Selat Muria

bekas selat di Indonesia

Selat Muria merupakan selat yang pernah ada dan menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Muria. Selat ini dulunya merupakan daerah perdagangan yang ramai, dengan kota-kota perdagangan seperti Demak, Jepara, Pati, dan Juwana. Pada sekitar tahun 1657, endapan sungai yang bermuara di selat ini terbawa ke laut sehingga selat ini semakin dangkal dan menghilang, sehingga Pulau Muria menyatu dengan Pulau Jawa.[1]

Selat Muria
Selat Muria pada masa Sultan Trenggana (1521–1546). Pada tahun 1657, selat ini telah menyusut atau menghilang.
Jenis perairanBekas selat
Aliran masuk utamaLaut Jawa
Aliran keluar utamaLaut Jawa
Terletak di negaraIndonesia
Kedalaman rata-rata0 meter (0 ft)
KepulauanKepulauan Sunda Besar
Peta

Geografi

Selat Muria saat ini termasuk dalam dataran non-struktural utama, yang berarti bahwa diperkirakan pada suatu masa di masa lalu, daerah tersebut merupakan gurun.[2]

Pulau Muria

Pada saat Selat Muria terdapat sebuah pulau yang bernama Pulau Muria. Bentang alam Pulau Muria sendiri terdiri dari Gunung Muria yang terletak di bagian tengah. Sedangkan di bagian selatan terdapat perbukitan Patiayam yang terbentuk dari aktivitas vulkanik Gunung Muria di masa lampau (beberapa contohnya adalah Maar Bambang, Maar Gunungrowo, dan Maar Gembong).[3]

Catatan paleontologi menyatakan bahwa kawasan perbukitan Patiayam memiliki berbagai fosil kerbau purba (Bos bubalis paleokarbau), banteng (Bos bibos paleosondaicus, keluarga rusa/Cervidae (Cervus zwaani), keluarga babi hutan, gajah, gajah stegodon, kuda nil, harimau, kura-kura dan fosil-fosil moluska.[4]

Di pulau ini juga terdapat ibu kota kabupaten di pesisir utara Jawa, seperti Jepara, Kudus, dan Pati.[butuh rujukan]

Daerah Bekas Selat Muria

  1. Kabupaten Kudus
  2. Kabupaten Jepara

Pelabuhan

Pada masanya di tepian Selat Muria terdapat pelabuhan-pelabuhan perdagangan dengan berbagai komoditas seperti kain tradisional dari Jepara, garam dan terasi dari Juwana, dan beras dari pedalaman Jawa dan Pulau Muria.[5] Selain itu, keberadaan selat tersebut juga menjadikan kawasan Selat Muria sebagai lokasi galangan kapal yang memproduksi kapal-kapal jukung Jawa yang terbuat dari kayu jati yang banyak ditemukan di Pegunungan Kendeng yang terletak di sebelah selatan selat.[6] Keberadaan industri galangan kapal menjadikan daerah ini lebih kaya dibandingkan dengan pusat Kerajaan Majapahit, sehingga daerah ini yang didominasi oleh para pedagang muslim yang dijuluki oleh Tomé Pires (penulis Portugis) sebagai "penguasa kapal jung".[7]:182

Pada awalnya, kawasan ini terdiri dari pelabuhan-pelabuhan kecil di sekitar selat dengan Demak sebagai pelabuhan utama, namun akibat konflik politik, komoditas yang berasal dari daerah sekitar Selat Muria (Pulau Muria dan Pegunungan Kendeng) bergeser ke Pelabuhan Sunda Kelapa.[8] Selain itu, sebuah laporan pada tahun 1657 menyatakan bahwa endapan fluvial dari sungai-sungai yang bermuara di Selat Muria seperti Sungai Serang, Sungai Tuntang, dan Sungai Lusi mengakibatkan pendangkalan sehingga selat tersebut tidak dapat dilalui kapal-kapal besar. Pusat perdagangan pun dipindahkan ke Jepara.[9][10] Karena pendangkalan ini, Tumenggung Natairnawa dari Pati memerintahkan untuk menggali endapan di selat tersebut, namun endapan tersebut semakin lama semakin cepat menutup Selat Muria.[11] Pada masa-masa terakhir keberadaan Selat Muria terdapat sebuah saluran air yang dapat dilalui oleh perahu-perahu kecil yang sekarang disebut Kalilondo.

Kondisi saat ini

Sisa dari Selat Muria dapat dilihat dari sebuah sungai bernama Kalilondo yang membentang dari Juwana di sebelah timur hingga Ketanjung di sebelah barat.[12] Beberapa sungai juga terbentuk dari bekas Selat Muria seperti Sungai Silugunggo yang melintasi wilayah Kabupaten Pati.[13] Di daerah ini sering ditemukan bangkai-bangkai perahu, kapal, dan meriam yang menjadi bukti adanya selat di daerah ini.[14]

Selain itu, daerah yang dulunya merupakan Selat Muria ini sering dilanda banjir saat musim hujan.[15][16]

Referensi