Mental kepiting

Mental kepiting atau yang lebih dikenal dengan istilah crab mentality adalah sikap iri yang dimiliki oleh seseorang yang mendorongnya untuk melakukan segala cara agar ia lebih unggul dari orang lain. Mental kepiting memiliki banyak istilah dalam dunia psikologi antara lain mental kepiting, teori kepiting, mental kepiting di dalam ember, kepiting dalam sindrom Barrel dan pengaruh kepiting di ember. Mental kepiting berasal dari ilustrasi karakter hewan kepiting yang mana ketika berada dalam satu wadah, kepiting akan menaiki badan kepiting lain untuk keluar dari wadah tersebut. Tujuan dari kepiting adalah untuk menyelamatkan rekannya dari ancaman predator atau malah menyelamatkan dirinya sendiri. Namun, sikap tersebut jika diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari manusia, maka akan cenderung negatif. Pasalnya, sikap mental kepiting dalam diri manusia diartikan sebagai sikap iri terhadap pencapaian seseorang, sehingga mereka berusaha untuk menghalangi seseorang yang ingin meraih kesuksesan.[1]

Kepiting hidup di ember

Dalam ilmu psikologi, mental kepiting adalah metafora yang digunakan untuk menggambarkan mentalitas dan perilaku individu yang tergabung atau teridentifikasi dengan komunitas atau budaya tertentu, yang 'menahan satu sama lain' dari berbagai peluang untuk kemajuan dan pencapaian meskipun ada insentif dan harapan untuk kolaborasi.[2] Mental kepiting juga diartikan sebagai pola perilaku ketika orang berusaha untuk menjatuhkan orang lain yang performanya lebih baik daripada mereka. Mentalitas kepiting dapat terjadi ketika lingkungan seseorang tidak mendukung untuk berkembang, baik dalam bentuk menjatuhkan orang lain melalui meremehkannya, mengkritik di publik, dan memanipulasi.[3]

Ciri-ciri

Mental kepiting biasanya dimulai karena jiwa kompetitif dari seseorang. Namun, jika jiwa kompetitif ini terlalu berlebihan, justru menimbulkan sikap egoisme untuk dapat menang sendiri. Konsep psikologi bagi fenomena mental kepiting adalah bentuk tindakan berdasarkan mental atau pemikiran bahwa jika saya tidak dapat memilikinya, anda juga tidak. Fenomena mental kepiting memiliki ciri-ciri yang dapat dilihat dari karakter seseorang.[4][5] Di antara ciri-ciri tersebut adalah:

  1. Iri ketika melihat orang lain sukses atau mencapai cita-citanya.
  2. Punya anggapan negatif ketika seseorang berhasil meraih kesuksesan.
  3. Jiwa kompetitif yang berlebihan akan menimbulkan sikap-sikap menjatuhkan.
  4. Punya pola pikir bahwa ‘jika saya tidak bisa, maka seharusnya Anda juga tidak’.
  5. Beranggapan bahwa keberhasilan yang diraih oleh seseorang didapat karena sebuah keberuntungan atau previlese, bukan karena usahanya sendiri.
  6. Meremehkan usaha orang lain dalam mencapai kesuksesan

Faktor

Di antara faktor munculnya mental kepiting adalah ketergantungan manusia dalam hidup berkelompok, rasa percaya diri yang rendah atau perasaan tidak mampu, sifat kompetitif berlebihan, dan perasaan iri atas pencapaian orang lain.[6] Faktor internal lain juga di antaranya yaitu egosentrisme, ketidakadilan, kurangnya kompetensi, ambisi, ketidakbahagiaan, kurangnya komunikasi, ketidakpedulian, gangguan kepribadian, tingkat pendidikan yang tidak memadai, kurangnya empati dan ketidakpuasan. Faktor budaya atau lingkungan juga sangat mempengaruhi munculnya mental kepiting, misalnya orang tua yang selalu membandingkan anak mereka dengan orang lain. Hal ini akan menimbulkan persaingan antara saudara kandung, sepupu, dan lain-lain.[7] Selain itu, alasan terpenting fenomena kepiting dalam ember atau mental kepiting dialami dalam masyarakat dan organisasi adalah legitimasi individualisme dan budaya persaingan di dunia yang didominasi oleh kapitalisme. Dalam dunia yang mengglobal, persaingan dipandang sebagai komponen penting dari kemajuan dan kreativitas, dan hal tersebut dipertahankan secara luas oleh massa.[4]

Mitigasi

Mental kepiting merupakan perilaku seseorang yang ingin mematahkan semangat orang lain dalam menggapai kesuksesan. Pada era yang terus berkembang seperti saat ini, mental kepiting umum terjadi di tempat kerja dengan lingkungan kerja yang cenderung kompetitif. Mental kepiting juga dapat ditemukan di berbagai segmen masyarakat, organisasi, bahkan di ranah politik sekali pun. Hal ini terjadi karena adanya persaingan secara besar yang membuat seseorang dengan mental kepiting merasa "terancam". Mentalitas kepiting juga berdampak terhadap kesehatan mental seperti tidak menghargai diri sendiri, terlalu berlebihan dalam bekerja, menganggap harga diri dan kepercayaan diri yang rendah, muncul gangguan emosi, kecemasan, dan ketakutan akan kegagalan. Selain itu mentalitas kepiting juga dapat memunculkan kebutuhan untuk bersaing dengan orang lain dan terus-menerus dibandingkan, akan sulit untuk membangun hubungan dengan orang lain dan merayakan keberhasilan mereka.[5] Adapun cara untuk mengatasi mental kepiting di dalam diri sendiri di antaranya selalu optimis, tak berhenti mengembangkan nilai diri sendiri, belajar dari kesalahan saat meraih kegagalan, dan intropeksi diri setiap menyelesaikan sesuatu, dan berpemikiran terbuka ketika mendapat kritik dan koreksi dari orang lain.[8] Dalam ruang lingkup yang lain, ternyata mental kepiting tidak hanya berpengaruh pada dunia kerja dan lingkungan sehari-hari, tapi juga berpengaruh terhadap kegiatan belajar mengajar. Fenomena "kepiting dalam ember", yang pertama digunakan dan dijadikan konsep oleh Daniel L. Duke dalam organisasi pendidikan, dianggap sebagai batu sandungan di depan para guru. Duke (1994) menekankan bahwa guru harus meninggalkan budaya mental kepiting untuk melampaui peran pemimpin yang telah ditentukan sebelumnya dari parameter kepemimpinan guru. Menurutnya, beberapa sekolah bertindak dengan budaya mental kepiting dan secara aktif menolak upaya anggota mereka. Hal ini berdampak kepada para siswa karena hadirnya pola perbandingan pencapaian antar siswa. Hal tersebut membuat atmosfer belajar yang seharusnya dinamis menjadi kaku.[9]

Referensi

Bacaan lebih lanjut