Dampak pandemi COVID-19 terhadap lingkungan

Kekacauan akibat pandemi COVID-19 memengaruhi lingkungan hidup dan iklim. Berkurangnya aktivitas modern manusia, seperti pergerakan kendaraan bermotor, menyebabkan tingkat pencemaran udara dan air di berbagai daerah mengalami penurunan.[2] Di Tiongkok, karantina wilayah dan beberapa faktor lainnya telah mengakibatkan turunnya emisi karbon sebesar 25 persen[3] dan emisi nitrogen oksida sebesar 50 persen.[4] Ilmuwan memperkirakan bahwa penurunan emisi tersebut telah menyelamatkan 77.000 kehidupan di Bumi dalam kurun waktu dua bulan.[5] Meskipun demikian, pandemi juga berpengaruh pada aktivitas ilegal seperti penebangan hutan hujan Amazon[6] dan perburuan liar di Afrika,[7] mempersulit upaya diplomasi kebijakan lingkungan,[8] dan menyebabkan melemahnya ekonomi yang bisa jadi memperlambat perkembangan energi ramah lingkungan.[9]

Gambar dari NASA Earth Observatory menunjukkan penurunan tajam pada tingkat pencemaran di Wuhan. Gambar atas merupakan tingkat NO2 yang tercatat pada awal 2019, sementara gambar bawah merupakan data dari awal tahun 2020.[1]

Latar belakang

Hingga 2020, peningkatan jumlah gas rumah kaca yang dihasilkan sejak awal era industrialisasi telah menyebabkan temperatur rata-rata global meningkat.[10] Hal ini menyebabkan dampak lain, seperti melelehnya gletser dan kenaikan muka air laut.[11] Sebelum terjadinya pandemi COVID-19, peneliti berpendapat bahwa pengurangan aktivitas ekonomi dapat membantu menurunkan tingkat pencemaran udara, laut, dan laju pemanasan global.[12]

Kualitas udara

Data dari TROPOMI menunjukkan tingkat NO2 di Tiongkok sejak awal tahun 2020. Gambar ini diakses dari situs web NASA Earth Observatory.

Akibat dampak pandemi terhadap perjalanan dan sektor industri, banyak daerah di Bumi mengalami penurunan tingkat pencemaran udara.[13] Penurunan tingkat pencemaran udara dapat pula mengurangi laju perubahan iklim dan risiko COVID-19.[14] Centre for Research on Energy and Clean Air melaporkan bahwa metode-metode pencegahan penyebaran SARS-CoV-2, seperti karantina dan pembatasan perjalanan, menyebabkan turunnya tingkat emisi karbon di Tiongkok sebesar 25 persen.[3] Satu bulan pertama diterapkannya karantina wilayah, Tiongkok memproduksi karbon dioksida 200 juta metrik ton lebih sedikit dibandingkan periode yang sama pada tahun 2019. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya lalu lintas udara, konsumsi minyak, dan konsumsi batu bara.[5] Seorang ilmuwan sistem Bumi memperkirakan bahwa penurunan-penurunan ini menyelamatkan setidaknya 77.000 kehidupan di Bumi.[5] Meskipun demikian, Sarah Ladislaw dari Center for Strategic & International Studies berpendapat bahwa penurunan emisi akibat pelemahan ekonomi tidak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang menguntungkan. Ia merujuk pada upaya Tiongkok untuk kembali ke kondisi ekonomi semula hingga memperburuk dampak lingkungan.[15]

Berkurangnya lalu lintas kendaraan bermotor telah menyebabkan turunnya tingkat pencemaran udara. Gambar ini merupakan sebuah jalan di Slovenia yang kosong pada 22 Maret 2020

Antara 1 Januari dan 11 Maret 2020, European Space Agency mengamati penurunan emisi dinitrogen monokasida dari mobil, pembangkit listrik, dan pabrik di daerah Po Valley, Italia bagian utara, bersamaan dengan diberlakukannya karantina wilayah di daerah itu.[16] Di daerah utara India, seperti Jalandhar, dapat melihat Pegunungan Himalaya untuk pertama kalinya sejak beberapa dekade terakhir. Peristiwa ini merupakan pertanda turunnya pencemaran udara.[17]

Perubahan emisi NOx di Tiongkok TImur[4]

NASA dan ESA telah memantau bagaimana tingkat gas nitrogen oksida di atmosfer turun secara signifikan saat fase pertama pandemi COVID-19. Perlambatan ekonomi akibat virus menurunkan tingkat pencemaran di kota-kota seperti Wuhan, Tiongkok hingga 25-40%.[4][18][19] Menurut ilmuwan NASA, penurunan tingkat pencemaran NO2 pertama kali teramati di Wuhan dan perlahan terjadi pula di seluruh dunia. Penurunan yang terjadi juga cukup signifikan karena kemunculan virus bersamaan dengan perayaan Tahun Baru Imlek di Tiongkok.[4] Penurunan tingkat NO2 di Tiongkok tidak menyebabkan udara di sana dikategorikan sebagai sehat. Polutan lain di udara, seperti emisi aerosol, tetap ada.[20]

Kualitas air

Hutan di Peru mengalami 14 peristiwa kebocoran minyak sejak awal pandemi hingga awal Oktober 2020. Delapan di antaranya merupakan kebocoran di salh satu fasilitas milik Frontera Energy del Perú S.A. yang tidak beroperasi sejak awal pandemi dan tidak melakukan perawatan terhadap sumur-sumur dan sistem pipanya. Oli yang bocor kemudian meresap ke dalam tanah dan mencemari air minum yang digunakan oleh warga teritorial Quichua.[21]

Di Venesia, setelah karantina wilayah mulai diberlakukan pada Maret dan April, aliran air di kanal-kanal menjadi lebih jernih dan lancar.[22] Pada situasi normal, sedimen yang ada di kanal terganggu oleh aktivitas perahu. Saat pandemi, berkurangnya lalu lintas di kanal menyebabkan sedimen mengendap dan tidak larut dengan air.[23]

Penebangan dan reboisasi hutan

Kekacauan akibat pandemi menyebabkan berkurangnya perhatian terhadap kasus pembalakan liar. Peristiwa seperti ini terjadi di di Brasil, ketika citra satelit menampilkan peningkatan laju pengurangan lahan hutan sebesar 50% dibandingkan normalnya.[6] Di Pakistan, pengangguran yang terjadi akibat pandemi COVID-19 mendukung Pakistan untuk merekrut pekerja baru untuk program 10 Billion Tree Tsunami–program menanam 10 miliar pohon selama 5 tahun.[24]

Emisi karbon

Persen perubahan emisi CO₂ harian global selama pandemi COVID-19.
Dampak pandemi COVID-19 terhadap emisi CO₂ harian global dan di 11 negara[25]

Sebuah penelitian yang dipublikasikan pada Mei 2020 menemukan bahwa emisi karbon global harian selama diberlakukannya karantina wilayah mengalami penurunan sebesar 17% dan dapat turut menyebabkan emisi karbon tahunan untuk turun sebesar 7%. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa penurunan aktivitas industri dan kegiatan transportasi merupakan penyebab utama menurunnya emisi karbon.[26] Meskipun demikian, efek ini secara perlahan akan hilang seiring dengan dimulainya kembali aktivitas industri secara terbatas.[27] Terlepas dari itu, perubahan kegiatan selama pandemi COVID-19, seperti kerja jarak jauh dan penggunaan teknologi pertemuan virtual, mungkin bisa memberikan dampak jangka panjang yang lebih baik dibandingkan penurunan kegiatan transportasi selama pandemi.[28] Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan pada September 2020, ilmuwan memprediksi bahwa perubahan perilaku selama pandemi dapat mengurangi emisi CO₂ sebesar 15% secara permanen.[29]

Terlepas dari dampak emisi karbon di atas, konsentrasi karbon dioksida di atmosfer pada Mei 2020 justru tercatat pada level tertinggi sepanjang sejarah.[30] Pakar energi dan iklim, Constantine Samaras, menyatakan bahwa "pandemi adalah cara terburuk untuk mengurangi emisi" dan "perubahan teknologi, perilaku, dan struktural adalah cara terbaiik dan satu-satunya untuk mengurangi emisi".[30] Zhu Liu dari Universitas Tsinghua mengatakan bahwa "apabila kita dapat mengurangi emisi lebih lama dari yang saat ini terjadi, kita akan dapat melihat penurunan konsentrasinya di atmosfer".[30]

Kegiatan bersepeda

Selama pandemi, banyak orang mulai bersepeda[31] dan mengakibatkan permintaan sepeda naik drastis.[32] Beberapa kota mulai menerapkan lajur sepeda semipermanen untuk mengakomodasi orang-orang yang berpindah dari sepeda ke transportasi umum atau sebaliknya.[33] Di Berlin, terdapat beberapa usulan untuk mengubah lajur sepeda semipermanen menjadi lajur sepeda permanen.[34]

Dampak terhadap pemantauan dan prediksi lingkungan

Prakiraan cuaca

European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF) mengumumkan bahwa penurunan jumlah penerbangan saat pandemi dapat mempengaruhi akurasi prakiraan cuaca di dunia. Hal ini merujuk pada penggunaan data dari pesawat komersial melalui Aircraft Meteorological Data Relay (AMDAR) sebagai salah satu sumber data dalam prakiraan cuaca. ECMWF memprediksi bahwa cakupan AMDAR dapat mengalami penurunan sebsar 65% akibat penurunan jumlah penerbangan komersial.[35]

Berkurangnya getaran seismik

Sesimologis telah melaporkan berkurangnya getaran sesmik frekuensi tinggi global sebesar 50% saat diberlakukannya perintah karantina selama pandemi COVID-19.[36] Penelitian ini menyebutkan bahwa penurunan getaran seismik merupakan akibat dari kombinasi beberapa faktor seperti berkurangnya aktivitas lalu lintas, industri, dan ekonomi kelas bawah. Penurunan getaran seismik teramati di stasiun pengamatan dan sensor bawah tanah yang dipasang beberapa ratus meter di bawah tanah. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa penurunan tingkat getaran seismik memungkinan lebih akuratnya pengamatan dan deteksi sumber seismik alami, seperti gempa bumi dan aktivitas vulkanik.

Lihat pula

Referensi