Cento Vergilianus de laudibus Christi

Cento Vergilianus de laudibus Christi[nb 1] (Cento Vergilian Perihal Kemasyhuran Kristus[nb 2]) adalah puisi Latin dari abad ke-4 Masehi yang digubah Faltonia Betitia Proba sesudah memeluk agama Kristen. Cento adalah puisi yang digubah dengan cara merangkai ulang larik-larik atau bait-bait petikan dari puisi-puisi sastrawan lain sehingga menjadi sebuah karya tulis baru. Cento Vergilianus de laudibus Christi merupakan hasil merangkai ulang larik-larik puisi karangan Vergilius dari abad ke-1 SM menjadi puisi baru tentang riwayat-riwayat dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Puisi yang terdiri dari 694 larik ini mengisahkan riwayat hidup Yesus Kristus.

Cento Vergilianus de laudibus Christi
(Cento Vergilian Perihal Kemasyhuran Kristus)
karya Faltonia Betitia Proba
Lima larik pertama Cento Vergilianus de laudibus Christi pada halaman naskah yang menampilkan gambar Proba memegang gulungan kitab
DitulisAbad ke-4 M
NegaraKekaisaran Romawi
BahasaLatin
SubjekAgama Kristen, Perjanjian Lama dan Baru
GenreCento
MetrumHeksameter daktilik

Maksud penyusunannya belum dapat dipastikan, meskipun para ahli sudah mengemukakan berbagai hipotesis. Bagaimanapun juga, puisi ini akhirnya beredar luas, dan pada zaman dahulu pernah dijadikan bahan pengajaran asas-asas agama Kristen di sekolah-sekolah bersama-sama dengan De doctrina Christiana, karya tulis Agustinus dari Hipo. Sekalipun populer, puisi ini menuai kritikan maupun pujian. Dalam sebuah karya tulis yang diduga sebagai karangan Paus Gelasius I dengan nama pena, puisi ini diremehkan sebagai karya tulis apokrif. Banyak orang juga yakin bahwa Santo Hieronimus berpandangan negatif tentang pribadi Proba maupun puisi ini. Cendekiawan-cendekiawan seperti Isidorus dari Sevilla, Petrarca, dan Giovanni Boccaccio justru memuji-memuji Proba dalam karya tulis mereka, dan masih banyak lagi cendekiawan lain yang mengagumi kepiawaiannya. Meskipun dicibir sebagai puisi kacangan pada abad ke-19 dan ke-20, Cento Vergilianus de laudibus Christi dewasa ini sudah lebih dihargai para ahli.

Sumber dan gaya sastra

Hampir seluruh isi Cento Vergilianus de laudibus Christi yang dikarang Faltonia Betitia Proba (kiri), dipetik dari karya-karya tulis sastrawan Romawi, Vergilius (kanan).

Faltonia Betitia Proba, sastrawati yang menggubah puisi ini, lahir sekitar tahun 322 Masehi. Selaku putri keluarga bangsawan terkemuka, Proba akhirnya diperistri Clodius Celsinus Adelphius, seorang prefek Romawi.[1][2] Proba adalah sastrawati penghasil karya-karya sastra berjenis puisi. Menurut rekam sejarah dari masa hidupnya, puisi pertama Proba adalah Constantini bellum adversus Magnentium (sudah hilang), puisi tentang perang antara Kaisar Konstantius II dan Magnentius, panglima penyerobot takhta Kekaisaran Romawi.[2][3] Sesudah meninggalkan paganisme dan memeluk agama Kristen, Proba menggubah Cento Vergilianus de laudibus Christi, mungkin sekali antara tahun 352 sampai tahun 384 Masehi,[1] sebagai wujud dari usahanya untuk "beralih dari tema-tema perang dan pembantaian ke tema-tema rohani".[4]

Selain bait-bait prakata dan permohonan,[nb 3] isi Cento Vergilianus de laudibus Christi selebihnya adalah hasil usaha Proba merangkai ulang bait-bait petikan dari karya-karya tulis sastrawan Romawi dari abad ke-1 SM, Vergilius.[5][6][7][nb 4] Keputusan Proba untuk memanfaatkan bait-bait karangan Vergilius agaknya dilatarbelakangi dua alasan. Yang pertama, Vergilius adalah sastrawan tenar yang pernah ditugasi Augustus, Kaisar Romawi yang pertama, untuk menggubah syair wiracarita Aeneis.[10] Ketenaran Vergilius menjadikannya sastrawan dengan pengaruh artistik yang sangat besar. Pengaruh artistik Vergilius bertahan sampai ke Akhir Abad Kuno dan dijadikan acuan oleh para sastrawan Latin Akhir seperti Iuvencus dan Prudentius.[11][12] Kekaguman terhadap Vergilius sering kali diungkapkan dalam bentuk cento, yang mencapai puncak popularitasnya pada abad ke-4 Masehi.[13][14] Yang kedua, Vergilius kerap dianggap sebagai seorang nabi pra-Kristen, lantaran ada sebuah tafsir populer atas Ecloga ke-4 gubahannya, yang diyakini banyak orang sebagai nubuat kelahiran Yesus.[15][16]

Cento Vergilianus de laudibus Christi tidak memuat nama tokoh, karena Vergilius tidak pernah menggunakan nama-nama Ibrani seperti "Yesus" dan "Maria" dalam karya-karya tulisnya, sehingga perbendaharaan istilah yang dapat dimanfaatkan Proba menjadi terbatas. Untuk menutupi keterbatasan ini, Proba menggunakan kata-kata taksa seperti mater (ibu), pater (bapak), deus (ilah), dan vates (penubuat) sebagai sebutan bagi tokoh-tokoh penting Yahudi-Kristen.[17] Keterbatasan ini membuat beberapa bagian puisi menjadi sukar dipahami (G. Ronald Kastner dan Ann Millin mengemukakan bahwa "kalimat-kalimat pasif dan bertele-tele diakibatkan oleh ... ketiadaan istilah yang tepat dalam karya-karya tulis [Vergilius] sehingga makna puisi terkadang tak dapat diselami").[17] Pengecualian dari ketiadaan nama tokoh dalam Cento Vergilianus de laudibus Christi ini adalah sebutan untuk Musa, yakni tokoh yang sesungguhnya dimaksud Proba dalam larik yang menyeru nama Museus. Menurut ahli klasika, Sigrid Schottenius Cullhed, "Proba [mungkin sekali] memakai nama Museus sebagai sebutan bagi nabi Yahudi-Kristen tersebut, karena semenjak Zaman Helenistik, nama itu sudah jamak dianggap sebagai bentuk Yunani dari nama Musa".[18]

Isi

Ikhtisar

Lantaran sudah dipermandikan
laksana insan ketiban tuah
di pancuran sendang Kastalia

Sahaya,
nan kala haus beroleh minum
sesaji curah kurban Sang Cahya
sekarang ini hendak bermadah:

Ya Tuhan sudilah menyertai
lencangkan akal insani ini
manakala sahaya berperi
ihwal Vergilius yang bernyanyi
tentang tahana Sang Terurapi

De laudibus Christi, ll. 20–23
Berdasarkan terjemahan Josephine Balmer[19]

Cento Vergilianus de laudibus Christi terdiri atas 694 larik yang dikelompokkan menjadi bagian prakata dan permohonan (larik pertama sampai larik ke-55), bagian kisah-kisah Perjanjian Lama dari Kitab Kejadian (larik ke-56 sampai larik ke-318) dan Kitab Keluaran (larik ke-319 sampai larik ke-32), bagian kisah-kisah pilihan dari injil-injil Perjanjian Baru (larik ke-333 sampai larik ke-686), dan bagian penutup (larik ke-687 sampai larik ke-694).[5][20] Pada bagian awal puisi, Proba membeberkan kiprahnya ketika mula-mula menceburi bidang puisi, sebelum menolaknya atas nama Kristus.[21] Bagian ini juga merupakan bagian penjungkirbalikan, yakni penolakan terhadap tradisi sastra Vergilian, karena jika Vergilius mengawali Aeneis dengan pernyataan bahwa ia hendak "bernyanyi tentang alat senjata dan seorang wira" (arma virumque cano), maka Proba justru menolak kelayakan peperangan untuk dijadikan subjek dalam seni puisi Kristen.[22] Proba selanjutnya mencitrakan diri sebagai seorang penubuat (vatis Proba), lalu menyeru nama Allah dan Roh Kudus (menghindari kaidah tradisional yang menyeru para Musai) untuk menolongnya dalam berkarya.[1][21][23] Di akhir seruan permohonan, Proba menyingkap maksud utama penulisan puisinya, yakni untuk memerikan "ihwal Vergilius yang bernyanyi tentang tahana Sang Terurapi."[24]

Bagian kisah-kisah Perjanjian Lama terdiri atas larik-larik tentang penciptaan dunia, kejatuhan manusia, air bah, dan perjalanan keluar dari Mesir.[25] Dengan kata-kata yang sebagian besar terambil dari Georgica karangan Vergilius, larik-larik tentang penciptaan dunia merombak narasi Kitab Kejadian sedemikian rupa sehingga lebih sejalan dengan kisah penciptaan dunia menurut kepercayaan Yunani-Romawi.[26] Menurut Sigrid Schottenius Cullhed, aspek-aspek tertentu dari kisah penciptaan dunia "diringkas ... diperluas, bahkan diubah urutannya" sehingga Proba dapat menghindari kisah-kisah berulang, misalnya kisah ganda penciptaan manusia (Kejadian 1:25–27 dan Kejadian 2:18–19).[27][28] Tindakan-tindakan Hawa menjelang kejatuhan manusia diuraikan dengan larik-larik riwayat Dido dalam jilid ke-4 wiracarita Aeneis, dan oleh karena itu "berulang kali menghadirkan prabayangan tentang ... petaka kejatuhan manusia yang terjadi tak lama kemudian".[29][30] Sang ular dalam kisah Adam-Hawa digambarkan dengan larik-larik riwayat kematian Laocoon dalam jilid ke-2 wiracarita Aeneis, dan larik-larik kisah tentang ular yang dikirim furia Allecto untuk memancing kemarahan Amata dalam jilid ke-7 wiracarita Aeneis.[31] Proba memanfaatkan larik-larik petikan dari dua jilid pertama Georgica (khususnya bagian-bagian mengenai Masa Besi Zaman Manusia) untuk menjabarkan peri kehidupan umat manusia sesudah Adam dan Hawa memakan buah pohon pengetahuan akan yang baik dan yang jahat.[32] Lewat cara ini, Proba menautkan konsep Zaman Manusia khas Yunani-Romawi dengan konsep Kejatuhan Manusia khas Yahudi-Kristen.[33]

Sesudah kisah penciptaan, Proba secara singkat menguraikan kisah air bah dengan larik-larik petikan dari jilid ke-4 Georgica yang aslinya membahas tentang kematian koloni lebah hasil budi daya dan kebutuhan akan undang-undang selepas Masa Emas Zaman Manusia. Menurut ahli klasika, Karla Pollmann, dengan memanfaatkan larik-larik yang berkaitan dengan kebinasaan dan pembentukan hukum, Proba mampu mengungkapkan gagasan tradisional bahwa selamatnya Nuh dari bencana air bah merupakan permulaan dari "penciptaan yang kedua dan tatanan yang baru" (yakni zaman para bapa lehuhur bangsa Israel).[34] Kisah keluaran hanya diuraikan Proba dengan segelintir larik sebelum beralih ke bagian kisah-kisah Perjanjian Baru. Menurut Sigrid Schottenius Cullhed, hal ini terjadi karena Kitab Keluaran dan kitab-kitab Perjanjian Lama selebihnya sarat dengan tindak kekerasan dan peperangan, yang dari segi gaya sastra terlalu dekat dengan tradisi puisi wiracarita pagan, yakni tradisi puisi yang secara terang-terangan ditolak Proba dalam bagian prakata Cento Vergilianus de laudibus Christi.[35] Untuk beralih bagian (dari kisah-kisah Perjanjian Lama ke kisah-kisah Perjanjian Baru), Proba memanfaatkan bait-bait seruan permohonan kepada para Musai perang, yang terdapat persis sebelum uraian katalog bangsa Italia dalam jilid ke-7 wiracarita Aeneis, dan bait-bait uraian tentang perisai bertuah yang sudah ditakdirkan untuk dipakai tokoh utama dalam jilid ke-8 wiracarita Aeneis. Menurut Culhed, bait-bait tersebut aslinya berfungsi sebagai sarana-sarana puitis yang memungkinkan Vergilius untuk beralih dari bagian pertama wiracarita Aeneis yang bercorak "Odisea" ke bagian keduanya yang bercorak "Ilias". Dengan maksud yang sama, Proba memanfaatkan kembali bait-bait tersebut untuk memuluskan peralihannya dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru.[36]

Bagian kisah-kisah Perjanjian Baru berfokus pada kelahiran Yesus, perjalanan hidup maupun kiprahnya, penyalibannya, dan turunnya Roh Kudus.[25][37] Meskipun tokoh Yesus dan Maria dihadirkan, tokoh Yosef dihilangkan.[38] Yesus kerap dicitrakan dengan kata-kata yang digunakan untuk menggambarkan tokoh pahlawan dalam sastra Vergilian,[39] sementara Maria dicitrakan dengan larik-larik yang aslinya digunakan dalam uraian tentang Venus dan Dido.[40] Khotbah di Bukit ala Proba disusun dengan larik-larik uraian Sibil Kumai tentang hukuman bagi orang-orang fasik dalam jilid ke-6 wiracarita Aeneis, dan menurut sementara ahli, bagian ini adalah penggambaran pertama tentang neraka dalam seni puisi Kristen.[41] Kiprah Kristus dibatasi menjadi tiga kejadian penting, yakni meredakan angin ribut, berjalan di atas air, dan mengambil murid.[42] Untuk menguraikan kisah penyaliban Kristus, Proba menggunakan sejumlah larik yang aslinya digunakan dalam uraian tentang peperangan, penumpasan, dan ajal, misalnya uraian pertempuran antara Aeneas dan orang Rutuli dalam jilid ke-12 wiracarita Aeneis, uraian penjarahan kota Troya dalam jilid ke-2 wiracarita Aeneis, dan kisah Laocoon dibelit ular-ular raksasa dalam jilid ke-2 wiracarita Aeneis.[43] Menariknya, Kristus disalibkan bukan pada kayu salib, melainkan pada sebatang pohon ek, yang menurut Sigrid Schottenius Cullhed "menyintesis perlambang-perlambang Yahudi, Romawi, dan Kristen", karena pohon ek dikait-kaitkan dengan Dewa Yupiter dalam kepercayaan Yunani-Romawi dan dengan peristiwa Akidah Ishak (pengikatan Ishak untuk dikurbankan) dalam tradisi Yahudi-Kristen.[44] Sesudah menguraikan kematian Kristus, Proba meminjam larik-larik tentang cinta berahi antara Dido dan Aeneas untuk menyusun uraian tentang cinta kasih rohani di antara Kristus dan murid-muridnya.[45] Bagian penutup berfokus pada pemaparan Kristus tentang akhirat dan peristiwa kenaikannya ke surga. Pembabaran Kristus tentang akhirat dirangkai dari larik-larik ramalan Celaeno maupun ramalan Orakel Delos dalam jilid ke-3 wiracarita Aeneis, sementara peristiwa kenaikan dirangkai dari larik-larik penggambaran Dewa Merkurius dalam wiracarita tersebut.[46][47]

Penokohan Yesus

Dalam Cento Vergilianus de laudibus Christi, Yesus (kiri) dicitrakan dengan kata-kata yang digunakan untuk menggambarkan tokoh pahlawan dalam karya tulis Vergilius seperti Aeneas (kanan)

Karena digambarkan dengan kata-kata pinjaman dari karya tulis Vergilius, Kristus versi Proba sangat mirip dengan tokoh pahlawan dalam wiracarita karangan Vergilius.[48] Kemiripan kedua tokoh tersebut mencakup usaha mengejar tujuan yang lebih mulia daripada kebahagiaan diri sendiri, mendirikan kerajaan "yang tidak berkesudahan", dan memancarkan praba keilahian.[49] Menurut pakar kajian Gereja Perdana, Elizabeth A. Clark, dan ahli klasika, Diane Hatch, Proba bermaksud "mencitrakan Kristus sebagai pribadi yang memiliki sifat-sifat kepahlawanan," sama seperti tokoh pahlawan dalam karya tulis Vergilius.[50] Proba mewujudkan maksud tersebut dengan tiga cara pokok. Yang pertama, ia menggambarkan Yesus sebagai tokoh yang sangat rupawan,[51] "tampak mulia dan berwibawa" di mata orang, sama seperti penggambaran tokoh Aeneas.[52] Yang kedua, dalam peristiwa penyaliban, Yesus digambarkan tidak menyongsong ajal dengan sikap pasrah, tetapi menyerang para penyiksanya secara agresif.[53] Dengan demikian, penggambaran Proba tentang peristiwa penyaliban Yesus serupa dengan kisah Aeneas menuntaskan dendamnya dengan membunuh Turnus pada akhir wiracarita Aeneis.[54] Yang ketiga, ramalan-ramalan terperinci mengenai masa depan gemilang kota Roma yang terserak di berbagai tempat dalam wiracarita Aeneis dialihkan Proba kepada Yesus, dan dengan demikian menyelaraskan ramalan-ramalan pagan dengan agama Kristen.[54]

Penokohan Maria

Penokohan Maria telah menimbulkan silang pendapat di kalangan para ahli. Menurut sejarawan Kate Cooper, Maria dicitrakan sebagai seorang materfamilias (perempuan kepala keluarga) yang cerdas lagi berani.[55] Dalam tulisan mereka, Clark dan Hatch mengemukakan bahwa Proba menonjolkan fitrah keibuan Maria dengan menghilangkan tokoh Yosef dan menampilkan Maria sebagai satu-satunya orang tua insani Yesus. Di lain pihak, pakar bahasa Latin, Stratis Kyriakidis, berpendapat bahwa sekalipun dihadirkan dalam puisi ini, tokoh Maria tidak memiliki sifat-sifat feminin, dan dengan demikian "impersonal".[40] Menurutnya, Proba memang sengaja membuatnya demikian, agar mengarahkan atensi pembaca kepada fitrah ilahi Kristus, yakni aspek yang "tidak akan serasi dengan sosok feminin seorang ibu insani."[40]

Menurut Sigrid Schottenius Cullhed, lewat pemakaian kata-kata petikan dari karya tulis Vergilius, Proba menyejajarkan Maria (dalam gambar) dengan para dewi dan penubuat

Sigrid Schottenius Cullhed mengemukakan dalam tulisannya bahwa pandangan-pandangan paling ilmiah mengenai penokohan Maria dalam Cento Vergilianus de laudibus Christi tidaklah memadai, dan bahwa Proba mencitrakan Maria sebagai "penggenapan ganda dan antitipe dari Hawa maupun Dido."[56] Pendapatnya tersebut ia dasarkan pada fakta bahwa larik ke-563 dari jilid ke-4 wiracarita Aeneis (dari kata sesanti mercurius kepada Aeneas, yakni teguran sang dewa kepada sang pahlawan yang sudah terleka hidup bersama Dido di Kartago) digunakan dalam dua bagian Cento Vergilianus de laudibus Christi. Yang pertama, dalam larik-larik teguran Adam kepada Hawa karena berbuat dosa. Yang kedua, dalam kisah insafnya Maria akan niat Herodes untuk membunuh anak Maria. Menurut Sigrid Schottenius Cullhed, lewat pemanfaatan kembali dalam bagian kisah-kisah Perjanjian Baru dari Cento Vergilianus de laudibus Christi, "penokohan yang negatif" dalam karya tulis asli bertransformasi menjadi "karunia kebolehan yang positif" yang memungkinkan Maria dan Yesus untuk luput dari angkara murka Herodes.[56] Dengan mencitrakannya sebagai tokoh yang mampu meramal masa depan, Maria disejajarkan (lewat penggunaan bahasa khas sastra Vergilian) dengan para dewi dan penubuat Yunani-Romawi.[57]

Kepribadian dan motivasi Proba

Karena terbatasnya informasi sejarah mengenai Proba, banyak ahli suka menelaah Cento Vergilianus de laudibus Christi untuk mencari tahu kepribadiannya. Menurut ahli klasika, Bernice Kaczynski, "para ahli telah mendapati jejak-jejak kepribadian Proba dalam penekanannya akan keindahan alam yang tampak jelas dalam uraiannya tentang penciptaan dunia."[4] Isi cento-nya menyiratkan bahwa Proba sangat menghargai "urusan-urusan rumah tangga, perkawinan dan keluarga, kerukunan suami istri, dan bakti anak kepada orang tua".[4] Meskipun Perjanjian Baru mengutamakan asketisme, Proba tampaknya tidak begitu mementingkannya, karena topik-topik semacam kemurnian dan kemiskinan tidak ditonjolkan dalam puisinya. Sehubungan dengan urusan finansial, Proba menafsir ulang sejumlah riwayat Perjanjian Baru tentang imbauan Yesus kepada para pengikutnya untuk meninggalkan harta benda sekadar sebagai ayat-ayat anjuran kepada umat Kristen untuk berbagi kekayaan dengan sanak famili mereka. Perubahan-perubahan tersebut mencerminkan konteks sejarah Proba, status sosial ekonominya, dan hal-hal yang diharapkan dari golongannya.[4]

Sehubungan dengan pertanyaan mengapa Proba menggubah Cento Vergilianus de laudibus Christi, para ahli belum mencapai mufakat. Pakar bahasa Latin, R. P. H. Green, berpendapat bahwa cento Proba adalah reaksi terhadap undang-undang Kaisar Iulianus yang melarang umat Kristen mengajarkan isi karya-karya sastra yang tidak mereka yakini kebenarannya (yakni mitologi Yunani-Romawi klasik).[58][59] R. P. H. Green mengemukakan lewat tulisannya bahwa Proba bermaksud menghadirkan Vergilius "tanpa embel-embel dewa-dewi [pagan], sehingga tidak lagi menjadi sasaran kecaman umat Kristen".[60] Dengan cara ini, seorang guru Kristen dapat memakai karya tulis tersebut untuk keperluan pembahasan tentang Vergilius tanpa harus mengkompromikan integritas agama dan moralnya.[60] Di lain pihak, Clark dan Hatch berpendapat bahwa Yesus ala Vergilius dalam cento proba mungkin saja adalah usaha Proba untuk menyanggah pencitraan Yesus sebagai pribadi yang bejat dan jahat dalam Caesares dan Contra Galilaeos yang ditulis Kaisar Iulianus. Clark dan Hatch menyimpulkan bahwa hipotesis yang mereka kemukakan memang cukup menggelitik tetapi tidak dapat diverifikasi lantaran ketiadaan informasi mengenai Proba, waktu penulisan cento-nya, dan maksud yang hendak ia capai.[49][52] Ahli klasika, Aurelio Amatucci, menduga bahwa Proba menggubah Cento Vergilianus de laudibus Christi untuk mengajarkan kisah-kisah Alkitab kepada anak-anaknya,[61] sekalipun tidak ada bukti kuat bahwa puisi tersebut digubah dengan maksud untuk dipakai sebagai bahan pengajaran.[62][63][64]

Sambutan

Dengan mempelajari catatan-catatan produksi naskah yang tersimpan di perpustakaan-perpustakaan biara, para ahli sampai pada kesimpulan bahwa cento Proba banyak sekali disalin pada saat dirilis. Cento Vergilianus de laudibus Christi terbukti sangat populer di sekolah-sekolah, dan pada zaman dahulu kerap digunakan sebagai bahan pengajaran bersama-sama dengan De doctrina Christiana, karya tulis Agustinus dari Hipo, bahkan adakalanya doctrina Agustinus kalah populer dari cento Proba. Menurut Cătălina Mărmureanu, Gianina Cernescu, dan Laura Lixandru, mungkin Cento Vergilianus de laudibus Christi disukai orang karena gaya khas Vergiliannya yang terasa akrab di telinga, maupun karena kecerdikan Proba mencitrakan diri sebagai perempuan yang "lemah" sehingga dapat diterima dengan baik oleh "khalayak ramai yang masih berpandangan misoginistis".[63]

Banyak ahli meyakini bahwa Hieronimus (dalam gambar) mencela cento Proba

Pada akhir abad ke-4 dan awal abad ke-5, Cento Vergilianus de laudibus Christi mulai mendapatkan sambutan yang lebih beragam. Banyak ahli meyakini bahwa Hieronimus turut mencela karya tulis itu. Dalam surat kepada Paulinus dari Nola yang ditulisnya di Betlehem, Sang Bapa Gereja mengecam keras cento-cento Virgilian.[65] Ia mewanti-wanti Paulinus agar tidak mengikuti jejak "si nenek bawel" (garrula anus) dan orang-orang mengira bahwa "Si Maro [maksudnya Vergilius] yang tuna-Kristus itu dapat disebut seorang Kristen" (non ... Maronem sine Christo possimus dicere Christianum).[62][66][nb 5] Menurut sejarawan James Westfall Thompson, Hieronimus "sangat menentang metode yang merusak kesan 'sastrawan pagan' ini", dan "kecintaannya akan karya-karya tulis klasik maupun ketaatannya dalam menjalankan agama Kristen telah dilukai" oleh tindakan-tindakan Proba.[70][nb 6] Di lain pihak, Kaisar Arcadius (memerintah 395-408) menerima satu salinan cento Proba, berisi tambahan 15 larik dedikasi yang menegaskan bahwa cento Proba membuat "Si Maro berubah menjadi lebih suci" (Maronem mutatum in melius divino ... sensu)..[72][73] Cento Proba juga dipersembahkan kepada Aelia Eudocia, Permaisuri Kaisar Teodosius II (memerintah 408–450).[74]

Pada Akhir Abad Kuno, dokumen pseudonim yang dikenal dengan sebutan Decretum Gelasianum—yang diyakini sebagai maklumat Paus Gelasius I (menjabat 492–496)—mengecap Cento Vergilianus de laudibus Christi sebagai karya tulis apokrif dan "puisi yang tercela".[75] Namun hampir seabad kemudian, Uskup Agung Sevilla, Isidorus (560–636), menyebut Proba sebagai "satu-satunya wanita yang layak disejajarkan dengan tokoh-tokoh pria dari lingkungan Gereja" (Proba ... femina inter viros ecclesiasticos ... posita sola).[73] Sehubungan dengan Cento Vergilianus de laudibus Christi, Isidorus mengemukakan dalam tulisannya bahwa "yang sepatutnya dikagumi bukanlah hasil karyanya, melainkan kepiawaian [Proba]" merangkai kata (Cuius quidem non miramur studium sed laudamus ingenium).[73][76][77]

Semasa Renaisans, Proba maupun cento gubahannya dipuji-puji sebagai bukti nyata dari ketekunan belajar dan pendidikan yang tinggi. Dalam sepucuk surat berangka tahun 1385 yang dialamatkan kepada Anna von Schweidnitz (permaisuri Kaisar Karl IV), penyair dan cendekiawan Italia, Petrarca, mengacu kepada Proba dan cento gubahannya saat membahas perihal perempuan-perempuan genius,[78][79] dan pada tahun 1374, humanis Giovanni Boccaccio mengikutsertakan riwayat hidup Proba dalam karya tulisnya, De mulieribus claris, kumpulan biografi tokoh wanita ternama, baik tokoh nyata maupun tokoh mitologi.[79] Pada tahun 1474, Cento Vergilianus de laudibus Christi dipublikasikan oleh usaha cetak Michael Wenssler di Swiss,[80] yang agaknya membuat Proba menjadi penulis perempuan pertama yang diperbanyak karya tulisnya dengan mesin cetak.[81] Pada tahun 1518, cento Proba sekali lagi digunakan di lingkungan pendidikan, kali ini oleh John Colet, pendiri Sekolah Santo Paulus, yang meyakini bahwa Proba "menuliskan ... kata-kata bijak dengan bahasa Latin yang bersih tanpa cela" (wrote ... wysdom with clene and chast Latin).[82]

Dunia keilmuan pada abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 bersikap lebih kritis terhadap Cento Vergilianus de laudibus Christi.[83][84] Sejumlah ahli klasika dan filolog kala itu menyebut Cento Vergilianus de laudibus Christi sebagai contoh dari "kemiskinan ide" pada akhir Abad Kuno.[49] Pada tahun 1849, puisi ini disebut "sampah" yang sudah sepantasnya "tidak mendapatkan pujian" dalam Dictionary of Greek and Roman Biography and Mythology yang disusun William Smith,[85] dan pada tahun 1911, Paul Lejay dari The Catholic Encyclopedia mengemukakan dalam tulisannya bahwa "aksi puisi ini terkekang dan tidak berimbang, adabnya absurd, [dan] diksinya sering kali tidak jelas atau tidak tepat".[86] Meskipun pernah dinilai negatif sebagaimanya yang dikemukakan di atas, pada ahli dewasa ini sudah kembali meminati puisi ini,[87] dan banyak yang menganggapnya layak dijadikan bahan kajian.[nb 7] Sigrid Schottenius Cullhed pada khususnya menganggap Cento Vergilianus de laudibus Christi sebagai karya tulis "yang cukup penting dari segi kesejarahan dan kebudayaan [karena merupakan] salah satu dari segelitir teks kuno hasil karya penulis perempuan dan menonjol sebagai salah satu dari puisi Latin Kristen tertua yang masih kita punyai."[89] Karya tulis pertama dalam bahasa Inggris yang sepenuhnya didedikasikan bagi Proba dan puisinya adalah monografi terbitan tahun 2015 berjudul Proba the Prophet, yang ditulis Sigrid Schottenius Cullhed.[90]

Kontroversi seputar jati diri penulis

Isidorus dari Sevilla (dalam gambar) menyebut Faltonia Betitia Proba sebagai penggubah Cento Vergilianus de laudibus Christi dalam Etymologiae, buku yang ia tulis pada abad ke-7

Sebab utama penisbahan Cento Vergilianus de laudibus Christi kepada Faltonia Betitia Proba dari generasi ke generasi adalah pernyataan Isidorus dari Sevilla, dalam bukunya yang berjudul Etymologiae, bahwa Cento Vergilianus de laudibus Christi adalah hasil karya seorang wanita bernama Proba, istri Adelphus (Proba, uxor Adelphi, centonem ex Vergilio ... expressit).[91] Meskipun demikian, ahli klasika sekaligus pakar Abad Pertengahan, Danuta Shanzer, berpendapat bahwa puisi tersebut bukanlah hasil karya Faltonia Betitia Proba, melain cucunya, Anicia Faltonia Proba, yang hidup pada penghujung abad ke-4 dan permulaan abad ke-5.[88] Danuta Shanzer—yang menduga Faltonia Betitia Proba wafat pada tahun 351—mendasarkan pendapatnya atas ketidakkonsistenan penanggalan dan anakronisme yang ia jumpai dalam Cento Vergilianus de laudibus Christi. Sebagai contoh, Danuta Shanzer menunjukkan bahwa larik ke-13 sampai ke–17 cento tersebut sangat mirip dengan larik ke-20 sampai ke-24 dari Carmen contra paganos, puisi yang baru digubah sesudah Faltonia Betitia Proba wafat.[88][92] Ia juga mengklaim bahwa Cento Vergilianus de laudibus Christi menyinggung tentang perdebatan tanggal Paskah yang berlangsung pada tahun 387, dengan demikian puisi tersebut mestinya baru ditulis menjelang akhir abad ke-4. Ia akhirnya mengemukakan bahwa penyebutan tentang perang antara Magnentius dan Constantius dalam bagian prakata memustahilkan kemungkinan bahwa Faltonia Betitia Probalah penggubah Cento Vergilianus de laudibus Christi, karena perang tersebut meletus pada tahun yang diperkirakan sebagai tahun kematian Proba. Danuta Shanzer menyempurnakan hipotesisnya dengan melandaskannya pada sebuah argumen tekstual. Ia mengemukakan bahwa penggubah Cento Vergilianus de laudibus Christi kerap disebut dalam naskah-naskah terkemudian dengan gelar-gelar yang hanya mungkin didapatkan oleh Anicia Proba, misalnya "Ibunda Keluarga Besar Anicia" atau "Yang Mulia Tuan Putri Roma".[92]

Dalam bukunya, Proba the Prophet, yang terbit tahun 2015, Cullhed menyanggah klaim-klaim Danuta Shanzer. Pertama-tama, ia menegaskan ketiadaan bukti definitif bahwa Faltonia Betitia Proba wafat pada tahun 351, dan dengan demikian penegasan Danuta Shanzer hanyalah spekulasi belaka. Cullhed juga mengemukakan bahwa "tidak ada dasarnya untuk menentukan mana yang lebih dulu, larik-larik prakata cento atau larik-larik Carmen contra paganos, dan bahwa bagian yang katanya mengacu kepada perdebatan tanggal paskah tahun 387 mungkin sekali mengacu kepada perdebatan yang terjadi sebelumnya, yang mungkin tidak begitu terkenal.[92] Sehubungan dengan gelar-gelar bagi si pengarang yang terdapat dalam naskah-naskah terkemudian, Cullhed mengemukakan bahwa gelar-gelar tersebut agaknya disisipkan secara keliru pada Abad Pertengahan oleh para penyalin naskah yang dapat dimaklumi jika keliru menyamakan dua orang yang sama-sama bernama Proba. Cullhed juga berpendapat bahwa jika benar Anicia Proba yang menggubah Cento Vergilianus de laudibus Christi, mungkin sekali penyair Claudianus sudah memuji-muji kepiawaian berpuisnya dalam panegyricus yang ia tulis pada tahun 395 untuk merayakan masa jabatan kedua putranya, Anicius Hermogenianus Olybrius dan Anicius Probinus, selaku konsul.[92] Cullhed berkesimpulan bahwa "bukti untuk mendiskreditkan penisbahan Cento Vergilianus de laudibus Christi [kepada Faltonia Betitia Proba] oleh Isidorus dari Sevilla tidak cukup memadai, dan oleh karena itu saya asumsikan saja bahwa cento tersebut ditulis pada pertengahan abad ke-4 oleh Faltonia Betitia Proba."[92] Menurut Kosensus umum di kalangan ahli klasika dan ahli bahasa Latin dewasa ini, Cento Vergilianus de laudibus Christi benar-benar adalah karya tulis Faltonia Betitia Proba.[1][93]

Baca juga

Keterangan

Rujukan

Kepustakaan

Bacaan lanjutan

Terjemahan ke dalam bahasa Inggris
Sumber-sumber sekunder
  • Matthew, John (1989). "The Poetess Proba and Fourth-century Rome: Questions of Interpretation". Dalam Michel Christol (penyunting). Institutions, Société et Vie Politique dans l'Empire Romain au IVe Siècle ap. J.-C. [Institutions, Society, and Political Life in the Roman Empire in the Fourth Century AD]. Collection de l'Ecole française de Rome (dalam bahasa Inggris and Prancis). Roma, Italia: Ecole Française de Rome. hlm. 277–304. ISBN 978-2-7283-0253-6. 
  • McGill, Scott (2007). "Virgil, Christianity, and the Cento Probae". Dalam J. H. D. Scourfield (penyunting). Texts and Culture in Late Antiquity: Inheritance, Authority, and Change. Swansea, Britania Raya: Classical Press of Wales. hlm. 173–194. ISBN 978-1-905125-17-3. 
  • Sandnes, Karl Olav (2011). "Faltonia Betitia Proba: The Gospel "According to Virgil"". The Gospel "According to Homer and Virgil": Cento and Canon. Supplements to Novum Testamentum. Leiden, Belanda: Brill Publishers. hlm. 141–180. ISBN 978-90-04-18718-4.