Rumah panggung Betawi

rumah tradisional di Indonesia

Rumah panggung adalah salah satu jenis rumah tradisional suku Betawi yang lantainya ditinggikan dari tanah dengan menggunakan tiang-tiang kayu. Rumah ini berbeda dengan rumah darat yang menempel ke tanah. Rumah panggung Betawi dibangun di kawasan pesisir dengan tujuan untuk menanggulangi banjir atau air pasang. Sementara itu, rumah panggung yang terletak di tepi sungai seperti di Bekasi tidak hanya dibangun untuk menghindari banjir, tetapi juga untuk keamanan dari binatang-binatang buas.

Tampak depan Rumah Si Pitung atau sering disebut Rumah Tinggi di Kelurahan Marunda Jakarta Utara. Rumah Si Pitung merupakan rumah adat panggung khas Betawi di wilayah pesisir.
Rumah panggung Betawi di Kampung Marunda Pulo Jakarta Utara, salah satu rumah di Betawi Pesisir yang masih tersisa. Bangunannya tidak terawat karena sudah ditinggalkan penghuninya.

Rumah Betawi pada umumnya tidak memiliki bentuk bangunan yang khas. Selain itu, rumah Betawi juga tidak memiliki peraturan baku dalam menentukan arah. Walaupun begitu, rumah panggung Betawi masih memiliki ciri khas dalam hal detail dan peristilahan. Salah satunya adalah tangga di depan rumah panggung Betawi disebut balaksuji. Balaksuji diyakini dapat menolak bala; sebelum memasuki rumah melalui balaksuji, seseorang harus membasuh kakinya terlebih dahulu sebagai lambang penyucian diri.

Bahan untuk membangun rumah panggung Betawi diambil dari daerah sekitar, seperti kayu sawo, kayu nangka, bambu, kayu kecapi, kayu cempaka, juk, dan rumbia. Kayu-kayu lain juga dapat digunakan, seperti kayu jati untuk membuat tiang. Dalam membangun rumah, orang Betawi percaya bahwa terdapat berbagai pantangan dan aturan yang perlu diikuti untuk menghindari musibah. Sebagai contoh, rumah yang dibangun sepatutnya berada di sebelah kiri rumah orang tua atau mertua. Ada pula larangan membuat atap rumah dari bahan yang mengandung unsur tanah. Rumah panggung Betawi sendiri telah dipengaruhi oleh berbagai macam budaya, dari Jawa, Sunda, Melayu, hingga Tiongkok dan Arab, dan Belanda.

Latar belakang

Peta Kota Batavia (kini Jakarta) pada tahun 1914

Suku Betawi lahir dari akulturasi antaretnis Nusantara dan mancanegara, seperti etnis-etnis dari Jawa, Bali, Makassar, Bugis, Ambon, Sumbawa, Malaka, Tionghoa, Arab, India, dan Portugis.[1][2] Mereka membawa budaya masing-masing yang kelak mempengaruhi kebudayaan Betawi, mulai dari bahasa, pakaian daerah, kesenian, hingga arsitektur rumah etnik Betawi.[3] Batavia, tempat Suku Betawi bermukim, merupakan daerah pesisir yang memiliki pelabuhan internasional.[4] Di muara salah satu sungainya, yakni Ciliwung, terdapat Pelabuhan Sunda Kelapa yang merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Nusantara.[5]

Dari sekian banyak etnis yang masuk ke Batavia, pengaruh yang paling dominan terhadap rumah orang Betawi adalah dari etnis Jawa, Sunda, Arab, dan Tionghoa.[6] Di antara etnis Nusantara yang masuk ke Batavia, budaya Sunda dan Jawa paling berpengaruh terhadap arsitektur etnik rumah Betawi. Letak wilayah etnis Betawi yang secara geografis memang berdekatan dengan wilayah kebudayaan Sunda dan Jawa menjadi penyebab utamanya. Tidak hanya letaknya yang berdekatan, wilayah etnis Betawi juga merupakan bagian dari kekuasaan kerajaan Banten, Demak, dan Cirebon. Faktor-faktor tersebut menjadikan interaksi yang intensif antara orang-orang asli yang tinggal di wilayah Batavia dengan kedua etnik Nusantara tadi.[7] Meski berasal dari akulturasi budaya yang beragam, arsitektur rumah Betawi harus tetap dikatakan memenuhi syarat sebagai arsitektur etnis. Arsitektur rumah Betawi dikatakan demikian karena penciptaan struktur dan konstruksi, pengaturan tata letak ruang, penggunaan ragam hias, serta cara pembuatan bangunan yang merupakan pengaruh dari berbagai budaya tadi diwariskan secara turun-temurun dalam masyarakat Betawi dan hanya ada dalam kebudayaan Betawi itu sendiri.[8]

Rumah etnik Betawi yang khas yang berasal dari akulturasi budaya tadi baru muncul pada saat pemerintahan kolonial Belanda berkuasa dan membangun kota Batavia dengan mencontoh model-model kota-kota di tanah air mereka. Pada saat itu, Belanda memberlakukan aturan ketat soal permukiman. Penduduk pribumi hanya diizinkan membangun rumah-rumah mereka di wilayah pedalaman atau pesisir. Akibat aturan tersebut, letak rumah-rumah Belanda menjadi berjauhan dengan penduduk lokal. Dampaknya, corak dan kekhasan bangunan rumah secara teritorial menjadi semakin berbeda. Penduduk yang tinggal di kawasan pesisir memiliki bentuk rumah panggung untuk mengatasi gempuran ombak, sedangkan penduduk di pedalaman membangun permukiman dengan mengandalkan fungsi halaman sebagai lahan perkebunan maupun untuk memanfaatkan kerindangan pepohonan sebagai peneduh.[9]

Subetnis

Suku Betawi tinggal di daerah pesisir sejak awal kota Batavia terbentuk. Mereka hidup dan menetap di muara sungai Ciliwung. Melalui sungai Ciliwung, mereka menyebar ke tengah hingga ke daerah-daerah pinggiran Batavia.[10] Penyebaran tersebut kemudian memecah suku Betawi menjadi empat subetnis, yang terdiri dari Betawi Pesisir, Tengah, Pinggir, dan Betawi Udik.[11] Orang Betawi Pesisir tinggal di daerah-daerah dekat pantai, seperti Marunda, Sunda Kelapa, Dadap, Kepulauan Seribu, dan lain-lain. Hunian mereka umumnya berpanggung.[12] Hal ini berbeda pada komunitas Betawi Tengah yang tinggal di tengah-tengah kota Batavia. Rumah-rumah mereka umumnya tidak berpanggung atau disebut juga rumah Depok.[13][14] Biasanya mereka tinggal di wilayah Senen, Tanah Abang, Salemba, Pasar Baru, Glodok, Jatinegara, Condet, Kwitang, dan lain-lain.[15] Terakhir adalah masyarakat Betawi Pinggir dan Udik. Mereka tingal di luar kota Batavia, seperti Tangerang, Bekasi, Depok, serta sebagian wilayah Bogor. Umumnya hunian mereka berpanggung, tetapi tidak setinggi milik orang Betawi Pesisir.[16]

Lewat pembagian wilayah kebudayaan subetnis Betawi tadi, bisa diidentifikasi variasi arsitekur rumah etnik Betawi. Namun, pembagian tersebut bukanlah faktor krusial yang membuat hunian subetnis tertentu menggunakan konsep panggung atau non-panggung. Yang menjadi faktor utama adalah keadaan alam setempat. Hal tersebut beralasan karena ada hunian Betawi Tengah/Kota yang memakai konsep panggung jika berdiri di aliran sungai. Begitu pun pada rumah-rumah Betawi Pinggir dan Udik. Ada dari komunitas mereka yang bangunannya tidak berpanggung apabila berdiri jauh dari aliran sungai.[17]

Arsitektur

Jika dilihat dari strukturnya, rumah etnik Betawi bisa dibedakan menjadi dua jenis, yakni rumah darat dan rumah panggung.[18] Rumah darat atau rumah Depok menunjuk pada lantainya yang menempel langsung ke tanah (darat).[13] Sebaliknya, rumah panggung Betawi merupakan salah satu jenis struktur hunian tradisional etnik Betawi yang lantainya diangkat dari tanah menggunakan tiang-tiang kayu dengan alasan menyesuaikan kondisi lingkungan tempat rumah itu didirikan.[18][19][20][21] Pemilihan konsep rumah panggung pada masyarakat Betawi utamanya dikarenakan faktor keadaan alam setempat.[22][23][24]

Pada umumnya arsitektur rumah masyarakat Betawi tidak memiliki bentuk bangunan yang khas. Cara membuat bangunannya pun hampir mirip dengan daerah-daerah lain di Nusantara: Ada yang menyerupai gaya bangunan Jawa, Sunda, Melayu, bahkan bangunan Eropa, tetapi dalam bentuk yang sederhana. Yang membuat rumah tradisional Betawi berbeda dengan daerah-daerah yang disebutkan tadi adalah detail dan peristilahannya.[25] Misalnya, pada rumah etnis Betawi tangga disebut balaksuji, sedangkan pada rumah orang Sunda disebut golodog.[26] Terkait dengan detail, salah satu contohnya bisa dilihat pada struktur kuda-kuda yang dipertemukan dengan batang tegak (sistem wider).[27]

Orientasi

Dapur atau bagian belakang Rumah Si Pitung yang membelakangi sungai

Secara umum rumah tradisional Betawi tidak memiliki peraturan yang baku dalam penentuan arah. Hal ini berbeda dengan etnis Tionghoa dengan ilmu feng shui-nya atau pada etnis Bali yang memiliki konsep sanga mandala dalam tata letaknya dan berorientasi kepada arah mata angin. Yang menjadi patokan bagi suku Betawi hanyalah fungsi dari orientasi bangunan itu sendiri. Orientasi bangunan ditentukan, misal, dengan alasan kemudahan mencapai jalan atau sekadar menyesuaikannya dengan kebutuhan.[28][29][30] Hunian Betawi Pesisir juga tidak mengikuti arah mata angin atau orientasi tertentu. Umumnya rumah panggung Betawi Pesisir menghadap ke darat dan membelakangi muara sungai.[31] Pola permukiman penduduk wilayah pesisir di Marunda berlaku seperti itu dengan tujuan untuk mempermudah transportasi laut. Dapur ditempatkan di bagian belakang rumah yang tidak jauh dari aliran sungai. Hal ini agar kegiatan masak yang membutuhkan air bisa berjalan efisien.[32] Begitupun dengan masyarakat Betawi Pinggir (masyarakat Melayu Betawi di Bekasi). Bagian depan rumah dan pintu dibuat menghadap ke sungai dengan tujuan serupa dengan masyarakat Betawi Pesisir.[33]

Panggung

Masyarakat Betawi di daerah pesisir menggantungkan hidupnya dengan mencari ikan di laut. Bentuk rumah panggung mengikuti pola hidup mereka sebagai nelayan. Dalam sejarahnya, sebagian ibu kota Jakarta memang dibangun di atas daerah rawa-rawa. Hunian berkolong tinggi pada masyarakat Betawi Pesisir bertujuan untuk mengatasi air laut yang pasang, sehingga air laut tidak sampai menjangkau lantai rumah.[34][35] Dengan demikian bentuk rumah panggung merupakan konsep yang dinilai paling aman.[36] Kolong panggung rumah di Marunda biasanya tidak dimanfaatkan, hal ini karena kolong selalu digenangi air laut. Walaupun begitu, rumah tipe panggung memiliki keuntungan ekologis. Tanah di kolong bangunan bisa berfungsi sebagai resapan air. Jika pasang atau banjir datang, air yang menggenang akan terserap ke dalam tanah. Dengan demikian tempat tinggal keluarga tetap aman dan para anggota keluarga masih bisa menjalankan aktivitas mereka seperti biasa.[37] Salah satu dari sedikit rumah panggung milik Betawi Pesisir adalah Rumah Si Pitung yang terletak di Marunda, Jakarta Utara. Total ada 40 tiang penyangga yang masing-masing tingginya mencapai 1,5 m.[38]

Di sisi lain, rumah panggung Betawi Pinggir memiliki tiang-tiang yang pendek, hanya 20–30 cm. Hal ini karena sebelumnya mereka tinggal di sepanjang aliran sungai sebelum akhirnya menyebar ke tempat sekarang. Rumah panggung bertiang pendek masih bisa ditemui di Pondok Rangon, Kranggan, dan Tipar. Rumah panggung pada Betawi Pinggir merupakan peralihan dari menggunakan panggung ke tanpa panggung. Rumah panggung yang tersisa di sana hanyalah dalam rangka mempertahankan sisa-sisa kebudayaan rumah sungai.[39]

Selembayung, ornamen khas Melayu yang biasanya berada pada atap rumah Melayu

Rumah panggung Betawi di Bekasi berdiri di tepian sungai. Seperti halnya di Pondok Rangon, Kranggan, dan Tipar, mulanya rumah masyarakat Bekasi berkonsep rumah panggung yang bercirikan arsitektur Melayu. Pada atapnya terdapat selembayung. Ciri tersebut masih terlihat di daerah Cikedokan; komunitas Betawi ini menerapkan panggung dengan fungsi untuk mengantisipasi banjir.[40]

Rumah panggung Betawi Pinggir di Bekasi memiliki kesamaan seperti di daerah Pesisir Marunda. Boleh dikatakan Rumah Si Pitung adalah prototipe rumah panggung Melayu Betawi yang tersisa. Masyarakat Melayu Betawi merupakan masyarakat rawa sehingga konsep huniannya berpanggung. Namun, tidak semua rumah orang Melayu Betawi berpanggung karena mereka tinggal di lingkungan yang beragam dari pesisir hingga ke pedalaman. Maka dari itu, pola arsitektur rumah Melayu Betawi bervariasi dari yang berprofesi sebagai nelayan di pesisir (berpanggung) sampai ke pedalaman yang bekerja sebagai petani (bukan panggung).[41]

Namun, berbeda dengan Rumah di Pesisir yang berpanggung karena faktor banjir atau air pasang saja, rumah panggung di Bekasi tidak hanya dirancang untuk menghindari banjir, tetapi juga untuk faktor keamanan. Hal ini mengingat Bekasi dahulunya masih hutan dan masih banyak dihuni binatang-binatang berbahaya.[42] Pengangkatan lantai rumah pada rumah panggung Betawi dimaksud juga untuk mengaplikasikan balaksuji (konstruksi tangga) yang memiliki nilai filosofis penting bagi orang Betawi. Konstruksi tangga jarang ditemui pada rumah-rumah Betawi yang tidak berpanggung.[43]

Sementara itu, rumah panggung Betawi Udik di Tangerang Selatan agak lebih tinggi daripada Betawi Pinggir. Jarak antara lantai dan tanah setinggi kurang lebih 50 –70 cm. Manfaat panggung tidak seperti pada rumah Betawi Pesisir. Panggung dibuat hanyalah untuk menghindari rayap dan lembap.[44]

Atap

Konstruksi atap rumah Betawi di wilayah pesisir

Terdapat tiga jenis pola atap rumah Betawi. Walaupun bentuknya berbeda-beda, tetapi secara umum ketiganya mempunyai kesamaan dalam hal bahan berasal dari kayu nangka sebagai konstruksi utama kuda-kudanya.[45] Ketiga pola atap dimaksud adalah atap rumah gudang, bapang dan joglo.[46]

Pada rumah gudang bentuk atapnya ada yang berbentuk pelana dan ada yang berupa perisai[a], yang tersusun dari kerangka kuda-kuda dari depan ke belakang. Di bagian depan diberi tambahan penahan berupa kayu atau besi. Hal ini agar teras depan terlindungi dari panas dan tampias air hujan. Struktur kuda-kuda tadi kemudian saling bertemu pada sebuah batang tegak yang oleh orang Betawi lazim disebut wider. Sistem wider jarang ditemukan pada rumah etnik Indonesia lain. Yang pertama kali mengenalkan sistem ini adalah arsitek-arsitek Belanda yang membangun gedung dan rumah di Batavia.[27]

Atap rumah bapang berbentuk pelana. Namun, konstruksinya berbeda dengan atap rumah gudang. Atap bapang tidak merupakan pelana yang penuh sampai ke tepi. Sebagian atap rumah bapang terbentuk oleh atap pelana yang ditekuk (biasa disebut sorondoy), sedangkan atap pelananya berada di tengah-tengah ruang. Ada juga rumah Kebaya yang bentuk atapnya perisai landai yang diteruskan dengan atap pelana yang lebih landai lagi terutama di bagian teras. Variasi lainnya, atap berbentuk pelana, tapi limpasan air berada di bagian samping.[47].

Pada rumah joglo, atapnya menjorok ke atas dan tumpul seperti rumah joglo Jawa. Namun, terdapat perbedaan pada sistem konstruksi atap rumah joglo Betawi dan rumah joglo Jawa. Jika rumah joglo di Jawa menggunakan konstruksi tiang penopang (soko guru) untuk atap, rumah joglo di Betawi menggunakan struktur kuda-kuda biasa.[48][49]

Fondasi

Fondasi umpak untuk menyokong tiang-tiang panggung pada Rumah Si Pitung di Marunda

Rumah Betawi yang menggunakan konsep panggung struktur fondasinya menggunakan umpak, yaitu batu berbentuk persegi berukuran sekitar 20 cm x 25 cm. Di wilayah pesisir, umpak terbuat dari bahan-bahan seperti semen, pecahan karang, dan kerikil, mengingat mudah ditemukan di sekitar pantai. Umpak digunakan sebagai landasan tiang kayu sebagai soko guru yang berfungsi sebagai penahan beban struktur rumah dan penghuninya atau mengangkat lantai dari tanah. Fungsi umpak itu sendiri adalah untuk agar tiang-tiang tadi tidak mudah terperosok ke dalam tanah. Fungsi lainnya, untuk melindungi kayu dari serangan serangga. Rumah Si Pitung di Marunda menggunakan umpak pada fondasinya.[50] Tiang-tiang pada rumah panggung Betawi terbuat dari kayu. Kayu yang digunakan biasanya berasal dari pohon yang tumbuh di sekitaran rumah. Kayu yang dipilih adalah kayu pohon nangka, pohon kecapi, dan kayu pohon rambutan.[51]

Tata ruang

Beranda rumah panggung di Marunda dengan jendela krapyak di sebelah kiri. Meja dan kursi (bisa juga diganti dengan tapang)

Walaupun bervariasi, pada umumnya tipologi rumah Betawi memiliki kesamaan baik dalam hal material, struktur bangunan, maupun pengorganisasian tata ruangnya. Jika dilihat dari struktur organisasi ruangannya, rumah-rumah Betawi secara umum terdiri dari teras (beranda) yang luas dan dilengkapi paseban, ruang dalam, kamar tidur dan dapur.[52] Masing-masing ruangan terkadang merupakan satu bagian bangunan yang memiliki pola atap sendiri-sendiri, jika si pemilik rumah dari kalangan orang berada. Akan menggunakan satu pola atap untuk menaungi ketiga ruang jika berasal dari kalangan biasa saja.[53]

Pembagian ruang rumah etnik Betawi, khususnya yang berpanggung, dipengaruhi oleh budaya Sunda dan Jawa. Ruang-ruang pada rumah adat Sunda dan Jawa melambangkan hierarki antara laki-laki dan perempuan. Pada rumah Betawi, hierarki jenis kelamin tersebut tidak diberlakukan secara mutlak. Hal demikian bisa dilihat dari kamar tidur anak perempuan pada rumah Betawi yang posisinya berada di depan.[54]

Tata ruang rumah panggung Betawi Pesisir di Marunda. Bagian Belakang langsung menghadap sungai

Di area beranda biasanya terdapat tapang. Namun, sekarang tapang biasanya diganti menjadi kursi untuk tamu beserta mejanya.[55] Tapang sendiri adalah tempat duduk atau tidur yang terbuat dari bambu dan dipakai untuk bersantai.[56] Tapang sendiri merupakan pengaruh etnis Tionghoa. Namun, tapang di rumah-rumah Betawi dilengkapi dengan kendi dan peralatan minuman lainnya untuk keperluan bersantai. Air di dalam kendi bebas diminum siapa saja atau digunakan untuk membasuh muka dan kaki para musafir yang lewat.[57]

Beranda yang luas melambangkan nilai kekeluargaan, keterbukaan, keramahan, serta keharmonisan dengan tetangga.[58] Dahulu biasanya keluarga Betawi memiliki banyak anak dan memiliki kecenderungan tinggal saling berdekatan dengan saudara mereka. Teras yang luas dibutuhkan untuk tempat berkumpul (biasanya pada sore hari) atau bisa juga sebagai tempat untuk arisan keluarga.[59]

Dari beranda masuk ke bagian tengah atau ruang inti rumah Betawi. Di dalamnya terdapat ruang tamu dan kamar-kamar yang sifatnya privat. Kamar tidur ada yang berbentuk kamar tertutup dan ada pula yang terbuka tanpa dinding pembatas, sehingga bercampur fungsinya menjadi ruang makan.[60] Bagian belakang merupakan dapur dan padasan. Dapur atau yang biasanya disebut serondoyan adalah tempat memasak serta berfungsi sebagai tempat penyimpanan alat-alat pertanian serta kayu bakar. Sementara padasan merupakan tempat diletakkannya sumur timba, tempat mencuci pakaian kotor dan mengambil air wudu.[61]

Balaksuji

Balaksuji atau tangga rumah panggung Si Pitung di Marunda

Rumah orang Betawi mempunyai ciri khas yang membedakannya dengan rumah-rumah etnik nusantara lainnya; salah satunya adalah keberadaan tangga di depan rumah. Orang Betawi menyebutnya balaksuji. Balaksuji bagi orang Betawi bukan hanya sekadar instrumen untuk naik dan masuk ke dalam rumah. Elemen ini berfungsi juga sebagai sarana untuk menolak bencana (bala) dan media penyucian diri sebelum masuk ke dalam rumah. Maka dari itu, sebelum menaiki tangga (balaksuji), seseorang harus membasuh kakinya terlebih dahulu. Hal demikian dilakukan agar saat sudah di dalam rumah, pemilik rumah atau pengunjung dianggap sudah berada dalam keadaan bersih dan suci.[62][63] Balaksuji sendiri secara kiasan memiliki arti kawasan penyejuk.[64]

Pada zaman dulu masyarakat Betawi membangun sumur di depan rumah untuk membasuh kaki sebelum menaiki tangga dan memasuki rumah. Saat ini balaksuji tidak dipakai lagi di rumah-rumah modern karena dianggap terlalu merepotkan. Namun, di beberapa kampung, balaksuji ini masih dipertahankan di beberapa masjid berlanggam Betawi. Balaksuji dipasang di tempat khotib berkhotbah dan merupakan tangga menuju ke mimbar.[65][66] Dalam prinsip kepercayaan masyarakat Betawi segala sesuatu yang kotor tidak boleh dibawa masuk ke dalam rumah dan harus dibuang terlebih dahulu di luar rumah. Alhasil, sumur, kamar mandi dan jamban rumah Betawi berada di luar rumah.[67]

Pembuatan

Material

Lantai kayu jati Rumah Si Pitung

Material rumah etnik Betawi tempo dulu biasanya berasal dari bahan-bahan yang tumbuh di lingkungan sekitar, seperti kayu sawo, kayu nangka, bambu, kayu kecapi, kayu cempaka, juk, dan rumbia.[68] Material bangunan rumah Betawi Pesisir utamanya terdiri dari kayu, bambu, dan genteng merah. Kayu yang digunakan bermacam-macam. Untuk tiang rumah bisa menggunakan kayu besi atau kayu jati. Kayu besi atau jati dipilih karena dianggap kuat untuk menahan beban berat. Kayu ini juga dikenal anti-serangga pemakan kayu dan terkenal kuat untuk menahan pengaruh air asin dari laut.[69] Kayu nangka juga kerap dijadikan pilihan utama selain jati, karena kekuatan kayu tersebut hampir sebanding dengan kayu jati. Ini adalah salah satu sebab orang Betawi gemar menanam pohon nangka di halaman rumahnya. Namun, tidak semua struktur rumah boleh menggunakan bahan kayu nangka, khususnya struktur drampol atau trampa yang berada di bawah.[70] Menurut tradisi, orang Betawi pantang melangkahi kayu nangka, karena dipercaya akan mendatangkan penyakit.[71]

Rangka rumah Betawi Pesisir memakai kayu jati atau kayu meranti. Kayu duren dipakai untuk membuat lantai rumah, sedangkan kayu rasamala dan kayu kecapi dipasang untuk tiang-tiang panggung. Kayu digunakan untuk bangunan utama. sedangkan bangunan tambahan dan langit-langit rumah memakai bambu. Genteng merah disusun atau dipasang sebagai atap rumah.[70]

Bahan-bahan utama tersebut dapat dibeli atau menggunakan bahan bekas maupun berasal dari rumah kerabat yang ditinggalkan. Dalam budaya Betawi ada tradisi saling bantu-membantu ketika membangun rumah. Bantuan tidak hanya berupa uang, bisa juga berupa material yang dibutuhkan. Misal, menyumbangkan pohon yang tumbuh di pekarangan untuk dijadikan tiang atau papan rumah yang hendak dibangun.[72]

Proses pembangunan

Pembuatan rumah panggung Betawi diawali dengan penentuan lokasi. Lokasi paling ideal adalah berdekatan sumber air dan posisinya membelakangi air yang mengalir. Setelah lokasi telah ditetapkan proses pembangunan dimulai. Awalnya tanah dikeraskan terlebih dahulu menggunakan pecahan karang. Kemudian tanah diratakan (didatarkan) agar umpak (fondasi tiang panggung) mampu mencengkeram tanah dengan seimbang. Pembuatan rangka dilakukan setelah perataan tanah. Rangka rumah terdiri dari 20 tiang panggung. Tiang-tiang ini sekaligus menjadi tiang rangka utama rumah dengan formasi 4x5.[69]

Rangka tidak dibuat di atas tanah tempat rumah hendak dibangun. Rangka rumah lalu dipindahkan dan didudukkan di atas umpak yang tadi telah dipersiapkan. Biasanya di sela-sela rangka rumah digelar tikar untuk acara selamatan.[69] Pada rumah panggung Betawi di pesisir, fondasi umpak berbentuk persegi umumnya berukuran 20 cm x 25 cm. Umpak itu sendiri berasal dari bahan-bahan yang mudah ditemukan di sekitar, seperti pecahan karang dan kerikil.[50]

Tahap selanjutnya adalah memasang landasan lantai rumah, yang terbuat dari bambu yang dijajarkan. Setelah tahap ini diselesaikan, yang dibangun adalah dinding rumah. Dinding rumah terbuat dari papan yang dijajarkan secara rapat dengan menggunakan paku. Setelah selesai, yang akan dibuat adalah langit-langit rumah. Langit-langit terbuat dari anyaman bambu (bilik). Setelah siap semua, kemudian dipasanglah genteng merah untuk atap rumahnya.[69]

Setelah bagian-bagian penting dibuat dan dipasang, tahap selanjutnya adalah membangun ruangan. Setiap ruangan merupakan bagian yang dibatasi oleh empat buah tiang utama. Dengan formasi tiang 4x5m, terdapat empat ruang yang berderetan. Pintu dipasang agak ke samping kiri atau kanan agar angin tidak berhembus langsung ke dalam seluruh ruangan. Hal ini juga dilakukan dalam rangka melindungi tempat tidur dan dapur dari penglihatan orang.[69]

Hal yang dilaksanakan kemudian adalah membuat bangunan tambahan. Bangunan ini dibangun menempel dan sama tinggi dengan bangunan utama. Bangunan tersebut didirikan di atas 12 umpak dengan fondasi 3x4 m. Bambu yang digunakan sebagai tiang adalah bambu betung (bambu yang besar dan kuat). Bangunan tambahan ini berdinding bilik seperti bangunan utama. Sementara itu, lantainya terbuat dari jaro-jaro atau bilah-bilah bambu yang dipasang agak renggang. Atap bangunan tambahan merupakan genteng merah yang disusun sedemikian rupa. Setelah itu dibangunlah jamban yang tidak begitu besar, hanya 1x1 m dan dibangun tanpa atap. Jamban didirikan di atas air dan dihubungkan dengan bagian belakang rumah melalui titian (seperti jembatan untuk menyeberang) yang bisa terbuat dari bambu ataupun kayu.[69]

Pantangan dan aturan

Sebagai masyarakat yang merupakan hasil percampuran dari berbagai multietnis, banyak kepercayaan yang terbawa hingga saat ini dalam budaya orang Betawi. Salah satunya adalah pantangan dan aturan ketika mendirikan rumah.[73] Menurut tradisi, kedua hal tersebut dimaksudkan agar si penghuni rumah terhindar dari musibah dalam hidupnya. Jika tidak melanggar dipercayai mereka akan mendapatkan keselamatan atau mendapatkan hal-hal yang baik dalam hidupnya ketika menghuni tempat tinggalnya itu.[48][74] Pantangan dan aturan dalam budaya Betawi terkait material, tanah tempat rumah akan didirikan, posisi bangunan, dan aturan-aturan pendirian rumah.[48]

Kusen pintu bagian atas pada rumah-rumah Betawi umumnya berbahan kayu cempaka. Kayu cempaka sendiri memang berbau harum, sehingga kayu ini juga bermanfaat sebagai pengharum ruangan alami. Secara filosofis, keharuman kayu cempaka akan membuat penghuni rumah selalu dalam keadaan baik, sehat, dan disenangi tetangga-tetangganya.[75] Sementara kayu dari pohon asem, walaupun mudah ditemui, pantang untuk dipakai. Menurut kepercayaan orang Betawi, kayu asem bisa meruntuhkan wibawa si empunya rumah. Selain itu jika dimanfaatkan, kayu ini dikhawatirkan akan mengganggu hubungan dengan para tetangga.[76]

Pantangan lainnya adalah menggunakan kayu nangka untuk bagian bawah kusen pintu yang biasa dilangkahi orang. Hal ini karena dalam kepercayaan masyarakat Betawi, orang yang melangkahi kayu nangka dapat dihinggapi penyakit kuning.[71] Larangan keras lainnya adalah menggunakan bahan yang mengandung unsur tanah sebagai material pembuatan atap. Bagi orang Betawi, tanah seharusnya berada di bawah. Menggunakannya sebagai bahan atap seolah mengubur penghuninya di dalam tanah.[48]

Rumah tidak boleh didirikan di atas tanah yang dikeramatkan.[77] Rumah baru hendaknya didirikan di sebelah kiri rumah orang tua atau mertua. Jika posisinya berada di sebelah kanan, dipercayai keluarga sang anak akan sakit-sakitan atau bahkan menjadi susah rezekinya.[78] Saat tanah yang akan dibangun rumah mulai diratakan, masyarakat Betawi meletakkan lima garam bata di keempat pojok bangunan dan satunya lagi diletakkan di tengah-tengah. Ritual ini dimaksud agar si pemilik rumah tidak diganggu roh-roh jahat.[79]

Pengaruh

Berbagai etnis Nusantara dan bangsa datang dan menetap di Batavia. Mereka membawa pengaruh kebudayaannya, termasuk arsitektur hunian etniknya masing-masing. Maka dari itu, rumah orang Betawi mengadopsi beragam pengaruh yang dibawa oleh etnis dan bangsa tadi. Pengaruh-pengaruh tersebut bisa dilihat dalam konstruksi, konsep panggung, tata ruang, bentuk atap, jendela, ragam hias dan lain-lain.[80]

Sunda

Rumah-rumah komunitas Betawi Pinggir terpengaruh oleh arsitektur Sunda dalam hal material dan bentuk bangunan. Hal tersebut dimungkinkan karena lokasi tempat tinggal penduduk Betawi Pinggir lebih dekat dengan pusat kekuasaan Kerajaan Pajajaran yang beretnis Sunda. Material Rumah adat Sunda sebagian besar menggunakan bambu dan kayu, begitu pun rumah panggung Betawi Pinggir. Panggung rumah Sunda diadopsi oleh orang Betawi pinggir, hanya saja dengan fungsi yang berbeda. Kolongnya dimanfaatkan untuk mengikat binatang-binatang peliharaan, seperti kambing, kuda, kerbau, dan sapi. Kolong panggung juga difungsikan sebagai tempat penyimpanan alat-alat pertanian seperti garu, cangkul, bajak, dan lain-lain. Hal berbeda pada rumah panggung Betawi. Kolong berfungsi untuk menghindari air sungai yang meluap.[81]

Rumah panggung Betawi Pinggir dan Sunda sama-sama menggunakan tangga untuk masuk ke dalam rumah. Seperti halnya rumah orang Sunda, tangga terbuat dari kayu atau bambu.[82] Falsafah tangga pun serupa, yakni sebagai pembersih kaki bagi orang yang hendak naik dan masuk ke dalam rumah. Orang Sunda menyebut tangga ini golodog, sementara orang Betawi menyebutnya balaksuji.[83]

Pengaruh kebudayaan Sunda juga terlihat dengan adanya serondoy dan pembagian wilayah dalam rumah (zoning). Serondoy awalnya banyak diterapkan oleh hunian komunitas Betawi Pinggir. Lalu konsep tersebut berkembang dan dicontoh oleh komunitas Betawi Tengah, seperti yang terlihat pada rumah Betawi dengan potongan atap gudang.[84] Rumah adat Sunda (juga Jawa) mengenal pembagian ruang, begitu juga pada sebagian rumah etnik Betawi. Ruangan terdiri dari tiga zona, yaitu ruang belakang, tengah, dan bagian depan.[54]

Jawa

Motif gigi balang pada lipslang atap di salah satu toko mebel Betawi yang tersisa di wilayah Jakarta Timur. Motif ini dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu
Dipan, tempat duduk orang Betawi biasanya ada di teras, mengadopsi dari budaya Tionghoa
Konsol besi melengkung pada bagian depan Rumah Si Pitung sebagai ornamen dekoratif, juga struktur penyangga atap. Unsur ini diadopsi dari arsitektur Belanda

Selain Sunda, budaya Jawa memiliki pengaruh yang kuat terhadap budaya setempat, khususnya dalam hal arsitektur rumah etnik Betawi. Kebudayaan Jawa terlihat pengaruhnya pada rumah-rumah Betawi yang berdiri di kawasan-kawasan yang pernah dikuasai pasukan dari Demak dan Cirebon. Budaya Jawa yang dibawa pasukan itu dapat dilihat pada rumah-rumah Betawi yang bentuknya hampir mirip dengan rumah Joglo di Jawa Tengah.[85] Pengaruhnya bisa dilihat terutama pada konstruksi atapnya yang sama-sama beratap limas serta menjulang ke atas. Perbedaannya terletak pada tiang-tiang utama penopang struktur atapnya. Pada rumah Joglo Jawa, tiang-tiang tadi merupakan unsur penting yang berfungsi membagi ruangan rumah. Sementara pada potongan rumah Joglo Betawi, fungsi tiang utama sebagai pembagi ruangan tidak terlihat.[86]

Melayu

Pengaruh lain yang memperkaya arsitektur rumah etnik Betawi datang dari kebudayaan Melayu. Pengaruh ini terlihat pada motif pucuk rebung yang biasanya ada pada lisplang[b] rumah-rumah orang Melayu yang bentuknya lancip mirip tombak.[87] Pucuk rebung sendiri merupakan salah satu ragam hias dalam budaya Melayu yang berupa pucuk bambu yang baru tumbuh.[88] Pucuk rebung memiliki arti bahwa hidup seseorang harus bermanfaat untuk orang lain dan memiliki harapan yang kuat seperti pohon bambu.[89] Motif tersebut diadopsi pada lisplang rumah orang Betawi dengan mengganti peristilahannya menjadi gigi balang (atau gigi belalang).[87] Lisplang gigi balang selalu ada menghiasi rumah etnik Betawi di mana pun.[87] Gigi balang pada rumah Betawi memiliki arti bahwa hidup seseorang harus selalu jujur, rajin, ulet dan sabar seperti pada belalang yang mampu mematahkan kayu dengan menggigitnya terus menerus dalam tempo lama.[90]

Tionghoa

Orang Tionghoa lebih dahulu bermukim di Sunda Kelapa jauh sebelum kolonial Belanda menduduki pelabuhan tersebut. Diperkirakan mereka datang antara abad ke-10 dan ke-13 dengan tujuan berdagang.[91][92] Oleh Belanda permukiman mereka ditempatkan hanya di kawasan Glodok, Kwitang, dan daerah pecinan lainnya. Setelah kebijakan tersebut dihapus pada tahun 1870, mereka lalu menyebar ke daerah-daerah lain di Batavia. Penyebaran sebenarnya sudah dimulai puluhan tahun sebelumnya. Pada 9 Oktober 1740 Belanda membantai ribuan orang Tionghoa karena dituding membuat keonaran. Banyak dari mereka menyelamatkan diri ke pinggiran Batavia, salah satunya ke daerah Tangerang.[93] Penyebaran tersebut semakin memperkaya arsitektur rumah etnik Betawi. Banyak unsur rumah etnis Tionghoa yang dipakai dalam rumah Betawi, baik dalam penerapan fungsi maupun penyebutan nama unsur dimaksud. Beberapa di antaranya adalah jendela jejake tanpa jeruji, langkan (lan-kan) sebagai pembatas teras, pangkeng (pang-keng) atau tempat tidur, tapang (ta’pang) yang artinya ruangan kecil di depan rumah, dan dipan (di'pan) sebagai tempat tidur-tiduran.[94] Pengaruh arsitektur Tionghoa juga bisa dilihat pada konstruksi balok-balok kuda penyokong yang disebut sekor tou-kung. Konstruksi ini khususnya diterapkan pada hunian komunitas etnis Betawi Pesisir. Pengaruh lainnya adalah penggunaan ukiran pada tiang-tiang rumah orang Betawi.[95]

Arab

Jendela tanpa daun menyerupai bentuk kubah masjid pada bagian belakang Rumah Si Pitung, merupakan pengaruh kebudayaan Arab

Orang Arab datang ke Bumi Nusantara dengan maksud untuk mencari nafkah dan juga menyiarkan agama Islam.[96] Pengaruh Arab dan budaya Islam pada rumah etnik Betawi bisa dilihat pada serambi depan dan keberadaan tiang di teras depan. Rumah etnik Betawi di seluruh kawasan memiliki serambi depan yang luas dan bersifat terbuka. Biasanya orang Betawi menjadikan serambi depan sebagai tempat belajar mengaji anak-anak dan sebagai tempat duduk sementara untuk tamu sebelum dipersilahkan masuk oleh si empunya rumah.[97] Serambi depan disebut angkan, yang berasal dari kata palangkan, artinya tempat untuk duduk-duduk.[98] Terdapat dua tiang di teras depan. Menurut ajaran Islam, dua tiang tersebut memiliki makna bahwa Allah menciptakan alam semesta ini selalu berpasang-pasangan, contoh siang-malam, laki-perempuan, dan lain-lain. Biasanya di sebelah kanan dan kiri terdapat semacam jendela tanpa daun. Seringkali bagian atas jendela tanpa daun tersebut berbentuk melengkung, menyerupai bentuk kubah masjid.[99]

Belanda

Bangsa Belanda mulai berkuasa di Batavia sejak tahun 1619 hingga 1942.[100][101] Tujuan awal mereka adalah berdagang. Mereka datang ke Batavia pertama kali pada tahun 1611.[102] Pengaruh Belanda bisa dilihat pada ruangan utama yang terhubung langsung dengan beranda depan dan posisi kamar tidur terletak di sebelah kanan dan kiri ruang utama. Sementara itu, kamar mandi, dapur, serta gudang berada di bagian belakang bangunan utama.[103] Pengaruh Belanda lainnya ada pada penggunaan konsol (struktur penyangga atap) terbuat dari besi yang ditempa. Fungsinya, sebagai hiasan dekoratif dan sebagai konstrruksi atap. Konsol besi yang melengkung menjadi tren pembangunan rumah-rumah Betawi untuk jangka waktu yang lama.[104]

Galeri

Rumah Si Pitung

Rumah panggung di Kampung Marunda Pulo

Keterangan

Lihat juga

Catatan kaki

Daftar pustaka

Buku

  • Anom, I.G.N; Sugiyanti, Sri; Hasibuan, Hadniwati; Dewi, Puspa; Ernawati; Sumono, Hardini; Supriyatun, Rini; lsmijono (1996). Hasil pemugaran Dan temuan benda cagar budaya Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I) (PDF). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  • Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia (2002). Arsitektur Tradisional Betawi, Sumbawa, Palembang, Minahasa, dan Dani (PDF). Jakarta: Seksi Publikasi Subdit Dokumentasi dan Publikasi Direktorat Tradisi dan Kepercayaan Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata. 
  • Idik, Mutholib; Attahiyat, Chandrian; Fachruddin, Sugiyo; Nasir, Djaelani (1986). Dapur dan Alat-Alat Memasak Tradisional Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Budaya Daerah. 
  • Karim, Mulyawan, ed. (2009). Ekspedisi Ciliwung Laporan Jurnalistik Kompas. Mata Air, Air Mata. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. ISBN 978-979-709-425-6. 
  • Lohanda, Mona (1995). Leirissa, R.Z, ed. Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi (PDF). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional. hlm. 100-113. 
  • Lubis, Ridwan (2017). Agama dan Perdamaian: Landasan, Tujuan, dan Realitas Kehidupan Beragam di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-602-03-6100-0. 
  • Majid, M. Dien (1995). Leirissa, R.Z., ed. Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional. hlm. 92-78. 
  • Mustika, Arniz (2008). Adopsi Budaya Pada Arsitektur Betawi. Bandung: PT. Cipta Sastra Salura. ISBN 978-979-17433-2-7. 
  • Napitupulu, S.P.; Manurung, Jintar; Ginting, Mardyan; Badirin, Muh.; Sitomorang, 0.; Sirait, H.; Silalahi, T. (1997). Arsltektur Tradisional Daerah Sumatera Utara (PDF). Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI. 
  • Ruchiat, Rachmat; Wibisono, Singgih; Syamsudin, Rachmat (2003). Ikhtisar Kesenian Betawi (edisi ke-2). Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta. ISBN 979-95292-2-0. 
  • Saelan, Maulwi (2008). Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66. Jakarta: Visimedia. 
  • Saidi, Ridwan (2002). Jakarta dari Majakatera Hingga VOC. Jakarta: Yayasan Renaissance. ISBN 978-602-5133-53-4. 
  • Sardjono, Agung Budi (2006). Aneka Desain Rumah Bertingkat. Jakarta: Griya Kreasi. ISBN 978-979-2636-10-9. 
  • Suswandari (2017). Kearifan Lokal Etnik Betawi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-602-2297-53-6. 
  • Swadarma, Doni; Aryanto, Yunus (2014). Rumah Etnik Betawi. Jakarta: Griya Kreasi. ISBN 978-979-6612-12-3. 
  • Tanjung, Anita Chairul (2018). Pesona Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-602-0619-16-3. 

Jurnal

Lainnya

Bacaan lanjutan