Wilayah administrasi khusus di Indonesia

artikel daftar Wikimedia

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) mengatur mengenai wilayah administrasi khusus di Indonesia, yang ditegaskan dalam Pasal 18B Ayat (1):[1]

Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah terbaru, yaitu UU No. 23 Tahun 2014, perbedaan definisi daerah khusus dan daerah istimewa tidak disebutkan sama sekali. Namun, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur status kekhususan dan keistimewaan dari daerah-daerah tersebut di Indonesia, serta menurut pendapat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK), dapat disimpulkan bahwa pengertian keduanya adalah sebagai berikut.

  • Daerah khusus adalah daerah yang diberikan otonomi khusus, yaitu otonomi daerah dengan suatu kekhususan yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lainnya. Otonomi khusus tersebut terkait dengan kenyataan dan kebutuhan politik yang karena posisi dan keadaannya mengharuskan suatu daerah diberikan status khusus yang tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya.[2]
  • Daerah istimewa adalah daerah dengan penyelenggaraan tata kelola daerah yang bersifat istimewa bila dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Keistimewaan daerah tersebut terkait dengan hak asal usul dan kesejarahan daerah tersebut sejak sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.[2]

Saat ini, provinsi-provinsi di Indonesia yang memiliki status kekhususan (sehingga menjadi daerah khusus) adalah Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang memiliki kekhususan utama sebagai ibu kota negara Indonesia, Provinsi Aceh yang memiliki kekhususan utama sebagai pusat penerapan syariat Islam dalam sendi-sendi penyelenggaraan daerah, serta Provinsi Papua Barat Daya, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan dan Papua yang memiliki kekhususan utama dalam pengakuan dan penghormatan khusus atas orang-orang asli Papua. Sementara itu, provinsi-provinsi di Indonesia yang memiliki status keistimewaan (sehingga menjadi daerah istimewa) adalah Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang memiliki keistimewaan utama menjadi pusat penyebaran agama dan kebudayaan Islam sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam, dan juga Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki keistimewaan utama berupa pemerintahan daerah yang dipimpin oleh Gubernur yang bertakhta sebagai Sultan Hamengkubuwana (dari wangsa Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat) dan Wakil Gubernur yang bertakhta sebagai Adipati Paku Alam (dari wangsa Kadipaten Pakualaman) dengan masa jabatan seumur hidup.

Daftar dan penjelasan

Berikut merupakan daftar mengenai daerah-daerah khusus dan istimewa di Indonesia yang ada saat ini, beserta penjelasan mengenai kekhususan dan/atau keistimewaannya.

Aceh

Lambang Aceh

Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.[3]

Aceh menerima status istimewa pada 1959, tiga tahun setelah pembentukan kembali pada 1956.[4], dan sepuluh tahun sejak pembentukan pertama 1949.[5] Status istimewa diberikan kepada Aceh dengan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959, yang isi keistimewaannya meliputi agama, peradatan, dan pendidikan. Namun pelaksanaan keistimewaan tidak berjalan dengan semestinya dan hanya sebagai formalitas belaka.[6]

Pasca penerbitan UU 44/1999 keistimewaan Aceh meliputi penyelenggaraan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah. Keistimewaan di bidang penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh, dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama, meliputi: ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.[7] Keistimewaan di bidang penyelenggaraan kehidupan adat meliputi Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat Aceh (misal Majelis Adat Aceh, Imeum mukim, dan Syahbanda).[8]

Keistimewaan di bidang pendidikan meliputi penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam serta menyelenggarakan pendidikan madrasah ibtidaiyah dan madrasah tsanawiyah.[9] Keistimewaan di bidang peran ulama meliputi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dan Kabupaten/Kota yang memiliki tugas dan wewenang untuk memberi fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi; dan memberi arahan terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah keagamaan.[10]

Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633). UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan. Hal-hal mendasar yang menjadi isi UU Pemerintahan Aceh ini antara lain:

  1. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
  2. Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU Pemerintahan Aceh ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional.
  3. Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak diamanatkan dalam UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut.
  4. Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui pemberian kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada.
  5. Implementasi formal penegakan syari’at Islam dengan asas personalitas ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.

Pengakuan sifat istimewa dan khusus oleh Negara kepada Aceh sebenarnya telah melalui perjalanan waktu yang panjang. Tercatat setidaknya ada tiga peraturan penting yang pernah diberlakukan bagi keistimewaan dan kekhususan Aceh yaitu Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 tentang Keistimewaan Provinsi Aceh, UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan UU 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh. Dengan dikeluarkannya UU Pemerintahan Aceh, diharapkan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan dan keadilan yang berkesejahteraan di Aceh.

Daerah Istimewa Yogyakarta

Lambang Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta, selanjutnya disebut DIY, adalah daerah provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.[11] Keistimewaan adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal usul.[12] menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa.[13] Kewenangan Istimewa adalah wewenang tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah.[14]

Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah istimewa sejak pembentukannya secara de jure tahun 1950,[15] maupun sejak pengakuannya secara de facto pada 1945.[16] Dalam undang-undang pembentukan DIY,[15] DIY berkedudukan hukum sebagai daerah istimewa setingkat provinsi. Sedang keistimewaannya terletak pada pengangkatan kepala daerah istimewa dan wakil kepala daerah istimewa dari Sultan dan Paku Alam yang bertahta. Namun, bentuk keistimewaan DIY tidak dicantumkan dalam undang-undang pembentukan tetapi hanya dalam undang-undang pemerintahan daerah yang mengatur semua daerah di Indonesia secara umum.[17] Dengan realitas ini, pada tahun 1965 kedudukan hukum DIY diturunkan menjadi daerah provinsi biasa.[18], dan akhirnya pada tahun 1999 dan 2004 keistimewaan DIY memasuki wilayah kekosongan hukum.[19]

Pasca penerbitan UU 13 Tahun 2012, keistimewaan DIY meliputi:

  1. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur;
  2. kelembagaan Pemerintah Daerah DIY;
  3. kebudayaan;
  4. pertanahan; dan
  5. tata ruang.[20]

Keistimewaan dalam bidang tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur antara lain syarat khusus bagi calon gubernur DIY adalah Sultan Hamengkubuwana yang bertahta, dan wakil gubernur adalah Adipati Paku Alam yang bertahta. Gubernur dan Wakil Gubernur memiliki kedudukan, tugas, dan wewenang sebagaimana Gubernur dan Wakil Gubernur lainnya, ditambah dengan penyelenggaran urusan – urusan keistimewaan.[21] Keistimewaan dalam bidang kelembagaan Pemerintah Daerah DIY yaitu penataan dan penetapan kelembagaan, dengan Perdais, untuk mencapai efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat berdasarkan prinsip responsibilitas, akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi dengan memperhatikan bentuk dan susunan pemerintahan asli.[22]

Keistimewaan dalam bidang kebudayaan yaitu memelihara dan mengembangkan hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni, dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY, yang diatur dengan perdais.[23] Keistimewaan dalam bidang pertanahan yaitu Kesultanan dan Kadipaten berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah Kesultanan dan tanah Kadipaten ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat.[24] Keistimewaan dalam bidang tata ruang yaitu kewenangan Kesultanan dan Kadipaten dalam tata ruang pada pengelolaan dan pemanfaatan tanah Kesultanan dan tanah Kadipaten.[25]

Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Lambang Jakarta

Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai satuan pemerintahan yang bersifat khusus dalam kedudukannya sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebagai daerah otonom memiliki fungsi dan peran yang penting dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, perlu diberikan kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk itulah Pemerintah Pusat mengeluarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (LN 2007 No. 93; TLN 4744). UU ini mengatur kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu kota Negara. Aturan sebagai daerah otonom tingkat provinsi dan lain sebagainya tetap terikat pada peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah.

Beberapa hal yang menjadi pengkhususan bagi Provinsi DKI Jakarta antara lain:

  1. Provinsi DKI Jakarta berkedudukan sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Provinsi DKI Jakarta adalah daerah khusus yang berfungsi sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sekaligus sebagai daerah otonom pada tingkat provinsi.
  3. Provinsi DKI Jakarta berperan sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional.
  4. Wilayah Provinsi DKI Jakarta dibagi dalam kota administrasi dan kabupaten administrasi.
  5. Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta berjumlah paling banyak 125% (seratus dua puluh lima persen) dari jumlah maksimal untuk kategori jumlah penduduk DKI Jakarta sebagaimana ditentukan dalam undang-undang.
  6. Gubernur dapat menghadiri sidang kabinet yang menyangkut kepentingan Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gubernur mempunyai hak protokoler, termasuk mendampingi Presiden dalam acara kenegaraan.
  7. Dana dalam rangka pelaksanaan kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu kota Negara ditetapkan bersama antara Pemerintah dan DPR dalam APBN berdasarkan usulan Pemprov DKI Jakarta.

Provinsi Papua

Lambang Papua

Provinsi Papua, menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021,[26] adalah provinsi-provinsi yang berada di wilayah Papua yang diberi otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi khusus tersebut adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Otonomi ini diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (LN 2001 No. 135 TLN No 4151). Hal-hal mendasar yang menjadi isi Undang-undang ini adalah:

  • Pertama, pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan;
  • Kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan
  • Ketiga, mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang berciri:
    1. partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan;
    2. pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat; dan
    3. penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggungjawab kepada masyarakat.
  • Keempat, pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.
Lambang Papua Barat

Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain. Otonomi khusus melalui UU 21/2001 menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek utama. Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Sedangkan penduduk Papua, adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua.

Keberadaan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta perangkat di bawahnya, semua diarahkan untuk memberikan pelayanan terbaik dan pemberdayaan rakyat. Undang-undang ini juga mengandung semangat penyelesaian masalah dan rekonsiliasi, antara lain dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pembentukan komisi ini dimaksudkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi pada masa lalu dengan tujuan memantapkan persatuan dan kesatuan nasional Indonesia di Provinsi Papua.

Saat ini, provinsi-provinsi yang merujuk pada Provinsi Papua adalah Papua, Papua Barat, Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya.

Sejarah

Sebelum kemerdekaan

Perdebatan mengenai apa itu daerah istimewa sebenarnya diawali dari voting bentuk negara Indonesia dalam sidang BPUPKI.[27] Keadaan tersebut berlanjut dalam diskusi para bapak pendiri bangsa mengenai bentuk negara.[28] Akhirnya dicari jalan tengah untuk kedudukan daerah yang berstatus zelfbesturende landschappen dalam lingkungan negara Indonesia dengan memunculkan ide daerah istimewa.

Namun dalam sidang BPUPKI ada penyamaan antara zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen. Dengan demikian tidak hanya kesultanan maupun kerajaan, namun juga daerah mempunyai susunan asli, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya yang dapat ditetapkan sebagai daerah yang bersifat istimewa.[29] Negara menghormati dan memperhatikan susunan asli daerah tersebut. Namun belum ada bentuk jelas bagaimana daerah istimewa tersebut.

Dalam sidang PPKI konsepnya tidak jauh berbeda. Zelfbesturende landschappen ditegaskan hanya sebagai daerah bukan sebagai negara. Keistimewaannya pun dikaitkan dengan susunan asli dari daerah tersebut. Demikian pula susunan asli zelfstandige gemeenschappen atau Inheemsche Rechtsgemeenschappen seperti nagari di Minangkabau dihormati susunan aslinya. Panitia kecil yang dibentuk PPKI tidak memajukan usul apapun mengenai daerah istimewa.[30] PPKI memutuskan kedudukan daerah istimewa (Kooti – bahasa waktu itu) untuk sementara ditetapkan tidak ada perubahan dan penyelesaian selanjutnya diserahkan pada presiden.[31] Di luar sidang PPKI, Presiden Indonesia menetapkan empat piagam kedudukan untuk empat penguasa Jawa.[32]

Masa Revolusi Nasional

Daerah istimewa dalam UUD 1945 asli diatur dalam bab VII pasal 18 mengenai pemerintahan daerah.[33] Tidak banyak yang diberikan keterangan dalam pasal tersebut selain persyaratan “hak asal usul” dan istilah “daerah yang bersifat istimewa”.[34] Jika ditilik dari peristilahan maka daerah istimewa pada waktu itu dekat dengan istilah daerah otonomi khusus saat ini. Hanya saja pemberian otonomi khusus tersebut diberikan untuk daerah-daerah yang berstatus "zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen" pada zaman Hindia Belanda.[35] Sayangnya, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai daerah-daerah mana saja yang berstatus khusus tersebut.

Undang-undang yang mengatur daerah istimewa pertama kali adalah UU No. 22 Tahun 1948 mengenai Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, syarat utama daerah istimewa adalah daerah yang telah memiliki pemerintahan sendiri sebelum adanya Republik Indonesia (zelfbestuur)[36] Sedangkan bentuk keistimewaannya adalah terletak pada kepala daerahnya.[37] Kepala daerah istimewa merupakan penguasa monarki.[38] Selain itu dalam daerah istimewa yang terdiri atas gabungan dua zelfbestuur diangkat wakil kepala daerah.[39] Selain itu daerah istimewa memiliki tingkatan daerah istimewa setingkat provinsi, setingkat kabupaten, dan setingkat desa.[36][40]

Masa RIS

Istilah daerah istimewa hanya muncul sekali dalam konstitusi RIS. Itupun hanya menyangkut satu daerah yang berstatus sebagai “Satuan Kenegaraan Yang Tegak Sendiri”.[41] Dalam konstitusi ini muncul istilah "Daerah Swapraja" sebagai ganti istilah Zelfbesturende landschappen. Ada empat pasal yang mengatur daerah swapraja pada konstitusi tersebut, mulai dari pasal 64-67.[42] Dalam konstitusi tersebut ditegaskan Negara mengakui semua swapraja yang ada. Kedudukan swapraja sangat kuat. Pengaturan daerah swapraja diserahkan pada daerah bagian yang memiliki daerah swapraja tersebut dengan perjanjian politik, bukan dengan Undang-undang daerah bagian. Pengurangan maupun penghapusan wilayah atau kekuasaan daerah swapraja memerlukan kuasa Undang-undang Federal RIS. Semua pejabat Indonesia yang bertugas di daerah swapraja diganti oleh pejabat daerah swapraja yang bersangkutan. Segala perselisihan yang terjadi antara daerah bagian dan daerah swapraja diputus oleh Mahkamah Agung Federal.

Masa Demokrasi Liberal

Sama seperti Konstitusi RIS, dalam UUD Sementara hanya muncul istilah daerah swapraja. Namun pengaturannya yang berbeda dengan Konstitusi RIS. Dalam UUD ini daerah swapraja diatur dalam pasal 132-133.[43] Kedudukan daerah swapraja diatur dengan Undang-undang, dengan pengertian keinginan daerah swapraja akan dipertimbangkan oleh pemerintah.[44] Pemerintahan di daerah swapraja harus berdasarkan otonomi, permusyawaratan, dan perwakilan rakyat dalam kerangka negara kesatuan. Daerah swapraja dapat dihapus atas perintah Undang-undang. Perselisihan yang terjadi antara pemerintah mengenai undang-undang yang mengatur daerah swapraja dan peraturan pelaksanaannya diadili oleh pengadilan perdata. Semua pejabat daerah bagian RIS diganti dengan pejabat Indonesia.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 mengenai pokok-pokok pemerintahan daerah merupakan undang-undang yang disusun sebagai pelaksanaan UUD Sementara 1950 Pasal 131 dan 132.[45] Dalam undang-undang ini, syarat utama daerah istimewa adalah daerah yang berkedudukan sebagai daerah swapraja dan dengan mengingat pentingnya posisi daerah tersebut dalam kepentingan nasional dan perkembangan masyarakat.[46] Keistimewaannya tetap berada pada kepala daerahnya.[47].[48] Selain itu dapat pula diangkat wakil kepala daerah.[49] Penetapan daerah swapraja menjadi daerah istimewa sebenarnya pemberian bentuk baru kepada swapraja tersebut sekaligus merupakan penghapusan pemerintahan swapraja itu.[50]

Masa Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru

Setelah Dekret Presiden 5 Juli 1959, aturan mengenai daerah istimewa kembali mengikuti UUD 1945.

Berbeda dengan dua undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya, Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 mengenai pokok-pokok pemerintahan daerah, merupakan titik balik bagi daerah istimewa.[51] Semua daerah swaparaja yang masih ada dihapus.[52] Hanya Aceh dan Yogyakarta yang diakui sebagai daerah istimewa, itupun hanya sampai waktu tertentu.[53] Daerah istimewa tidak diatur dalam bab khusus namun hanya ditempatkan pada aturan peralihan. Pemerintah mendesain untuk menghapuskan daerah istimewa secara pelan namun pasti.[54] Dengan demikian akhirnya semua daerah di Indonesia sama kedudukannya dan hanya ada satu daerah khusus, Jakarta.[55]

Kebijakan pemerintah Orde Baru meneruskan kebijakan dari Orde lama. Hanya Daerah Istimewa Yogyakarta yang disebutkan secara tegas dalam aturan peralihan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974.[56] Nama Aceh sebagai daerah istimewa tidak satupun disebut dalam undang-undang tersebut. Alih-alih DKI Jakarta diberi jaminan untuk diatur dengan undang-undang tersendiri.[57]

Masa Reformasi

Setelah reformasi, penyelenggaraan pemerintahan di semua daerah diberlakukan sama, tidak terkecuali Aceh dan Yogyakarta.[58] Jaminan keistimewaan hanya diletakkan pada penjelasan sehingga kedudukannya tidak sekuat jaminan di dalam pasal-pasal.[59] Hanya DKI Jakarta yang diberi kekhususan sebagai Ibu kota Negara.[60] Selain itu Provinsi Timor Timur juga akan diberi otonomi khusus sebagai opsi untuk mencegah separatisme di daerah bekas koloni Portugis itu.[61].[62] Di sisi lain muncul konsep baru bahwa yang dimaksud daerah istimewa adalah desa, bukan zelfbestuur.[63]

UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh merupakan undang-undang pertama yang khusus mengatur Aceh. Undang-undang ini termasuk undang-undang pendek, sebab hanya terdiri dari 13 pasal. Dalam undang-undang ini keistimewaan Aceh didefinisikan sebagai kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.[64] Keistimewaan [Aceh] merupakan pengakuan dari bangsa Indonesia yang diberikan kepada Aceh karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun-temurun sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan.[65]

Adapun penyelenggaraan keistimewaan meliputi penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh.[66] Aceh diberi kewenangan untuk mengembangkan dan mengatur keistimewaan yang dimiliki dengan Peraturan Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[67]

Pada tahun 2000, melalui Perubahan Kedua UUD, pasal 18 asli diamendemen menjadi pasal 18, 18A, dan 18B. Pengaturan daerah istimewa ditempatkan dalam pasal 18B ayat (1).[68] Istilah yang digunakan juga berbeda menjadi “satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa”. Pengaturannya didasarkan pada undang-undang, tanpa merinci syarat suatu daerah istimewa. Selain itu dalam pasal ini dibedakan antara “satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa” dan “satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus”.[69]

Pasca perubahan UUD 1945, daerah istimewa tidak sendiri lagi dengan adanya daerah khusus.[70] Walaupun demikian, daerah istimewa hanya diterjemahkan sebagai Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta.[71] Sebagaimana undang-undang pemerintahan daerah semenjak 1965, undang-undang ini pun daerah istimewa hanya diatur dalam bab xiv ketentuan lain-lain pasal 225-227. Undang-undang ini mensyaratkan daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus harus diatur dengan undang-undang tersendiri.[72] Semua ketentuan dalam undang-undang ini, sepanjang tidak diatur dalam undang-undang tersendiri, berlaku juga bagi daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus.[73] Dari semua daerah istimewa dan daerah khusus hanya Aceh, DKI Jakarta, dan Papua yang memiliki UU tersendiri.[74] Sementara itu Yogyakarta yang tidak diatur dengan UU tersendiri, harus tunduk pada semua pengaturan undang-undang ini.[75]

UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan perpaduan harmonis antara UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh. Undang undang ini termasuk undang-undang yang panjang sebab memiliki 273 pasal. Dalam UU ini, tidak ada definisi baru mengenai keistimewaan Aceh. Namun langsung kepada urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh.[76] Selain itu keistimewaan Aceh juga dinikmati oleh Kabupaten dan Kota di lingkungan Aceh.[77]

UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan undang-undang keistimewaan Yogyakarta. Keistimewaan Yogyakarta didefinisikan sebagai keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Kewenangan Istimewa merupakan wewenang tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah. Sebagaimana DKI Jakarta, kewenangan istimewa DIY terletak pada level provinsi.[78] DIY diberikan kewenangan untuk mengatur urusan keistimewaan dengan Perdais (Peraturan Daerah Istimewa).[79]

Bekas

Berau

Daerah Istimewa Berau (1953-1959) adalah daerah istimewa setingkat kabupaten di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan. Daerah Istimewa Berau dibentuk oleh negara Indonesia dengan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan karena hak asal usul yang dimilikinya. Daerah Istimewa Berau terdiri atas swapraja Sambaliung dan swapraja Gunung Tabur. Keistimewaan Daerah Istimewa Berau meliputi pengangkatan Kepala Daerah Istimewa. Kepala Daerah Istimewa Berau dijabat oleh Sultan Muhammad Amminuddin. Daerah Istimewa Berau dihapus dengan UU 27/1959 tentang Penetapan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan. Daerahnya dijadikan Kabupaten Berau di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan Timur. Daerah istimewa ini merupakan daerah istimewa dengan wilayah terkecil sepanjang sejarah.

Bulongan (1953-1959)

Daerah Istimewa Bulongan adalah daerah istimewa setingkat kabupaten di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan. Daerah Istimewa Bulongan dibentuk oleh negara Indonesia dengan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan karena hak asal usul yang dimilikinya. Daerah Istimewa Bulongan terdiri atas swapraja Bulongan. Keistimewaan Daerah Istimewa Bulongan meliputi pengangkatan Kepala Daerah Istimewa. Kepala Daerah Istimewa Bulongan dijabat oleh Sultan Maulana Muhammad Jalaluddin, sampai mangkat dia pada 1958. Daerah Istimewa Bulongan dihapus dengan UU 27/1959 tentang Penetapan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan. Daerahnya dijadikan Kabupaten Bulongan di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan Timur. Kini wilayah bekas Daerah Istimewa Bulongan, yang meliputi kabupaten-kabupaten Bulungan, Malinau, Nunukan, Tana Tidung, dan Kota Tarakan, menjadi satu provinsi, Provinsi Kalimantan Utara pada 17 November 2012, terpisah dari Provinsi Kalimantan Timur.

Kalimantan Barat (1946-1950)

Daerah Istimewa Kalimantan Barat adalah satuan kenegaraan yang tegak sendiri dalam lingkungan Republik Indonesia Serikat yang berkedudukan sebagai daerah istimewa. Daerah Istimewa Kalimantan Barat dibentuk oleh Pemerintah Sipil Hindia Belanda pada 28 Oktober 1946 sebagai Dewan Borneo Barat dan mendapat kedudukan sebagai Daerah Istimewa pada 12 Mei 1947[80] Daerah Istimewa Kalimantan Barat meliputi Swapraja Sambas, Swapraja Pontianak, Swapraja Mampawah, Swapraja Landak, Swapraja Kubu, Swapraja Matan, Swapraja Sukadana, Swapraja Simpang, Swapraja Sanggau, Swapraja Tayan, Swapraja Sintamg, Neo-swapraja Meliau, Neo-swapraja Pinoh, dan Neo-swapraja Kapuas Hulu.[81] Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat adalah Sultan Swapraja Pontianak, Sultan Hamid II.[80] Sebelum 5 April 1950 Satuan Kenegaraan Yang Tegak Sendiri Daerah Istimewa Kalimantan Barat bergabung dengan Negara Bagian Republik Indonesia (RI-Yogyakarta).[82] Daerahnya kemudian menjadi bagian dari Provinsi Administratif Kalimantan.[83] Kini wilayah Daerah Istimewa Kalimantan Barat menjadi Provinsi Kalimantan Barat yang telah dibentuk pada tahun 1956.[84]

Kutai (1953-1959)

Daerah Istimewa Kutai adalah daerah istimewa setingkat kabupaten di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan. Daerah Istimewa Kutai dibentuk oleh negara Indonesia dengan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan karena hak asal usul yang dimilikinya. Daerah Istimewa Kutai terdiri atas swapraja Kutai. Keistimewaan Daerah Istimewa Kutai meliputi pengangkatan Kepala Daerah Istimewa. Kepala Daerah Istimewa Kutai dijabat oleh Sultan A.M. Parikesit. Daerah Istimewa Kutai dihapus dengan UU 27/1959 tentang Penetapan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan. Daerahnya dijadikan Kabupaten Kutai, Kota Balikpapan, dan Kota Samarinda di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan Timur. Kini wilayah bekas Daerah Istimewa Kutai meliputi Kabupaten Kutai Kertanegara, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, Kota Balikpapan, Kota Samarinda, dan Kota Bontang di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan Timur.[85]

Surakarta (1945-1946)

Daerah Istimewa Surakarta adalah Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran yang diakui Negara Indonesia sebagai daerah yang memiliki sifat istimewa berdasarkan kedudukan kedua daerah tersebut sebagai Kooti. Pengakuan ini didasarkan atas Piagam Penetapan Presiden RI tertanggal 19 Agustus 1945. Karena perselisihan kedua kerajaan yang ada, Kepala Daerah Istimewa dipegang oleh Komisaris Tinggi yang dijabat oleh Gubernur RP Suroso.[86].[87], yang kemudian Gubernur Suryo.[88].[89] Karena berbagai alasan, baik persaingan dua kerajaan, politik, keamanan, Pemerintah Pusat mengeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD/1946 pada 15 Juli 1946, yang pada pokoknya berisi mengenai bentuk dan susunan pemerintahan di Surakarta dan Yogyakarta, yang satu di antaranya menjadikan Daerah Istimewa Surakarta sebagai Keresidenan Surakarta di bawah Pemerintah Pusat.[90] Kini wilayah eks-Keresidenan Surakarta, yang meliputi Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sragen, Kabupaten Karanganyar, dan Kabupaten Wonogiri, serta Kota Surakarta, menjadi bagian Provinsi Jawa Tengah, yang dibentuk pada 1950, dan sering disebut sebagai Solo Raya.[91] Beberapa wacana untuk mengembalikan Daerah Istimewa Surakarta atau Provinsi Surakarta sebagai pemekaran dari Provinsi Jawa Tengah tidak pernah terealisasikan.

Proposal

Daerah Istimewa Minangkabau

Wacana untuk menjadikan provinsi Sumatera Barat sebagai Daerah Istimewa telah digulirkan sejak tahun 2014 oleh sejumlah tokoh Minang, hal ini didorong oleh fakta bahwa Provinsi Sumatera Barat memiliki keunikan dalam hal kepemerintahan daerah; berbeda dengan provinsi lainnya di Indonesia yang menggunakan sistem pemerintahan desa, di Sumatera Barat berlaku sistem pemerintahan nagari, dengan sistem administratif dan kepemimpinan yang berbeda pula. Selain itu, statusnya sebagai satu-satunya provinsi yang memakai sistem kekerabatan matrilineal dan adat berlandaskan Islam juga dipertimbangkan. Wacana ini masih menjadi perdebatan, terutama karena penamaannya yang bersifat etnis, bukannya administratif, terkait dengan status Mentawai yang secara administratif termasuk wilayah Sumatera Barat, tetapi secara etnis bukanlah bagian dari Minangkabau.[92][93][94][95]

Bali

Provinsi Bali telah berjuang sejak lama memperoleh status Daerah Istimewa. Ada beberapa faktor yang mendorong wacana ini; Pertama, karakteristik daerah yang menjadi satu kesatuan agama, geografis, budaya, ekonomi dan sosial. Kedua, pengembangan wisata alam dan budaya dijiwai agama Hindu. Ketiga, hampir semua aspek kehidupannya, baik sistem sosial dan ekonomi dilandasi agama Hindu, demikian pula dengan hukum adat yang disebut awig-awig, wajib dipegang teguh oleh masyarakat di dalam desa adat. Namun, pada Februari 2019, Kementerian Dalam Negeri menolak usulan Daerah Istimewa ini.[96][97]

Catatan dan referensi

Lihat juga

Sumber