Perjanjian Roem-Roijen

artikel daftar Wikimedia
(Dialihkan dari Roem - Royen)

Perjanjian Roem-Roijen (juga dieja Roem-Royen) adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 17 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan Herman van Roijen. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun yang sama.Perjanjian ini sangat alot sehingga memerlukan kehadiran Mohammad Hatta dari pengasingan di Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta untuk mempertegas sikapnya terhadap Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta, di mana Sultan Hamengku Buwono IX mengatakan “Jogjakarta is de Republiek Indonesie” (Yogyakarta adalah Republik Indonesia).[1]

Suasana Konferensi Permulaan Meja Bundar. Tampak: Prof. Dr. Supomo, Ali Sastroamidjojo, Mohammad Roem, Leimena, A.K. Pringgodigdo, Latuharhary, 17 April 1949
Menteri Luar Negeri Belanda van Roijen (rekaman Desember 1948, sebelum berangkat ke New York dalam perjalanan dari negosiasi Resolusi 67 Dewan Keamanan PBB yang akan memaksa Belanda untuk mengakui kemerdekaan Indonesia).

Pada perjanjian ini delegasi Indonesia diwakili oleh Mohammad Roem. Sementara delegasi Belanda diwakili Herman van Roijen.[2]

Kesepakatan

Isi dari perjanjian ini sebenarnya lebih merupakan pernyataan kesediaan berdamai antara kedua belah pihak. Dalam perjanjian itu, pihak delegasi Republik Indonesia menyatakan kesediaannya untuk:[3]

  1. Mengeluarkan perintah kepada “pengikut Republik yang bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya.
  2. Bekerjasama mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
  3. Turut serta dalam KMB di Den Haag, dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat

Sedangkan pihak delegasi Pemerintah Belanda saat itu menyatakan kesediaannya untuk:[3]

  1. Menyetujui kembalinya pemerintahan Indonesia ke Yogyakarta.
  2. Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik.
  3. Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia sebelum 19 Desember 1949, dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik.
  4. Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
  5. Berusaha dengan sesungguh-sungguhnya supaya KMB segera diadakan setelah pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.

Pada tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:

  1. Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian Renville pada 8 desember 1947
  2. Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak
  3. Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia[4]

Pasca perjanjian

Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta, ibu kota sementara Republik Indonesia. Pada 13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan perjanjian Roem-van Roijen dan Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari tanggal 22 Desember 1948 menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno dan secara resmi mengakhiri keberadaan PDRI pada tanggal 13 Juli 1949.[5]

Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai di Jawa (11 Agustus) dan Sumatra (15 Agustus). Konferensi Meja Bundar mencapai persetujuan tentang semua masalah dalam agenda pertemuan, kecuali dengan masalah Papua Belanda.[6]

Referensi

Pranala luar