Teologi kontekstual

Teologi kontekstual adalah cabang ilmu teologi Kristen yang menelaah bagaimana ajaran Kristen dapat menjadi relevan di konteks-konteks yang berbeda.[1] Teologi ini merupakan bagian dari teologi pembebasan.[2] Beberapa contoh teolog yang mengangkat isu teologi kontekstual adalah Kosuke Koyama, C. S. Song, dan Gustavo Gutierrez.[3]

Sejarah Singkat

Istilah kontekstualisasi telah digunakan secara populer dalam dunia teologi pada akhir abad ke-20.[1] Kata ini ditambahkan pada perbendaharaan kata dalam bidang misi dan teologi sejak diperkenalkan oleh Theological Education Fund (TEF) pada tahun 1972.[4] Ada kelompok yang mempergunakan dan mempertahankan penggunaan istilah kontekstualisasi.[1] Namun, ada pula yang menggunakan istilah lain, seperti teologi lokal, teologi inkulturasi, dan teologi pribumi.[1]

Konteks pembicaraan tentang kontekstualisasi dalam diskusi TEF adalah pendidikan teologi di negara-negara Dunia Ketiga.[4] Namun, para teolog menyadari bahwa ide dari kontekstualisasi itu sendiri sebetulnya sudah ada jauh sebelum TEF bersidang, yaitu terdapat dalam Alkitab.[4] Contohnya adalah inkarnasi Yesus dan pendekatan Paulus pada waktu ia mengkomunikasikan Injil kepada orang bukan Yahudi.[4] Oleh karena itu, para teolog beranggapan bahwa kontekstualisasi hanya merupakan istilah baru dari istilah-istilah yang telah ada dan dipakai sebelumnya.[4] Istilah-istilah itu adalah pribumi, inkulturasi, akomodasi dan adaptasi.[4]

Model-model Pendekatan Kontekstual

Dalam penerapannya, teologi kontekstual memiliki beberapa model pendekatan.[1]

Model Akomodasi

Akomodasi adalah sikap menghargai dan terbuka terhadap kebudayaan asli.[1] Sikap ini dinyatakan dalam bentuk kelakuan, perbuatan, dan perkataan, baik dalam ranah ilmiah maupun praktis.[1] Objek akomodasi adalah kehidupan budaya yang menyeluruh dari suatu bangsa, baik dari segi fisik, sosial, dan ideal.[1] Dalam pendekatan ini, terjadi sebuah pengambilalihan nilai-nilai budaya dan dipadukan dengan nilai-nilai Kristiani.[1] Dengan demikian, terdapat pandangan positif bagi Alkitab.[1] Selama ini, Alkitab dipandang menghancurkan nilai-nilai dalam suatu budaya.[1]

Model Adaptasi

Model ini berbeda dengan model akomodasi.[1] Model ini tidak mengasimilasikan unsur budaya dalam nilai-nilai Kristiani.[1] Model ini menggunakan bentuk atau pemahaman yang ada dalam suatu budaya untuk menjelaskan suatu pemahaman dalam kekristenan.[1] Tujuan dari model ini adalah untuk mengekspresikan dan menerjemahkan Alkitab dalam istilah setempat (indigenous terms).[1] Hal ini dilakukan agar istilah Kristiani tersenut dapat dipahami oleh suatu masyarakat dengan konteks yang berbeda.[1]

Model Prossesio

Prossesio adalah sikap yang menanggapi budaya secara negatif.[1] Proses prossesio terjadi melalui seleksi, penolakan, reinterpretasi, dan rededikasi.[1] Kelompok yang menganut model ini memahami bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang telah dirusak oleh dosa.[1] Tidak ada kebaikan di dalam kebudayaan.[1] Model ini juga memahami bahwa hanya Kekristenan dan Alkitab yang kudus dan tidak berdosa.[1]

Model Transformasi

Model ini berakar pada pemahaman Richard Niebuhr mengenai Allah dan kebudayaan. Allah dipahami berada di atas kebudayaan.[1] Melalui kebudayaan, Allah berinteraksi dengan manusia.[1] Bila seseorang dibaharui oleh Allah, maka kebudayaan tersebut juga ikut dibaharui.[1]

Model Dialektis

Model ini menekankan interkasi yang dinamis antara teks dan konteks. Konsep ini didukung oleh pemahaman yang kuat bahwa kebudayaan juga membawa perubahan.[1] Tidak hanya Kekristenan yang membawa perubahan bagi konteks, tetapi konteks juga memberi perubahan bagi Kekristenan.[1] Contohnya dalam teologi, kebudayaan memberi warna baru bagi teologi dalam usahanya menghadirkan Kekristenan di tengah konteks yang ada.[1]

Tokoh

Matteo Ricci

Matteo Ricci (kiri) dan Xu Guangqi(徐光启) (kanan) dalam Unsur Euclid edisi Cina(《几何原本》)

Matteo Ricci adalah pastur dari Ordo Yesuit di Italia.[5] Ia diutus menjadi misionaris di Cina selama Dinasti Ming.[5] Ia memperkenalkan budaya Barat ke Cina.[5] Ia juga salah satu misionaris yang menggunakan model pendekatan akomodasi.[5]

Gustavo Gutierrez

Gustavo Gutierrez adalah seorang imam Katolik.[6] Ia juga seorang teolog.[6] Ia lebih dikenal sebagai teolog pembebasan.[6] Ia mencetuskan ide teologi pembebasan.[6] Ide itu berakar pada konteks saat itu.[6] Ia melihat bahwa gereja tidak memihak kepada yang miskin.[6] Gereja hanya mementingkan dirinya sendiri.[6]

C. S. Song

Choang Seng Song atau yang dikenal sebagai C. S. Song adalah salah satu teolog kontekstual di Asia.[7] Ia memahami bahwa ilmu teologi yang selama ini diajarkan dan dikembangkan oleh gereja-gereja di Asia tidak menyentuh budaya lokal.[7] Dalam pandangannya, teologi semestinya menyentuh konteks.[7]

Kosuke Koyama

Kosuke Koyama adalah salah satu teolog yang mengembangkan teologi kontekstual di Jepang.[8] Ia tidak hanya seorang teolog, tetapi juga seorang misionaris.[8] Salah satu teologi kontekstual yang ia kembangkan adalah teologi kerbau.[8]

Aloysius Pieris

Aloysius Pieris adalah seorang teolog dari Sri Lanka.[9] Ia juga ikut mengembangkan teologi kontekstual di negara tersebut.[9] Salah satu bentuk teologinya adalah teologi kemiskinan dan kaitannya dengan pluralisme.[9]

Hope S. Antone

Hope S. Antone adalah salah satu teolog dari Filipina.[10] Ia mengembangkan teologi kontekstual dengan pendekatan pendidikan Kristiani.[10] Ia memahami bahwa Filipina memiliki teologinya sendiri dari budaya yang ada di negara tersebut.[10] Hal ini dicetuskan karena adanya dominasi teologi Barat yang dianggap mengabaikan konteks masyarakat Filipina.[10]

Tokoh-tokoh yang Mengembangkan Teologi Kontekstual di Indonesia

Andreas A. Yewangoe

Andreas Anangguru Yewangoe adalah salah satu teolog yang mengembangkan teologi kontekstual di Indonesia.[11] Pendeta yang sering disebut A.A. Yewangoe ini mengembangkan teologi penderitaan dalam konteks Asia, khususnya Indonesia.[11] Ia juga memadukan ideologi Pancasila dengan nilai-nilai Kristiani.[11] Salah satu bukunya berjudul Theologia Crucis di Asia: Pandangan Kristen Asia tentang Penderitaan dan Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila.[11]

Eka Darmaputera

Eka Darmaputera adalah pendeta dan teolog yang cukup berpengaruh dalam teologi kontekstual di Indonesia.[12] Ia mengembangkan teologi dalam studi Pancasila.[12] Ia juga dikenal sebagai tokoh muda yang memajukan pemikiran teologi di Indonesia.[12] Ia sempat menjabat sebagai ketua Gerakan Mahasiswa Kristen di Indonesia (GMKI).[12]

Emanuel Gerrit Singgih

Emanuel Gerrit Singgih adalah salah satu teolog Perjanjian Lama di Indonesia.[13] Ia juga mengembangkan teologi kontekstual di Indonesia.[13] Ia juga dosen di Fakultas Teologi, Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW).[13] Salah satu bukunya berjudul Berteologi dalam Konteks.[13]

Referensi