormatan kepada tiga agama tersebut yang menjadi dominan di Ceylon.[224] Tanggal yang tercatat dapat merujuk kepada kapan inskripsi tersebut dihimpun di Galle, yang akan mengindikasikan bahwa inskripsi tersebut dihimpun saat perjalanan pulang dari pelayaran kedua.[47] Inskripsi tersebut juga disiapkan sebelumnya di Tiongkok dan didirkkan di Galle antara 1410 sampai 1411 pada pelayaran ketig.[229]

Pada 20 September 1414, duta-duta Bengali mempersembagkan seekor jerapah atas nama Raja Saif Al-Din Hamzah Shah dari Bengal (memerintah 1410–1412) kepada Kaisar Yongle dari Tiongkok Ming.[230] Jerapah tersebut dipersembahkan sebagai qilin, tetapi asosiasi ini datang dengan sikap dismisif dari Kaisar Yongle yang menolak peringatan terhadap jabatan-jabatannya.[231]

Catatan dan kesusastraan

Halaman-halaman dari salinan Yingya Shenglan

Terdapat beberapa catatan kontemporer yang masih ada, yang meliputi Yingya Shenglan [瀛涯勝覽], karya Ma Huan,Xingcha Shenglan [星槎勝覽] karya Fei Xin, dan Xiyang Fanguo Zhi [西洋番國志] karya Gong Zhen.[232][233] Ma Huan bertugas sebagai penerjemah pada pelayaran keempat, keenam, dan ketujuh.[130][234] Guo Chongli adalah kolaborator Ma Huan pada Yingya Shenglan dan ikut serta dalam tiga ekspedisi tersebut.[235] Fei Xin berutgas sebagai prajurit pada pelayaran ketiga, kelima dan ketujuh.[234][236] Gong Zhen bertugas sebagai sekretaris pribadi Cheng Ho pada pelayaran ketujuh.[234][237]

Ming Shilu, catatan Ming terverifikasi berisi bagian-bagian tentang masa pemerintahan para kaisar individual, selain juga menyediakan sebagian besar informasi terkait pelayaran khazanah.[238] Cheng Ho hidup pada masa pemerintahan lima kaisar Ming,[238] namun ia secara langsung bertugas pada tiga kaisar selama masa hidupnya.[239] Ia disebutkan dalam Taizong Shilu dari masa pemerintahan Yongle, Renzong Shilu dari masa pemerintahan Hongxi, dan Xuanzong Shilu dari masa pemerintahan Xuande.[238]

Taizong Shilu memadukan pelayaran kedua dan ketiga dalam satu ekspedisi.[190][240] Ini disusul oleh Mingshi.[240][241] Sumber tersebut memadukan perjalanan Cheng Ho ke Palembang pada 1424–25[t] sebagai bagian dari pelayaran keenam dan dipadukan dengan tujuh pelayaran tersebut.[97][190][240] Namun, inskripsi-inskripsi Liujiagang dan Changle membuat kekhasan yang jelas antara pelayaran kedua dan ketiga karena amereka sama-sama memberikan tanggal untuk pelayaran kedua dari 1407 sampai 1409 dan pelayaran ketiga dari 1409 sampai 1411.[190][242][243]

Sejumlah karya berikutnya juga disajikan. Catatan-catatan dalam Mingshi (1739) dan Xiyang Chaogong Dianlu [西洋朝貢典錄] (1520) karya Huang Xingzeng mengutip Yingyai Shenglan asli karya Ma Huan.[244] Namun, Wuxuebian [吾學編] (sekitar tahun 1522) karya Zheng Xiao mengutip "pengutipan Zhang Sheng dari Yingya Shenglan karya Mau Huan.[u][244]Qianwen Ji [Catatan Hal-hal yang Sempat Didengar] (sekitar tahun 1526) karya Zhu Yunming berisi Xia Xiyang [Turun ke Samudera Barat] buatannya, yang memberikan penjelasan mendetail dari pelayaran ketujuh.[225][245] Terdapat juga Shuyuan Zaji [Serba-serbi Taman Kacang] (1475) karya Lu Rong,[246] Shuyu Zhouzilu [Catatan yang Ditempatkan Terkait Negara-negara Berbeda] (1520) karya Yan Gongjian,[246] Kezuo Zhuiyu [Perbincangan Membosankan untuk Para Tamuku] (sekitar tahun 1628) karya Gu Qiyuan.[246] Wubei Zhi (1628) karya Mao Yuanyi menyajikan peta Mao Kun, yang sebagian besar berdasarkan pada material dari pelayaran khazanah.[246]

Sanbao Taijian Xia Xiyang Ji Tongsu Yanyi [三寶太監西洋記通俗演義] (1597) karya Luo Maodeng adalah sebuah novel fiksi tentang eksploitasi Laksamana Cheng Ho dan armadanya.[234][247] Dalam prawajah, Luo menyatakan bahwa kekuatan maritim Tiongkok secara khusus menghimpun tatanan dunia.[248] Dalam karya Luo, Laksamana Cheng Ho berlayar ke samudera dalam pencarian segel kekaisaran keramat untuk mengembalikan harmoni di Kerajaan Tengah.[247] Namun, ia tak pernah menemukan segel tersebut dalam cerita itu, mensugestikan bahwa karya tersebut menunjukkan bahwa tatanan dunia tak dapat dikembalikan oleh hal lain selain pasukan militer menurut Finlay (1992).[249] Novel karya Luo Maodeng berisi sebuah deskripsi kelas-kelas kapal berbeda dengan ukuran-ukuran mereka: 36 kapal khazanah pimpinan sembilan orang (baochuan) berukuran 44.4 kali 18 zhang, 700 kapal kuda pimpinan delapan orang (machuan) berukuran 37 kali 15 zhang, 240 kapal suplai atau kapal bahan pokok pimpinan tujuh orang (liangchuan) berukuran 28 kali 12 zhang, 300 transportasi pasukan atau kapal pembayar pimpinan enam orang (zuochuan) berukuran 24 kali 9.4 zhang, dan 180 kapal penyerang atau kapal perang pimpinan lima orang (zhanchuan) berukuran 18 kali 6.8 zhang.[250] Dreyer (2007) berpendapat bahwa karya ini tak memiliki nilai evidensial sebagai sumber sejarah.[251] Namun, Duyvendak menganggap bahwa terdapat beberapa kebenaran pada karya tersebut.[251]

Kezuo Zhuiyu dan Shuyu Zhouzilu mendeskripsikan keadaan berikutnya dari apa yang terjadi pada arsip-arsip resmi tentang pelayaran tersebut.[252] Kaisar Chenghua mengeluarkan sebuah perintah untuk mengeluarkan dokumen-dokumen terkait pelayaran ke Samudra Barat dari arsip Kementerian Perang, tetapi pejabat Liu Daxia menyembunyikan dan membakar dokumen-dokumen tersebut.[252][253] Liu Daxia menyebut catatan-catatan tersebut sebagai "pembesaran menipu dari hal-hal aneh yang harus dihapuskan dari pernyataan telinga dan mata masyarakat."[252][253][254]

Shuyu Zhouzilu kemudian menambahkan susulan dari cerita tersebut.[252] Menteri Perang, Xiang Zhong, (menjabat 1474–1477) telah mengirim seorang pramuniaga untuk meraih dokumen-dokumen tersebut, tetapi tak dapat menemukannya setelah pencarian selama beberapa hari.[252][253] Liu Daxia kemudian mengakui dan membenarkan tindakan-tindakannya kepada Xian Zhong dengan menyatakan bahwa "ekspedisi Sanbao ke Samudra Barat menghabiskan uang dan bahan pokok yang tak terhitung, dan bahkan rakyat yang menamui ajal mereka ([di ekspedisi tersebut] terhitung oleh hal tak terhitung tersebut. Meskipun ia kembali dengan hal-hal menakjubkan, apa manfaatnya pada negara? Ini adalah tindakan dari pemerintahan yang buruk yang seharusnya para menteri tolak. Bahkan jika arsip-arsip lama masih terjadi, mereka harus dihancurkan dalam rangka menekan [sebuah repetisi dari hal-hal tersebut] bagian akarnya."[252][253] Xiang Zhong dikatakan ditekan akibat penjelasan tersebut.[252][253]

Mingshi, Xuanzong Shilu, dan Mingshi Jishi Benmo mengatribusikan alasan untuk penekanan dan penghancuran catatan arsip tersebut untuk menghindari kasim bekuasa Wang Zhi dapat mengkonsultasikannya untuk invasinya ke Vietnam.[255] Dreyer (2007) menyatakan bahwa Liu Dixia tak dapat memiliki akses pada catatan tersebut dalam kapasitasnya pada masa itu, sehingga menimbulkan keraguan tentang keterlibatannya yang sebenarnya.[253] Duyvendak (1938) menyatakan bahwa para pejabat Kementerian Perang tak memiliki pengaruh untuk menghentikan perlakuan terhadap dokumen tersebut dan sehingga berspekulasi bahwa Liu Daxia menghancurkannya dengan persetujuan Menteri Perang.[256] Wheatly (1961) menyatakan bahwa seluruh catatan resmi dari pelayaran tersebut dihancurkan dalam persaingan antara kaum kasim dan pejabat sipil, sehingga sebagian besar pengetahuan yang dikumpulan telah hilang, dan catatan berikutnya dalam dokumen resmi seperti Ming Shi berisi kesalahan.[257]

Warisan

Makam kosong Laksamana Cheng Ho di Nanjing

Pada September 1499, Vasco da Gama kembali ke Lisbon, Portugal, dari perjalanannya ke India.[258] Sebelum kepulangan da Gama, Girolamo Sernigi menulis tentang catatan Portugis bahwa "kapal-kapal tertentu dari umat Kristen kulit putih" telah membuat pelabuhan di Kalikut di pesisir Malabar dari generasi ke-generasi sebelum mereka datang.[259] Portugis berspekulasi bahwa para marinir tak dikenal tersebut adalah Jerman atau Rusia, tetapi Sernigi menyatakan bahwa "saat kedatangan kapten [da Gama], kami dapat mengetahui siapa orang-orang itu."[259] Setelah ia datang ke Kalikut, Vasco da Gama mulai mendengar kisah-kisah pria berjenggot putih yang berlayar dengan kapal-kapal besar mereka di sepanjang perairan pesisir lokal Kalikut pada generasi-generasi sebelumnya.[260] Pada masa itu, Portugis tak menyadari bahwa cerita-cerita tersebut sebenarnya adalah tentang armada Cheng Ho.[260] Mereka kemudian menyadari bahwa para marinir tak dikenal tersebut sebenarnya adalah Tionghoa.[258] Pasukan Da Gama tampaknya salah mengira bahwa armada Tionghoa tersebut mula-mula datang ke pesisir Afrika Timur, karena Tionghoa merupakan orang aneh berkulit pucat yang terakhir kali terlihat datang dengan kapal-kapal kayu besar dalam ingatan orang Afrika Timur.[258]

Di Kalikut, da Gama meraih ijin untuk membangun sebuah pabrik di Chinacota, dimana sebuah tempat niaga Tionghoa mula-mula berdiri delapan puluh tahun sebelumnya.[261] Pada abad ke-16, Juan González de Mendoza menulis bahwa "dalam esensi datar, itu [bangsa Tionghoa] datang dengan perkapalan ke Samudera Hindia, menaklukkan semuanya dari Tiongkok, sampai bagian dari terjauh. . . . Sehingga pada saat ini, terdapat kenangan besar dari mereka . . . di kerajaan Kalikut, dimana beberapa pohon dan buah . . . di bawah oleh bangsa Tionghoa saat mereka menjadi pemimpin dan gubernur di negara tersebut" [v][262]

Pada November 1997 dalam sebuah pidato di Universitas Harvard, Presiden Jiang Zemin memuji Laksamana Cheng Ho karena menyebarkan budaya Tionghoa ke luar negeri.[263] Ini memberikan indikasi tentang cara bangsa Tionghoa saat ini memberikan anggapan terhadap peristiwa sejarah tersebut, bahwa pelayaran tersebut dilakukan sejalan dengan gagasan Konghucu.[263] Pada 2005, Tiongkok merayakan peringatan ke-600 pelayaran Cheng Ho, mengkarakterisasikannya sebagai awal serangkaian penjelajahan laut yang damai.[264]

Catatan

Referensi

Daftar Pustaka

  • Brook, Timothy (1998). "Communications and Commerce". The Cambridge History of China, Volume 8: The Ming Dynasty, 1398–1644, Part 2. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-24333-9. 
  • Chan, Hok-lam (1998). "The Chien-wen, Yung-lo, Hung-hsi, and Hsüan-te reigns, 1399–1435". The Cambridge History of China, Volume 7: The Ming Dynasty, 1368–1644, Part 1. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-24332-2. 
  • Church, Sally K. (2004). "The Giraffe of Bengal: A Medieval Encounter in Ming China". The Medieval History Journal. 7 (1): 1–37. doi:10.1177/097194580400700101. 
  • Dreyer, Edward L. (2007). Zheng He: China and the Oceans in the Early Ming Dynasty, 1405–1433. New York: Pearson Longman. ISBN 978-0-321-08443-9. 
  • Duyvendak, J.J.L. (1938). "The True Dates of the Chinese Maritime Expeditions in the Early Fifteenth Century". T'oung Pao. 34 (5): 341–413. doi:10.1163/156853238X00171. JSTOR 4527170. 
  • Fairbank, John King (1942). "Tributary Trade and China's Relations with the West". The Far Eastern Quarterly. 1 (2): 129–149. doi:10.2307/2049617. JSTOR 2049617. 
  • Finlay, Robert (1992). "Portuguese and Chinese Maritime Imperialism: Camoes's Lusiads and Luo Maodeng's Voyage of the San Bao Eunuch". Comparative Studies in Society and History. 34 (2): 225–241. doi:10.1017/S0010417500017667. JSTOR 178944. 
  • Finlay, Robert (2008). "The Voyages of Zheng He: Ideology, State Power, and Maritime Trade in Ming China". Journal of the Historical Society. 8 (3): 327–347. doi:10.1111/j.1540-5923.2008.00250.x. 
  • Lee, Jangwon (2010). "China's Looking Seaward: Zheng He's Voyage in the 21st Century". International Area Studies Review. 13 (3): 89–110. doi:10.1177/223386591001300305. 
  • Levathes, Louise (1996). When China Ruled the Seas: The Treasure Fleet of the Dragon Throne, 1405–1433. New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-511207-8. 
  • Mills, J.V.G. (1970). Ying-yai Sheng-lan: 'The Overall Survey of the Ocean's Shores' [1433]. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0-521-01032-2. 
  • Needham, Joseph (1959). Science and Civilisation in China, Volume 3. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0-521-05801-5. 
  • Sen, Tansen (2016). "The Impact of Zheng He's Expeditions on Indian Ocean Interactions". Bulletin of the School of Oriental and African Studies. 79 (3): 609–636. doi:10.1017/S0041977X16001038. 
  • Tan, Ta Sen (2005). "Did Zheng He Set Out To Colonize Southeast Asia?". Admiral Zheng He and Southeast Asia. Singapore: International Zheng He Society. ISBN 978-981-230-329-5. 
  • Wang, Gungwu (1998). "Ming Foreign Relations: Southeast Asia". The Cambridge History of China, Volume 8: The Ming Dynasty, 1398–1644, Part 2. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-24333-9. 
  • Wills, John E., Jr. (1998). "Relations with Maritime Europeans, 1514–1662". The Cambridge History of China, Volume 8: The Ming Dynasty, 1398–1644, Part 2. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-24333-9. 

Pranala luar

  • Bragg, Melvyn [host]; Mitter, Rana [guest]; Lovell, Julia [guest]; Clunas, Craig [guest]; Morris, Thomas [producer] (13 October 2011). "The Ming Voyages". In Our Time. BBC Radio 4.
  • Smith, Adam (22 October 2013). "The Voyages of Chinese Explorer Zheng He". Great Voyages: Travels, Triumphs, and Tragedies. Penn Museum.