Majelis Ulama Indonesia

organisasi ulama di Indonesia
(Dialihkan dari MUI)

Majelis Ulama Indonesia (MUI; Arab: مجلس العلماء الإندونيسي, translitMajlis al-ʿUlama' al-Indunīsī) adalah lembaga swadaya masyarakat yang mewadahi para ulama, zuama, dan cendekiawan Islam untuk membimbing, membina, dan mengayomi umat Islam di Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada 17 Rajab 1395 Hijriah atau 26 Juli 1975 Masehi di Jakarta, Indonesia.[1] Sesuai dengan tugasnya, MUI membantu pemerintah dalam melakukan hal-hal yang menyangkut kemaslahatan umat Islam, seperti mengeluarkan fatwa dalam kehalalan sebuah makanan,[2] penentuan kebenaran sebuah aliran dalam agama Islam,[3] dan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan seorang muslim dengan lingkungannya.[4]

Majelis Ulama Indonesia
مجلس العلماء الإندونيسي
Tanggal pendirian26 Juli 1975; 48 tahun lalu (1975-07-26)
TipeOrganisasi keagamaan Islam
TujuanKeagamaan Islam
Kantor pusatJalan Proklamasi No.51 Menteng, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia
Wilayah layanan
Indonesia
Ketua Umum
K.H. M. Anwar Iskandar
Situs webmui.or.id

MUI tersusun dari beberapa perwakilan ulama dari organisasi massa Islam (Sunni) yang aktif di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, LDII, Syarikat Islam, Perti, Al Washliyah, Mathla'ul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI, dan Al Ittihadiyyah. Organisasi Syiah seperti Ahlulbait Indonesia (ABI) dan Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (Ijabi) ditolak untuk ikut serta dalam majelis, dan status Syiah menuai kontroversi.[5][6] Pada tahun 2005, MUI melontarkan fatwa mengenai kesesatan dan kebid'ahan Ahmadiyah dan meminta pemerintah untuk melarang gerakan tersebut.[7]

Peran

MUI berdiri sebagai hasil musyawarah para ulama, cendekiawan, dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 provinsi di Indonesia pada tahun 1975. Sepuluh orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam nasional, yaitu, NU, Muhammadiyah, Perti, Syarikat Islam, Al Washliyah, Mathla'ul Anwar, Al Ittihadiyah, GUPPI, PTDI, dan DMI, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Polri serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. MUI kala itu dibentuk dengan tujuan:

  1. Memperkuat agama dengan cara yang dijelaskan Pancasila untuk memastikan ketahanan nasional.
  2. Partisipasi Ulama dalam pembangunan nasional.
  3. Mempertahankan keharmonisan antar umat beragama di Indonesia.[8]

MUI bertindak sebagai antarmuka antara pemerintah Indonesia dan masyarakat Islam.

Perubahan dalam masyarakat sipil setelah jatuhnya Suharto telah memperluas peran MUI dan membuatnya semakin kompleks. MUI memberikan fatwa kepada masyarakat Islam; melalui ini mereka menentukan arah umum kehidupan umat Islam di Indonesia.[9]

MUI (khususnya sejak kejatuhan Soeharto) telah memberikan pendapat dan mengeluarkan fatwa tentang berbagai masalah, mulai dari peran Tentara Indonesia dalam pemerintahan, penerimaan publik terhadap tarian penyanyi dangdut Inul Daratista, hingga hukum berdosanya pembakar hutan ilegal.[9][10]

Tugas

Majelis Ulama Indonesia telah menjadi wadah para ulama lintas organisasi massa Islam seperti NU, Muhammadiyah, Perti, dan organisasi Islam lainnya. Berbagai karakter yang menjadi ciri khas masing-masing organisasi ini bertemu dalam wadah MUI yang kemudian secara bersama-sama merumuskan solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam di Indonesia.

Pengabdian MUI tertuang dalam tujuh tugas MUI, yaitu:[11]

  1. sebagai pengawal bagi penganut agama Islam
  2. sebagai pemberi edukasi dan pembimbing bagi penganut agama Islam
  3. sebagai penjaring kader-kader yang lebih baik
  4. sebagai pemberi solusi bagi masalah keagamaan di dunia internasional
  5. sebagai perumus konsep pendidikan Islam
  6. sebagai pengawal konten dalam media massa
  7. sebagai organisasi yang menjalankan kerja sama dengan organisasi keagamaan

Ketua Umum

Konflik

MUI adalah organisasi yang didanai pemerintah yang bertindak secara independen. Namun dalam beberapa kasus, MUI diminta untuk melegitimasi kebijakan pemerintah. Contoh dari kasus ini (yang akhirnya menyebabkan gesekan dalam tubuh MUI sendiri) adalah permintaan pemerintah agar MUI mendukung program Keluarga Berencana. Pemerintah terpaksa meminta dukungan dari MUI karena banyak kalangan keagamaan menolak beberapa aspek dari program ini.[8]

Fatwa-fatwa MUI

Lihat pula

Referensi

Pranala luar