Letusan Samalas 1257

letusan besar Gunung Samalas di Indonesia

Gunung Samalas meletus pada tahun 1257 M di Pulau Lombok, Indonesia. Letusan ini diperkirakan mencapai skala 7 dalam Volcanic Explosivity Index[a], menjadikannya salah satu letusan gunung berapi terbesar pada masa Holosen. Letusan ini menghasilkan kolom erupsi setinggi puluhan kilometer ke atmosfer serta aliran piroklastik yang mengubur hampir seluruh Pulau Lombok. Sebagian material piroklastik bahkan mencapai Pulau Sumbawa di seberang. Aliran piroklastik ini menghancurkan pemukiman-pemukiman penduduk, termasuk Pamatan, yang kala itu menjadi ibu kota sebuah kerajaan di Lombok. Jejak abu dari letusan ini terdeteksi hingga sejauh 340 kilometer (210 mi) di Pulau Jawa. Total material abu dan bebatuan yang dimuntahkan dalam letusan ini mencapai lebih dari 10 kilometer kubik (2,4 cu mi).

Letusan Samalas 1257
Gunung apiSamalas
Tanggal1257
JenisLetusan Plinian
LokasiLombok, Kepulauan Nusa Tenggara, Indonesia
8°24′36″S 116°24′30″E / 8.41000°S 116.40833°E / -8.41000; 116.40833 116°24′30″E / 8.41000°S 116.40833°E / -8.41000; 116.40833
VEI7[1]
DampakPenurunan suhu global dan gagal panen, Hancurnya Kerajaan Pamatan di Lombok
Kompleks gunung berapi-kaldera di utara Lombok

Kejadian ini terekam di dalam naskah lontar Babad Lombok. Letusan ini menyisakan sebuah kaldera besar yang kini berisi Danau Segara Anak. Aktivitas kegunungapian pada masa berikutnya menciptakan lebih banyak pusat-pusat vulkanis di dalam kaldera tersebut, termasuk Puncak Barujari, yang masih aktif hingga sekarang. Semburan aerosol yang dihasilkan oleh letusan ini memenuhi udara dan mengurangi radiasi matahari yang menggapai permukaan bumi. Hal ini menyebabkan pendinginan lapisan atmosfer selama beberapa tahun hingga menyebabkan kegagalan panen dan kelaparan di Eropa serta belahan bumi lainnya, meskipun tingkat keparahan anomali temperatur beserta dampaknya masih diperdebatkan. Ada kemungkinan bahwa letusan ini memicu terjadinya Zaman Es Kecil yang berlangsung selama berabad-abad. Sebelum situs letusan ini diketahui, dalam pengujian terhadap sampel pengeboran es dari berbagai belahan dunia, ditemukan peningkatan besar-besaran deposit sulfat pada sekitar tahun 1257, yang menjadi bukti kuat adanya letusan gunung berapi di suatu tempat. Barulah pada tahun 2013, ilmuwan menghubungkan catatan sejarah mengenai Gunung Samalas dengan temuan ini.

Geologi

Geologi umum

Gunung Samalas (juga dikenal sebagai Rinjani Tua[4]) kini menjadi bagian dari kompleks gunung berapi Rinjani di Lombok, Indonesia.[5] Sisa gunung berapi ini membentuk kaldera Segara Anak, dengan Gunung Rinjani di ujung timurnya.[4] Sejak keruntuhan Samalas, dua puncak berapi baru, Rombongan dan Barujari, telah terbentuk di dalam kalderanya. Gunung Rinjani juga aktif secara vulkanis melalui kawah Segara Muncar.[6] Gunung berapi lain di wilayah ini termasuk Gunung Agung, Batur, dan Bratan di Pulau Bali, sebelah barat Lombok.[7]

Letak Pulau Lombok

Pulau Lombok adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil[8] yang terletak di Busur Sunda[9] di Indonesia,[10] sebuah zona subduksi tempat penunjaman Lempeng Australia ke bawah Lempeng Eurasia[9] dengan kecepatan 7 sentimeter per tahun (2,8 in/tahun).[11] Magma yang mengaliri Gunung Samalas dan Gunung Rinjani kemungkinan berasal dari lelehan batu peridotit dari mantle wedge (bagian mantel yang diapit oleh dua lempeng di zona subduksi) di bawah tanah Lombok.[9] Sebelum letusan 1257, tinggi Gunung Samalas diperkirakan mencapai setidaknya 4.200 ± 100 meter (13.780 ± 330 ft), berdasarkan rekonstruksi yang mengekstrapolasi kemiringan lereng gunung yang tersisa ke atas. Bagian Samalas yang tersisa kini lebih rendah daripada puncak Gunung Rinjani, yang mencapai 3.726 meter (12.224 ft).[12]

Unit geologis tertua di Lombok terbentuk pada kala Oligosen-Miosen,[5][10] seperti bisa dilihat dari formasi bebatuan vulkanis tua di bagian selatan pulau tersebut.[4][5] Samalas sendiri terbentuk melalui aktivitas vulkanis sekitar 12.000 tahun yang lalu. Sementara Rinjani terbentuk dalam rentang waktu antara 11.940 ± 40 hingga 2.550 ± 50 tahun yang lalu.[10] Sebuah letusan Rinjani yang diperkirakan terjadi antara 5.990 ± 50 hingga 2.550 ± 50 tahun yang lalu menghasilkan lapisan batu apung Propok yang memiliki ekuivalensi batuan padat[b] sebesar 01 kilometer kubik (0,24 cu mi).[14] Lapisan batu apung Rinjani, yang memiliki volume setara 03 kilometer kubik (0,72 cu mi) batuan padat,[15] kemungkinan dimuntahkan melalui letusan Rinjani atau Samalas;[16] lapisan ini diperkirakan berasal dari sekitar 2.550 ± 50 tahun yang lalu,[15] pada masa-masa akhir pembentukan Gunung Rinjani.[10] Muntahan material dari letusan ini terekam hingga sejauh 28 kilometer (17 mi) dengan ketebalan mencapai 6 sentimeter (2,4 in).[17] Letusan-letusan lain yang dihasilkan oleh Rinjani atau Samalas diperkirakan terjadi pada 11.980 ± 40, 11.940 ± 40, dan 6.250 ± 40 tahun yang lalu.[14] Aktivitas letusan berlanjut hingga kira-kira 500 tahun sebelum 1257.[18] Kini sebagian besar aktivitas vulkanis kompleks Rinjani-Samalas berpusat di Puncak Barujari yang meletus pada 1884, 1904, 1906, 1909, 1915, 1966, 1994, 2004, dan 2009, serta Rombongan yang pernah aktif pada 1944. Aktivitas vulkanis ini kebanyan berbentuk erupsi eksplosif dan aliran abu.[19]

Sebagian besar bebatuan Samalas adalah dasit, dengan kandungan SiO2 sebesar 62–63 persen.[10] Bebatuan vulkanik di Busur Banda termasuk kelompok kalk-alkali mulai dari basalt, andesit hingga dasit.[19] Lempeng bumi di bawah gunung berapi ini memiliki ketebalan sekitar 20 kilometer (12 mi) dengan lapisan terdalam zona Wadati–Benioff sekitar 164 kilometer (102 mi) di bawah permukaan.[9]

Letusan

Kaldera Segara Anak sisa letusan Samalas

Rekonstruksi letusan tahun 1257 telah dilakukan berdasarkan analisis geologis terhadap deposit material yang ditinggalkan.[14] Letusan ini kemungkinan berlangsung dalam rentang dua atau tiga bulan dari September tahun yang sama, mengingat waktu yang dibutuhkan bagi muntahan material letusan untuk mencapai lapisan es kutub serta meninggalkan jejak geologis di sana.[20] Letusan ini diawali dengan erupsi freatik (letusan akibat tekanan uap) yang memuntahkan abu setebal 3 sentimeter (1,2 in) yang menjangkau kawasan seluas 400 kilometer persegi (150 sq mi) di barat laut Pulau Lombok. Tahapan berikutnya adalah erupsi magmatik, yang membawa serpihan litik batu apung dengan ketebalan mencapai 8 sentimeter (3,1 in) melawan arah angin, menghujani Lombok Timur serta Bali.[14] Ini diikuti dengan muntahan abu dan batu lapili, serta aliran piroklastik yang sebagiannya hanya menjangkau lembah-lembah di lereng sebelah barat Samalas. Sebagian timbunan abu tergerus akibat aliran piroklastik hingga menciptakan struktur bergalur pada deposit abu tersebut. Aliran piroklastik menyeberangi Laut Bali sejauh 10 kilometer (6,2 mi) hingga menggapai Kepulauan Gili di sebelah barat Samalas. Jika dilihat dari deposit sisa letusan yang menandakan adanya interaksi antara lava dan air, letusan ini kemungkinan bersifat freatomagmatik. Letusan ini diikuti dengan tiga episode hujan batu apung yang menimpa wilayah lebih luas daripada fase erupsi lainnya.[21] Material batu apung terbawa sejauh 61 kilometer (38 mi) ke timur, melawan arah angin, hingga mencapai Sumbawa dan membentuk deposit setebal 7 sentimeter (2,8 in).[22]

Semburan batu apung ini diikuti dengan aliran piroklastik lainnya yang kemungkinan disebabkan oleh lunturnya kolom erupsi. Pada saat ini, erupsi tidak lagi menghasilkan kolom, tetapi semburan serupa air mancur, dan kaldera pun mulai terbentuk. Aliran piroklastik ini dikendalikan persebarannya oleh keadaan topografis Lombok, memenuhi lembah-lembah serta memutari halangan seperti gunung-gunung berapi tua selagi aliran tersebut meluas dan menghanguskan vegetasi di sekujur pulau. Aliran ini berinteraksi dengan udara dan memicu pembentukan awan-awan erupsi tambahan serta aliran piroklastik sekunder. Ketika aliran ini memasuki lautan di utara dan timur Lombok, ledakan uapnya menciptakan timbunan batu apung di pesisir pantai serta aliran piroklastik sekunder berikutnya.[22] Terumbu karang terkubur oleh aliran piroklastik ini; sebagian aliran bahkan menyeberangi Selat Alas antara Sumbawa dan Lombok serta membentuk deposit di Sumbawa.[23] Volume aliran piroklastik di Lombok mencapai 29 kilometer kubik (7,0 cu mi),[24] dengan material setebal 35 meter (115 ft) melingkupi wilayah sejauh 25 kilometer (16 mi) dari Samalas.[25] Keseluruhan tahapan erupsi ini juga dikenal dengan P1 (fase freatik dan magmatik), P2 (fase freatomagmatik dengan aliran piroklastik), P3 (fase Plinian) dan P4 (aliran piroklastik).[26] Durasi masing-masing fase P1 and P3 tidak diketahui tepatnya, tetapi bila keduanya digabungkan (tidak termasuk P2) lamanya kira-kira antara 12 hingga 15 jam.[27] Aliran piroklastik yang dihasilkan mengubah geografi wilayah timur Lombok, mengubur lembah-lembah sungai serta memanjangkan garis pantai; sebuah jaringan sungai baru terbentuk di atas deposit vulkanik pasca erupsi.[28] Kolom erupsi yang menyembur mencapai ketinggian 39–40 kilometer (24–25 mi) selama tahap pertama (P1),[29] dan 38–43 kilometer (24–27 mi) selama tahap ketiga (P3);[27] ketinggian yang cukup untuk memungkinkan fotolisis memengaruhi rasio isotop sulfur dari SO2 yang dikandungnya.[30]

Batuan vulkanik yang dimuntahkan oleh letusan ini menghujani Bali dan Lombok, serta sebagian Sumbawa.[11] Tefra dalam bentuk lapisan abu hasil erupsi ini bahkan juga mencapai Jawa, menjadi bagian dari Tefra Muntilan, yang dapat ditemukan di beberapa lereng gunung berapi di Jawa, tetapi tidak dapat dihubungkan dengan erupsi dari gunung-gunung ini. Lapisan tefra tersebut kini dianggap sebagai produk letusan Samalas 1257 dan diganti namanya menjadi Tefra Samalas.[22][31] Ketebalan lapisan tefra ini mencapai 2–3 sentimeter (0,79–1,18 in) di Gunung Merapi, 15 sentimeter (5,9 in) di Gunung Bromo, 22 sentimeter (8,7 in) di Kawah Ijen[32] dan 12–17 sentimeter (4,7–6,7 in) di Gunung Agung.[33] Di Danau Logung, Jawa Timur, 340 kilometer (210 mi) dari Samalas[22] ketebalannya mencapai 3 sentimeter (1,2 in). Sebagian besar tefra jatuh di arah barat dan barat daya dari Samalas.[34] Berdasarkan ketebalan Tefra Samalas yang ditemukan di Gunung Merapi, diperkirakan bahwa total volume tefra yang dimuntahkan mencapai 32–39 kilometer kubik (7,7–9,4 cu mi).[35] Indeks dispersal (luas wilayah permukaan yang terselimuti hujan abu atau tefra) letusan ini mencapai 7.500 kilometer persegi (2.900 sq mi) selama tahap pertama dan 110.500 kilometer persegi (42.700 sq mi) selama tahap ketiga, menandakan bahwa masing-masing tahapan merupakan erupsi Plinian dan Ultraplinian.[36]

Lapisan tefra dengan butiran halus berwarna krem dari letusan Samalas telah digunakan sebagai penanda tefrokronologis[c] di Bali.[38] Material tefra dari letusan ini bahkan ditemukan di dalam inti es sejauh 13.500 kilometer (8.400 mi) dari Samalas.[39] Lapisan tefra di Pulau Dongdao, Laut Cina Selatan, juga dihubungkan dengan letusan Samalas.[40] Abu dan aerosol hasil letusan diperkirakan memberikan dampak bagi manusia serta koral yang jaraknya jauh dari lokasi letusan.[41]

Ada beberapa perkiraan mengenai volume material yang dimuntahkan selama tahap-tahap letusan Samalas. Tahap pertama letusan memuntahkan sekitar 126–134 kilometer kubik (30–32 cu mi). Sementara volume material yang dikeluarkan pada fase fraetomagmatik diperkirakan mencapai 09–35 kilometer kubik (2,2–8,4 cu mi).[42] Total volume ekuivalen batuan padat dari letusan ini secara keseluruhan mencapai setidaknya 40 kilometer kubik (9,6 cu mi).[36] Magma hasil letusan merupakan jenis trasidasitik dan mengandung amfibol, apatit, klinopiroksen, besi sulfida, ortopiroksen, plagioklase, serta titanomagnetit. Lava yang disemburkan tersusun dari magma basaltik melalui kristalisasi sebagian[43] dan memiliki temperatur kira-kira 1.000 °C (1.830 °F).[12] Semburan lava ini kemungkinan dipicu oleh masuknya magma baru ke dalam kantung magma atau efek dari gaya apung gelembung gas.[44]

Letusan ini mencapai skala 7 dalam Volcanic Explosivity Index,[45] menjadikannya salah satu letusan terbesar pada kala Holosen.[46] Letusan-letusan yang kekuatannya sebanding dengan ini adalah letusan Danau Kurile (di Kamchatka, Russia) pada milenium ke-7 SM, letusan Gunung Mazama (yang menghasilkan Danau Crater, Oregon, Amerika Serikat) pada milenium ke-6 SM, letusan Minoa (di Santorini, Yunani)[46] antara 1627 hingga 1600 SM,[47] serta letusan Tierra Blanca Joven yang menyisakan Danau Ilopango (El Salvador) pada abad ke-6 Masehi.[46] Letusan-letusan sebesar ini dapat menyebabkan dampak bencana yang besar bagi manusia serta menghilangkan kehidupan baik di sekitar lokasi letusan maupun pada jarak yang lebih jauh.[48]

Letusan ini meninggalkan kawah selebar sekiranya 6–7 kilometer (3,7–4,3 mi) di tempat Gunung Samalas tadinya berdiri;[6] di dalam dinding kawah setinggi sekitar 700–2.800 meter (2.300–9.200 ft) itu, sebuah danau kawah sedalam 200 meter (660 ft)[15] yang disebut Segara Anak.[49] Puncak Barujari menjulang setinggi 320 meter (1.050 ft) di tepi danau tersebut, dan telah meletus sebanyak 15 kali sejak 1847.[15] Ada kemungkinan bahwa Samalas sudah memiliki danau kawah sebelum letusan 1257, yang menyumbang sekitar 01–03 kilometer kubik (0,24–0,72 cu mi) air pada fase letusan fraetomagmatik. Kemungkinan lainnya, air tersebut berasal dari akuifer.[50] Sebagian lereng Rinjani yang menghadap kaldera Samalas ikut runtuh.[12]

Letusan yang menghasilkan kaldera ini pertama kali dikenali pada tahun 2003. Pada tahun 2004, sebuah penelitian menaksir bahwa volume letusan ini mencapai 10 kilometer kubik (2,4 cu mi).[14] Riset mula-mula memperkirakan bahwa letusan pembentuk kaldera ini terjadi antara tahun 1210 dan 1300. Pada tahun 2013, Lavigne mengusulkan bahwa letusan ini terjadi antara bulan Mei dan Oktober 1257, dan menyebabkan perubahan iklim pada tahun 1258.[6] Beberapa desa di Lombok dibangung di atas timbunan aliran piroklastik sisa kejadian tahun 1257.[51]

Riwayat pengkajian

Adanya letusan gunung berapi besar pada sekitar tahun 1257–1258 diketahui pertama kali melalui analisis terhadap sampel es hasil pengeboran dari wilayah kutub.[52][53] Menggunakan metode pengukuran keasaman termutakhir pada tahun 1980, sekelompok peneliti Denmark menemukan lonjakan konsentrasi sulfat dari berbagai masa[54] pada sampel es dari Crête, Greenland (hasil pengeboran tahun 1974[55]) yang dihubungkan dengan timbunan abu riolitik.[56] Lapisan es dari masa 1257–1258 menunjukkan jejak lonjakan sulfat terbesar ketiga yang ditemukan di Crête.[57] Awalnya, para peneliti tersebut menduga bahwa deposit sulfat ini bersumber dari gunung berapi di dekat Greenland,[54] tetapi catatan sejarah Islandia tidak menyebutkan adanya letusan gunung berapi pada sekitar tahun 1250. Ditambah lagi, pada tahun 1988 ditemukan bahwa sampel es dari Antarktika (tepatnya dari Byrd Station dan Kutub Selatan) juga mengandung jejak peningkatan sulfat dari kurun waktu yang sama dengan jejak dari Greenland.[58] Lonjakan sulfat serupa juga ditemukan pada sampel es dari Pulau Ellesmere, Kanada.[59] Luasnya cakupan jejak sulfat Samalas membuat para ahli geologi menjadikannya sebagai penanda stratigrafis bahkan sejak sebelum sumber letusannya diketahui.[60]

Sampel-sampel es ini mengisyaratkan peningkatan deposit sulfat yang tinggi, diikuti dengan timbunan tefra,[61] dalam kurun waktu antara tahun 1257[62] hingga 1259.[61] Jejak lonjakan sulfat ini merupakan yang terbesar[d] selama 7.000 tahun dan berukuran dua kali lebih besar daripada jejak yang dihubungkan dengan letusan Gunung Tambora pada tahun 1815.[62] Dalam sebuah kajian dari tahun 2003, volume ekuivalensi batuan padat bagi letusan ini ditaksir berkisar antara 200 kilometer kubik (48 cu mi) hingga 800 kilometer kubik (190 cu mi),[64] walaupun volume sebenarnya bisa jadi lebih kecil, hanya saja kaya akan sulfur.[65] Diameter kaldera hasil letusan diperkirakan berukuran sekitar 10–30 kilometer (6,2–18,6 mi),[66] dan letaknya diperkirakan berada di dekat khatulistiwa.[67] Letusan ini diperkirakan berasal dari wilayah Cincin Api,[68] walaupun awalnya gunung yang menjadi sumber letusan ini belum dapat diketahui secara pasti.[52] Gunung Tofua di Tonga sempat diusulkan sebagai sumber, tetapi usulan ini ditolak karena letusan Tofua dianggap terlalu kecil untuk menghasilkan jejak-jejak sulfat dari tahun 1257.[69] Sementara, letusan Gunung Harrat al-Rahat dekat Madinah pada tahun 1256 dianggap terlalu awal dan terlalu kecil untuk memicu timbunan sulfat sebesar ini.[70] Kajian lain mengusulkan skenario letusan beberapa gunung berapi secara bersamaan.[71]

Awalnya, tidak ditemukan anomali cuaca yang dapat dihubungkan secara pasti dengan lapisan sulfat tahun 1257,[72][73] tetapi pada tahun 2000[72] laporan mengenai fenomena-fenomena cuaca khas akibat letusan gunung berapi[54] ditemukan dalam catatan Abad Pertengahan dari belahan bumi utara.[52][53] Sebelumnya, perubahan pola cuaca juga dilaporkan dalam kajian-kajian lingkar pohon dan rekonstruksi cuaca.[72]

Teori bahwa Gunung Samalas/Rinjani merupakan sumber letusan ini pertama kali disuarakan pada tahun 2012, sebab calon-calon sumber letusan lainnya – Gunung El Chichón dan Quilotoa – tidak cocok dengan unsur kimiawi penyusun lapisan-lapisan sulfat yang telah ditemukan.[74] Kurun waktu dan ukuran letusan ini juga tidak sesuai dengan data dari El Chichon dan Quilotoa, begitu juga dengan data dari calon lainnya, Gunung Okataina.[53]

Seluruh rumah hancur dan tersapu habis, mengambang di lautan, dan banyak orang yang mati.

Babad Lombok, [75]

Kaitan antara letusan Samalas dengan kejadian-kejadian ini dipastikan pada tahun 2013[52] berdasarkan penanggalan radiokarbon pohon-pohon di Lombok[76] serta bukti sejarah Babad Lombok yang dituliskan di atas dedaunan lontar dalam bahasa Jawa Kuno.[52] Babad Lombok mengisahkan sebuah letusan katastropis yang terjadi di Lombok sebelum akhir abad ke-13.[12] Temuan-temuan ini meyakinkan Franck Lavigne (ahli ilmu bumi dari Pantheon-Sorbonne University[77]), yang telah mencurigai gunung berapi di Lombok sebagai sumber letusan, untuk menyimpulkan bahwa Samalas-lah pelakunya.[54] Peran letusan Samalas dalam anomali cuaca global juga telah dipastikan dengan perbandingan geokimia antara pecahan sampel es serta deposit erupsi di Lombok.[49] Kajian lanjutan yang menemukan kesamaan geokimia antara tefra yang ditemukan dalam sampel es kutub dengan hasil letusan Samalas juga turut memperkuat temuan ini.[78]

Dampak pada iklim

Berdasarkan data aerosol dan paleoklimatologis

Jejak sulfat pada sampel es dari berbagai tempat di bumi yang dihubungkan dengan Samalas merupakan jejak sulfat paling kuat selama 1000 tahun terakhir.[79] Menurut satu perkiraan, jejak ini bahkan merupakan yang paling kuat selama 2500 tahun terakhir.[80] Jejak ini sekitar delapan kali lebih kuat daripada jejak sulfat hasil letusan Krakatau pada tahun 1883.[54] Di belahan bumi utara, jejak sulfat Samalas hanya kalah kuat dari jejak yang dihasilkan oleh letusan Laki pada tahun 1783/1784;[79] Jejak sulfat dari sampel es ini telah digunakan sebagai penanda waktu dalam kajian-kajian kronostratografis.[81] Sampel es dari Illimani di Bolivia bahkan juga mengandung thallium[82] dan jejak sulfat dari letusan Samalas.[83] Sebagai perbandingan, material sulfur yang dimuntahkan oleh letusan Pinatubo pada tahun 1991 hanya sekitar sepersepuluh dari material sulfur yang dimuntahkan oleh letusan Samalas.[84] Timbunan sulfat dari letusan Samalas telah ditemukan di Svalbard,[85] dan luruhan material asam sulfat dari gunung ini kemungkinan berdampak secara langsung pada lahan gambut di utara Swedia.[86] Selain itu, aerosol sulfat yang dihasilkan oleh letusan ini kemungkinan mengekstrak sejumlah besar isotop berilium 10Be dari stratosfer; pengekstrakan dan pendepositan material semacam ini pada lapisan es dapat memberi dampak serupa dengan perubahan aktivitas matahari.[87] Massa sulfur dioksida yang dilepaskan oleh letusan ini diperkirakan mencapai sekitar 158 ± 12 juta ton.[43] Massa sulfur ini lebih besar daripada yang dilepaskan oleh letusan Tambora, walaupun mungkin saja ini karena letusan Samalas lebih efektif dalam memuntahkan tefra hingga mencapai lapisan stratosfer. Selain itu, magma Samalas kemungkinan memiliki kandungan sulfur yang lebih tinggi.[88] Luruhan material dari letusan ini kemungkinan membutuhkan berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan untuk menjangkau tempat-tempat yang jauh.[68] Aerosol yang dimuntahkan oleh letusan gunung berapi berskala besar dapat membentuk lapisan tersendiri di stratosfer. Lapisan ini mengurangi sinar yang menjangkau permukaan bumi dan menurunkan temperatur, sehingga dapat berdampak pada berkurangnya hasil panen.[89] Menurut temuan yang didapat dari kajian sampel es Dome C di Antarktika, material aerosol sulfat hasil letusan Samalas kemungkinan bertahan dalam konsentrasi tinggi di atmosfer hingga kira-kira tiga tahun, walaupun material aerosol dalam jumlah yang lebih kecil kemungkinan masih bertahan selama beberapa waktu lebih lama.[90]

Data dari kajian lingkar pohon yang berkaitan dengan dampak letusan ini adalah penurunan pertumbuhan pohon di Mongolia pada tahun 1258–1262,[91] lingkar-lingkar pohon yang rusak akibat pembekuan pada masa pertumbuhan,[92] lingkar-lingkar yang terang pada pohon-pohon di Kanada dari tahun 1258 dan Siberia barat laut dari tahun 1259,[93] lingkar-lingkar pohon yang tipis di Sierra Nevada, California, Amerika Serikat,[94] serta penipisan lingkar pohon selama satu dekade penuh pada pohon-pohon di Norwegia dan Swedia.[95] Temuan lainnya yang menunjukkan besarnya dampak letusan ini adalah jejak pendinginan pada sedimen danau di timur laut Tiongkok,[96] jejak musim hujan yang teramat basah di Vietnam,[76] dan jejak kekeringan yang ditemukan pada berbagai tempat di belahan bumi utara[97] serta pada gua-gua Thailand.[e][98] Penurunan suhu mungkin saja bertahan selama sekitar 4–5 tahun berdasarkan simulasi iklim dan data kajian lingkar pohon.[99]

Efek lain dari perubahan iklim akibat letusan mungkin adalah penurunan singkat konsentrasi karbon dioksida di atmosfer.[71] Penurunan laju pertumbuhan konsentrasi karbon dioksida atmosfer tercatat setelah letusan Pinatubo 1992; beberapa mekanisme untuk penurunan atmosfer yang didorong oleh konsentrasi vulkanik telah diusulkanCO2 , termasuk lautan yang lebih dingin menyerap ekstrak dan lebih sedikit melepasnyaCO2, penurunan tingkat respirasi yang menyebabkan akumulasi karbon di biosfer,[100] dan peningkatan produktivitas biosfer karena meningkatnya sinar matahari yang tersebar dan pemupukan lautan oleh abu vulkanik.[101]

Sinyal Samalas hanya dilaporkan secara tidak konsisten dari informasi iklim pada lingkaran pohon,[102][103] dan efek suhu juga terbatas, mungkin karena keluaran sulfat yang besar mengubah ukuran rata-rata partikel dan dengan demikian pemancaran radiasinya.[104] Pemodelan iklim menunjukkan bahwa letusan Samalas mungkin telah menurunkan suhu global sekitar 2 °C (3,6 °F), nilai yang sebagian besar tidak direplikasi oleh data proxy.[105] Pemodelan yang lebih baik dengan model sirkulasi umum yang mencakup penjelasan rinci tentang aerosol menunjukkan bahwa anomali suhu utama terjadi pada tahun 1258 dan berlanjut hingga 1261.[105] Model iklim cenderung melebih-lebihkan dampak iklim dari letusan gunung berapi;[106] salah satu penjelasannya adalah bahwa model iklim cenderung berasumsi bahwa aerosol kedalaman optik meningkat secara linier dengan jumlah belerang yang meletus.[107] Kemungkinan terjadinya El Niño sebelum letusan kemungkinan juga telah ikut mengurangi pendinginan.[108]

Letusan Samalas, bersama dengan pendinginan abad ke-14, diperkirakan telah memicu pertumbuhan lapisan es, lautan es,[109] dan gletser di Norwegia.[110] Kemajuan es setelah letusan Samalas mungkin telah memperkuat dan memperpanjang efek iklim.[86] Aktivitas vulkanik di kemudian hari pada 1269, 1278, dan 1286 dan pengaruh es laut di Atlantik Utara akan berkontribusi lebih jauh pada perluasan es.[111] Kemajuan gletser yang dipicu oleh letusan Samalas didokumentasikan di Pulau Baffin, di mana es yang mendekat telah membunuh dan kemudian memasuki vegetasi, yang kemudian melestarikannya.[112] Demikian pula, perubahan di Kanada Arktik dari fase iklim hangat menjadi lebih dingin bertepatan dengan letusan Samalas.[113]

Berdasarkan simulasi

Menurut rekonstruksi tahun 2003, penurunan suhu musim panas akibat letusan ini mencapai 069 °C (124 °F) di belahan bumi selatan dan 046 °C (83 °F) di belahan bumi utara.[72] Data-data proxy[f] yang lebih mutakhir menunjukkan penurunan suhu hingga 07 °C (13 °F) pada 1258 dan 12 °C (22 °F) pada 1259, tetapi dengan tingkat berbeda-beda tergantung wilayah.[114] Sebagai perbandingan, radiative forcing letusan Pinatubo pada tahun 1991 hanya sekitar sepertujuh dari letusan Samalas.[115] Suhu permukaan laut juga menurun sebesar 03–22 °C (5,4–39,6 °F),[116] sehingga menyebabkan perubahan pada sirkulasi samudra. Perubahan pada suhu dan salinitas samudra kemungkinan bertahan hingga satu dekade.[117] Tingkat presipitasi maupun evaporasi menurun, walaupun penurunan evaporasi lebih parah daripada penurunan presipitasi.[118]

Letusan gunung berapi juga dapat menyebarkan bromin dan klorin ke stratosfer. Senyawa oksida dari kedua unsur ini, klorin monoksida and bromin monoksida turut berperan dalam mengurai lapisan ozon. Walaupun kebanyakan bromin dan klorin hasil letusan gunung berapi larut dalam kolom erupsi dan tidak mencapai stratosfer, kuantitas semburan halogen Samalas yang diperkirakan mencapai 227 ± 18 million tonnes of chlorine and up to 1.3 ± 0.3 million tonnes of bromine cukup untuk mereduksi lapisan ozon di stratosfer[43] sekalipun hanya sebagian kecil dari semburan tersebut yang mencapai stratosfer.[119] Menurut sebuah hipotesis, radiasi ultraviolet yang timbul akibat berkurangnya lapisan ozon ini kemungkinan menyebabkan penurunan kekebalan tubuh secara luas pada populasi manusia sehingga berbagai epidemi timbul pada tahun-tahun pascaletusan.[120]

Dampak sosial dan historis

Letusan Samalas menyebabkan bencana global pada tahun 1257–1258.[49] Letusan gunung berapi besar secara umum dapat menyebabkan berbagai bencana seperti kelaparan, termasuk pada wilayah yang jauh dari gunung tersebut, akibat dampak iklim yang ditimbulkannya.[89]

Kerajaan di Lombok dan Bali

Wilayah Kepulauan Indonesia bagian barat dan tengah pada saat itu terpecah menjadi kerajaan-kerajaan saingan yang merekam kejadian sejarah mereka dalam berbagai prasasti.[48] Namun, sedikit sekali catatan sejarah mengenai letusan Samalas yang dapat ditemukan.[121] Salah satunya adalah Babad Lombok, yang menceritakan bagaimana desa-desa di Lombok luluh-lantak akibat aliran abu, gas, dan lahar pada sekitar abad ke-13.[52] Naskah babad lain yang kemungkinan merujuk pada letusan ini adalah Babad Sembalun dan Babad Suwung.[122] Dari naskah-naskah ini pulalah nama "Samalas" didapatkan[4].

Kota Pamatan, sebuah pusat pemerintahan kerajaan di Lombok, hancur dan hilang dari catatan sejarah akibat letusan ini. Meski begitu, naskah babad menyebut bahwa keluarga kerajaan berhasil selamat,[123] dan tidak ada bukti yang jelas mengenai apakah kerajaan tersebut sepenuhnya hancur akibat letusan.[121] Ribuan orang diperkirakan meninggal dalam letusan ini[12] walaupun sebagian penduduk Lombok kemungkinan mengungsi sebelum erupsi terjadi.[124] Di Bali, jumlah prasasti yang dikeluarkan penguasa setempat menurun setelah letusan.[125] Bali dan Lombok diperkirakan mengalami penurunan penduduk[126] yang mungkin berlangsung selama beberapa generasi, sehingga mempermudah Raja Kertanegara dari Singhasari untuk menaklukkan Bali pada 1284 tanpa perlawanan berarti.[127][125] Kawasan pantai barat Sumbawa mengalami depopulasi dan tetap sepi penduduk hingga saat ini; penduduk setempat kala itu kemungkinan melarang kawasan terdampak letusan untuk ditinggali, dan ingatan akan larangan tersebut terus bertahan hingga akhir-akhir ini.[128]

Oseania dan Selandia Baru

Sejarah di Oseania pada umumnya tidak memiliki penanggalan yang pasti, sehingga sulit menentukan rentang waktu dan peran atau dampak dari kejadian tertentu di kawasan tersebut. Meski begitu, terdapat bukti yang menunjukkan adanya berbagai krisis antara tahun 1250 dan 1300 di Oseania, contohnya seperti yang terjadi di Pulau Paskah, yang dapat dikaitkan permulaan Zaman Es Kecil serta letusan Samalas.[41] Pada sekitar tahun 1300, banyak pemukiman di Pasifik yang berpindah tempat, yang kemungkinan terkait dengan penurunan permukaan air laut setelah pertengahan abad ke-13.[129]

Perubahan iklim yang dipicu oleh letusan Samals dan permulaan Zaman Es Kecil barangkali menyebabkan orang-orang Polinesia bermigrasi ke arah barat daya pada abad ke-13. Pemukiman pertama di Selandia Baru muncul pada sekitar tahun 1230–1280 M. Kemunculan pemukiman manusia di sana dan kepulauan sekitarnya bisa jadi merupakan akibat dari migrasi ini.[130]

Eropa, Timur Dekat dan Timur Tengah

Tarikh-tarikh Eropa menyebutkan keadaan cuaca yang tidak lazim pada 1258.[131] Laporan dari Prancis dan Inggris pada tahun 1258 mengenai fenomena serupa awan yang tak kunjung hilang mengindikasikan adanya kabut kering yang meliputi kawasan tersebut.[132] Tarikh-tarikh Abad Pertengahan menyebut bahwa pada tahun 1258, musim panasnya bersuhu dingin dan berhujan, sehingga menyebabkan banjir dan kegagalan panen,[53] dengan suhu dingin antara Februari hingga Juni.[133] Suhu beku terjadi pada musim panas tahun 1259 menurut tarikh-tarikh Rusia.[93] Di Eropa dan Timur Tengah, perubahan pada warna atmosfer, badai, suhu dingin, dan cuaca buruk dilaporkan terjadi pada tahun 1258–1259,[134] ditambah dengan permasalahan pertanian yang juga terjadi di kawasn tersebut termasuk Afrika Utara.[135] Di Eropa, curah hujan berlebih, suhu dingin, dan awan yang tebal menyebabkan kerusakan pada hasil tani, sehingga menyebabkan kelaparan yang juga diikuti dengan wabah penyakit,[136][76] walaupun bencana kelaparan yang terjadi tidak sampai separah Kelaparan Besar 1315–1317.[137]

Lihat pula

Catatan

Rujukan

Sumber

116°24′30″E / 8.41000°S 116.40833°E / -8.41000; 116.40833{{#coordinates:}}: tidak bisa memiliki lebih dari satu tag utama per halaman

Pranala luar