Pembantaian di Indonesia 1965–1966

pembantaian terhadap kaum komunis di Indonesia setelah peristiwa Gerakan 30 September

Pembantaian di Indonesia 1965–1966 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh sebagai pendukung komunisme di Indonesia setelah kegagalan usaha kudeta Gerakan 30 September (G30S/PKI).[12][13][14] Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa setidaknya setengah juta orang dibantai.[1][15][16][17] Suatu komando keamanan angkatan bersenjata memperkirakan antara 450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai.[14]

Pembantaian di Indonesia 1965–1966
Bagian dari Perang Dingin dan Transisi ke Orde Baru
Buku anti-PKI
LokasiIndonesia
Tanggal1965–1966
SasaranAnggota dan simpatisan PKI, anggota Gerwani, Abangan Jawa,[1] atheis, "kafir" dan "Orang Indonesia keturunan Tionghoa"[2]
Jenis serangan
Politisida, pembunuhan massal, genosida[2]
Korban tewas
500.000[3]:3 sampai 1.000.000[3]:3[4][5][6]
PelakuTNI AD dan berbagai macam pasukan bunuh diri, yang difasilitasi dan digiatkan oleh Amerika Serikat dan negara Barat lainnya[7][8][9][10][11]

Latar belakang

Partai Komunis Indonesia (PKI) pernah menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia.[18] Kadernya berjumlah sekitar 300.000, sementara anggotanya diperkirakan sebanyak dua juta orang.[19] Selain itu PKI juga mengatur serikat-serikat buruh.

Dukungan terhadap kepresidenan Soekarno bergantung pada koalisi "Nasakom" antara militer, kelompok agama, dan komunis. Perkembangan pengaruh dan kemilitanan PKI, serta dukungan Soekarno terhadap partai tersebut, menumbuhkan kekhawatiran pada kelompok muslim dan militer. Ketegangan mulai menyelimuti perpolitikan Indonesia pada awal dan pertengahan tahun 1960-an.[20] Upaya PKI untuk mempercepat reformasi tanah menggusarkan tuan-tuan tanah dan mengancam posisi sosial para kyai.[21]

Pada tanggal 1 Oktober 1965, enam Jendral (tiga di antaranya dalam proses penjemputan paksa pada pagi hari, sedangkan tiga sisanya dan satu orang perwira menengah pada sore hari) dibunuh oleh kelompok yang menyebut diri mereka sebagai Dewan Revolusi --- namun Soeharto menamai gerakan Dewan Revolusi tersebut sebagai Gerakan 30 September, walau fakta sejarahnya aksi penjemputan paksa dilakukan pada jam empat pagi tanggal 1 Oktober 1965, untuk mendekatkan penyebutan Gestapu dengan sebutan Gestapo (Polisi Rahasia Nazi Jerman yang dikenal bengis dan kejam). Maka pemimpin-pemimpin utama militer Indonesia tewas atau hilang, sehingga Soeharto mengambil alih kekuasaan angkatan bersenjata (yang dilakukan atas inisiatif sendiri tanpa berkoordinasi dengan Presiden Soekarno selaku pemangku jabatan Panglima Tertinggi menurut Undang-Undang dalam struktur komando di tubuh APRI). Pada 2 Oktober, ia mengendalikan ibu kota dan mengumumkan bahwa upaya kudeta telah gagal. Angkatan bersenjata menuduh PKI sebagai dalang peristiwa tersebut.[22] Pada tanggal 5 Oktober, jenderal-jenderal yang tewas dimakamkan. Propaganda militer mulai disebarkan, dan menyerukan pembersihan di seluruh negeri. Propaganda ini berhasil meyakinkan orang-orang Indonesia dan pemerhati internasional bahwa dalang dari semua peristiwa ini adalah PKI.[22] Penyangkalan PKI sama sekali tidak berpengaruh.[23] Maka ketegangan dan kebencian yang terpendam selama bertahun-tahun pun meledak.[24]

Pembersihan politik

Pemimpin-pemimpin militer yang diduga sebagai simpatisan PKI dicabut jabatannya.[25] Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Kabinet 100 Menteri dibersihkan dari pendukung-pendukung Soekarno. Pemimpin-pemimpin PKI segera ditangkap, bahkan beberapa dibunuh pada saat penangkapan, sisanya dihukum mati melalui proses persidangan pura-pura untuk konsumsi HAM Internasional.[22] Petinggi angkatan bersenjata menyelenggarakan demonstrasi di Jakarta.[22] Pada tanggal 8 Oktober, markas PKI Jakarta dibakar.[26][27] Kelompok pemuda anti-komunis dibentuk, contohnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI).[23] Di Jakarta dan Jawa Barat, lebih dari 10.000 aktivis dan petinggi PKI ditangkap, salah satunya Pramoedya Ananta Toer.[23]

Pembantaian

Pembersihan dimulai pada Oktober 1965 di Jakarta, yang selanjutnya menyebar ke Jawa Tengah dan Timur, dan Bali. Pembantaian dalam skala kecil dilancarkan di sebagian daerah di pulau-pulau lainnya,[28] terutama Sumatra. Pembantaian terburuk meletus di Jawa Tengah dan Timur.[24][27] Korban jiwa juga dilaporkan berjatuhan di Sumatra utara dan Bali.[24] Petinggi-petinggi PKI diburu dan ditangkap: petinggi PKI, Njoto, ditembak pada tanggal 6 November, ketua PKI Dipa Nusantara Aidit pada 22 November, dan Wakil Ketua PKI M.H. Lukman segera sesudahnya.[12][26]

Kebencian terhadap komunis dikobarkan oleh angkatan darat, sehingga banyak penduduk Indonesia yang ikut serta dalam pembantaian ini.[29] Peran angkatan darat dalam peristiwa ini tidak pernah diterangkan secara jelas.[30] Di beberapa tempat, angkatan bersenjata melatih dan menyediakan senjata kepada milisi-milisi lokal.[28] Di tempat lain, para vigilante mendahului angkatan bersenjata, meskipun pada umumnya pembantaian tidak berlangsung sebelum tentara mengenakan sanksi kekerasan.[31][32]

Di beberapa tempat, milisi tahu tempat bermukimnya komunis dan simpatisannya, sementara di tempat lain tentara meminta daftar tokoh komunis dari kepala desa.[33] Keanggotaan PKI tidak disembunyikan dan mereka mudah ditemukan dalam masyarakat.[34] Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta menyediakan daftar 5.000 orang yang diduga komunis kepada angkatan bersenjata Indonesia.[35][36]

Beberapa cabang PKI melancarkan perlawanan dan pembunuhan balasan, tetapi sebagian besar sama sekali tidak mampu melawan.[37][38] Tidak semua korban merupakan anggota PKI. Seringkali cap "PKI" diterapkan pada tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) yang beraliran kiri.[39] Dalam kasus-kasus lainnya, para korban merupakan orang-orang yang hanya dituduh atau diduga komunis.[23]

Warga keturunan Tionghoa juga turut menjadi korban. Beberapa dari mereka dibunuh, dan harta benda mereka dijarah.[39] Di Kalimantan Barat, sekitar delapan belas bulan setelah pembantaian di Jawa, orang-orang Dayak mengusir 45.000 warga keturunan Tionghoa dari wilayah pedesaan. Ratusan hingga ribuan di antara mereka tewas dibantai.[30]

Metode pembantaian meliputi penembakan atau pemenggalan dengan menggunakan pedang Jepang. Mayat-mayat dilempar ke sungai, hingga pejabat-pejabat mengeluh karena sungai yang mengalir ke Surabaya tersumbat oleh jenazah. Di wilayah seperti Kediri, Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama menyuruh orang-orang komunis berbaris. Mereka lalu menggorok leher orang-orang tersebut, lalu jenazah korban dibuang ke sungai.[30][39] Pembantaian ini mengosongkan beberapa bagian desa, dan rumah-rumah korban dijarah atau diserahkan ke angkatan bersenjata.[39]

Pembantaian telah mereda pada Maret 1966, meskipun beberapa pembersihan kecil masih berlangsung hingga tahun 1969.[12][13][14] Penduduk Solo menyatakan bahwa meluapnya sungai Bengawan Solo yang tidak biasa pada Maret 1966 menandai berakhirnya pembantaian.[14]

Jawa

Di Jawa, banyak pembunuhan dilakukan oleh simpatisan aliran. Militer mendorong para santri Jawa untuk mencari anggota PKI di antara orang-orang abangan Jawa.[1] Pembunuhan meluas sampai pada orang-orang yang bukan anggota PKI. Di Jawa, contohnya, banyak orang yang dianggap "PNI kiri" dibunuh. Yang lainnya hanya dituduh[14] atau merupakan korban fitnah dengan sedikit atau tanpa motif politik.[1][14] Pada pertengahan Oktober, Soeharto mengirim sejumlah pasukan komando kepercayaannya ke Jawa tengah, daerah yang memiliki banyak orang komunis, sedangkan pasukan yang kesetiaannya tak jelas diperintahkan pergi dari sana.[23] Pembantaian terhadap orang komunis kemudian dilakukan oleh para pemuda, dengan dipandu oleh angkatan bersenjata, memburu orang-orang komunis.[40]

Konflik yang pernah pecah pada tahun 1963 antara partai Muslim Nahdlatul Ulama (NU) dan PKI berubah menjadi pembantaian pada minggu kedua Oktober.[23] Kelompok Muslim Muhammadiyah menyatakan pada awal November 1965 bahwa pembasmian "Gestapu/PKI" merupakan suatu Perang Suci. Pandangan tersebut didukung oleh kelompok-kelompok Islam lainnya di Jawa dan Sumatra. Bagi banyak pemuda, membunuh orang komunis merupakan suatu tugas keagamaan.[12][30] Di tempat-tempat adanya pusat komunis di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kelompok-kelompok Muslim menganggap bahwa mereka adalah korban serangan komunis supaya mereka memperoleh pembenaran atas pembantaian yang mereka lakukan. Mereka biasanya mengungkit-ungkit Peristiwa Madiun pada tahun 1948.[39] Para pelajar Katolik di daerah Yogyakarta meninggalkan asrama mereka pada malam hari untuk ikut membunuh orang-orang komunis yang tertangkap.[14]

Untuk sebagian besar daerah, pembantaian mereda pada bulan-bulan awal tahun 1966, namun di daerah-daerah tertentu di Jawa Timur pembantaian berlangsung sampai bertahun-tahun. Di Blitar, ada aksi gerilya yang dilakukan oleh anggota-anggota PKI yang selamat. Aksi tersebut berhasil diberantas pada 1967 dan 1968.[41] Mbah Suro, seorang pemimpin kelompok komunis yang bercampur mistisisme tradisional, bersama para pengikutnya membangun pasukan. Dia dan kedelapan puluh pengikutnya terbunuh dalam sebuah perang perlawanan menghadapi angkatan bersenjata Indonesia.[41]

Bali

Becermin dari melebarnya perbedaan sosial di seluruh Indonesia pada 1950-an dan awal 1960-an, di pulau Bali meletus konflik antara para pendukung sistem kasta tradisional Bali melawan orang-orang yang menolak nilai-nilai tradisional itu. Jabatan pemerintahan, uang dan keuntungan bisnis beralih pada orang-orang komunis pada tahun-tahun akhir masa kepresidenan Soekarno.[42] Sengketa atas tanah dan hak-hak penyewa berujung pada pengambilan lahan dan pembantaian, ketika PKI mempromosikan "aksi unilateral". Setelah Soeharto berkuasa di Jawa, gubernur-gubernur pilihan Soekarno dicopot dari jabatannya. Orang-orang komunis kemudian dituduh atas penghancuran budaya, agama, serta karakter pulau Bali. Rakyat Bali, seperti halnya rakyat Jawa, didorong untuk menghancurkan PKI.[43]

Sebagai satu-satunya pulau yang didominasi Hindu di Indonesia, Bali tidak memiliki kekuatan Islam yang terlibat di Jawa, dan tuan tanah PNI menghasut pembasmian anggota PKI.[1] Pendeta tinggi Hindu melakukan ritual persembahan untuk menenangkan para roh yang marah akibat pelanggaran yang kelewatan dan gangguan sosial.[14] Pemimpin Hindu Bali, Ida Bagus Oka, memberitahu umat Hindu: "Tidak ada keraguan [bahwa] musuh revolusi kita juga merupakan musuh terkejam dari agama, dan harus dimusnahkan dan dihancurkan sampai akar-akarnya."[44]

Seperti halnya sebagian Jawa Timur, Bali mengalami keadaan nyaris terjadi perang saudara ketika orang-orang komunis berkumpul kembali.[39] Keseimbangan kekuasaan beralih pada orang-orang Anti-komunis pada Desember 1965, ketika Angkatan Bersenjata Resimen Para-Komando dan unit Brawijaya tiba di Bali setelah melakukan pembantaian di Jawa. Komandan militer Jawa mengizinkan skuat Bali untuk membantai sampai dihentikan.[45][46] Berkebalikan dengan Jawa Tengah tempat angkatan bersenjata mendorong orang-orang untuk membantai "Gestapu", di Bali, keinginan untuk membantai justru sangat besar dan spontan setelah memperoleh persediaan logistik, sampai-sampai militer harus ikut campur untuk mencegah anarki.[47] Serangkaian pembantaian yang mirip dengan peristiwa di Jawa Tengah dan Jawa Timur dipimpin oleh para pemuda PNI berkaus hitam. Selama beberapa bulan, skuat maut milisi menyusuri desa-desa dan menangkap orang-orang yang diduga PKI.[39] Antara Desember 1965 dan awal 1966, diperkirakan 80,000 orang Bali dibantai, sekitar 5 persen dari populasi pulau Bali saat itu, dan lebih banyak dari daerah manapun di Indonesia.[15][48][49][50]

Sumatra

Tindakan PKI berupa gerakan penghuni liar dan kampanye melawan bisnis asing di perkebunan-perkebunan di Sumatra memicu aksi balasan yang cepat terhadap orang-orang komunis. Di Aceh sebanyak 40.000 orang dibantai, dari sekitar 200.000 korban jiwa di seluruh Sumatra.[22] Pemberontakan kedaerahan pada akhir 1950-an semakin memperumit peristiwa di Sumatra karena banyak mantan pemberontak yang dipaksa untuk berafiliasi dengan organisasi-organisasi komunis untuk membuktikan kesetiaan mereka kepada Republik Indonesia. Berhentinya pemberontakan tahun 1950-an dan pembantaian tahun 1965 oleh kebanyakan masyarakat Sumatra dipandang sebagai "pendudukan suku Jawa".[22] Di Lampung, faktor lain dalam pembantaian itu tampaknya adalah transmigrasi penduduk dari Jawa.[30]

Jumlah korban

Meskipun garis besar peristiwa diketahui, namun tidak banyak yang diketahui mengenai pembantaiannya,[28] dan jumlah pasti korban meninggal hampir tak mungkin diketahui.[51] Hanya ada sedikit wartawan dan akademisi Barat di Indonesia pada saat itu. Angkatan bersenjata merupakan satu dari sedikit sumber informasi, sementara rezim yang melakukan pembantaian berkuasa sampai tiga dasawarsa.[52] Media di Indonesia ketika itu dibatasi oleh larangan-larangan di bawah "Demokrasi Terpimpin" dan oleh "Orde Baru" yang mengambil alih pada Oktober 1966.[53] Karena pembantaian terjadi di puncak Perang Dingin, hanya sedikit penyelidikan internasional yang dilakukan, karena berisiko memperkusut prarasa Barat terhadap Soeharto dan "Orde Baru" atas PKI dan "Orde Lama".[54]

Dalam waktu 20 tahun pertama setelah pembantaian, muncul tiga puluh sembilan perkiraan serius mengenai jumlah korban.[47] Sebelum pembantaian selesai, angkatan bersenjata memperkirakan sekitar 78.500 telah meninggal[55] sedangkan menurut orang-orang komunis yang trauma, perkiraan awalnya mencapai 2 juta korban jiwa.[47] Di kemudian hari, angkatan bersenjata memperkirakan jumlah yang dibantai dapat mencapai sekitar 1 juta orang.[41] Pada 1966, Benedict Anderson memperkirakan jumlah korban meninggal sekitar 200.000 orang dan pada 1985 mengajukan perkiraan mulai dari 500,000 sampai 1 juta orang.[47] Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa setidaknya setengah juta orang dibantai,[1][15][16][56] lebih banyak dari peristiwa manapun dalam sejarah Indonesia.[1] Suatu komando keamanan angkatan bersenjata memperkirakan antara 450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai.[14]

Para korban dibunuh dengan cara ditembak, dipenggal, dicekik, atau digorok oleh angkatan bersenjata dan kelompok Islam. Pembantaian dilakukan dengan cara "tatap muka", tidak seperti proses pembantaian massal oleh Khmer Merah di Kamboja atau oleh Jerman Nazi di Eropa.[57]

Penahanan

Penangkapan dan penahanan berlanjut sampai sepuluh tahun setelah pembantaian.[1] Pada 1977, laporan Amnesty International menyatakan "sekitar satu juta" kader PKI dan orang-orang yang dituduh terlibat dalam PKI ditahan.[58] Antara 1981 dan 1990, pemerintah Indonesia memperkirakan antara 1.6 sampai 1.8 juta mantan tahanan ada di masyarakat.[59] Ada kemungkinan bahwa pada pertengahan tahun 1970-an, 100.000 masih ditahan tanpa adanya proses peradilan.[12][41] Diperkirakan sebanyak 1.5 juta orang ditahan pada satu waktu atau lainnya.[47][60][61] Orang-orang PKI yang tidak dibantai atau ditahan berusaha bersembunyi sedangkan yang lainnya mencoba menyembunyikan masa lalu mereka.[1] Mereka yang ditahan termasuk pula politisi, artis dan penulis misalnya Pramoedya Ananta Toer, serta petani dan tentara. Banyak yang tidak mampu bertahan pada periode pertama masa penahanan dan akhirnya meninggal akibat kekurangan gizi dan penganiayaan.[41] Ketika orang-orang mulai mengungkapkan nama-nama orang komunis bawah tanah, kadang kala di bawah siksaan, jumlah orang yang ditahan semakin meninggi pada 1966–68. Mereka yang dibebaskan sering kali masih harus menjalani tahanan rumah dan secara rutin mesti melapor ke militer. Mereka juga sering dilarang menjadi pegawai pemerintah, termasuk juga anak-anak mereka.[41]

Dampak

Tindakan Soekarno yang ingin menyeimbangkan nasionalisme, agama, dan komunisme melalui Nasakom telah usai. Pilar pendukung utamanya, PKI, telah secara efektif dimusnahkan oleh dua pilar lainnya-militer dan Islam politis; dan militer berada pada jalan menuju kekuasaan.[1][62] Banyak Muslim yang tak lagi memercayai Soekarno, dan pada awal 1966, Soeharto secara terbuka mulai menentang Soekarno, sebuah tindakan yang sebelumnya berusaha dihindari oleh para pemimpin militer. Soekarno berusaha untuk berpegang kepada kekuasaan dan mengurangi pengaruh baru dari angkatan bersenjata, namun dia tidak dapat membuat dirinya menyalahkan PKI atas usaha kudeta sesuai permintaan Soeharto.[63] Pada 1 Februari 1966, Soekarno menaikkan pangkat Soeharto menjadi Letnan Jenderal.[64] Dekret Supersemar pada 11 Maret 1966 mengalihkan sebagian besar kekuasaan Soekarno atas parlemen dan angkatan bersenjata kepada Soeharto,[65] memungkinkan Soeharto untuk melakukan apa saja untuk memulihkan ketertiban.

Surat Perintah 11 Maret itu mula-mula, dan memang sejurus waktu, membuat mereka bertampik sorak-sorai kesenangan. Dikiranya Surat Perintah 11 Maret adalah satu penyerahan pemerintahan! Dikiranya Surat Perintah 11 Maret itu satu transfer of authority. Padahal tidak! Surat Perintah 11 Maret adalah satu perintah pengamanan. Perintah pengamanan jalannya pemerintahan, pengamanan jalannya any pemerintahan, demikian kataku pada waktu melantik Kabinet. Kecuali itu juga perintah pengamanan keselamatan pribadi Presiden. Perintah pengamanan wibawa Presiden. Perintah pengamanan ajaran Presiden. Perintah pengamanan beberapa hal. Jenderal Soeharto telah mengerjakan perintah itu dengan baik. Dan saya mengucap terima kasih kepada Jenderal Soeharto akan hal itu. Perintah pengamanan, bukan penyerahan pemerintahan! Bukan transfer of authority!

— Soekarno, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, 17 Agustus 1966

Satu tahun setelah Supersemar, pada tanggal 12 Maret 1967 Soekarno dicopot dari sisa-sisa kekuasaannya oleh Parlemen sementara, dan Soeharto menjabat sebagai Presiden Sementara.[66] Pada 21 Maret 1968, Majelis Permusyawaratan Rakyat secara resmi memilih Soeharto sebagai presiden.[67]

The Year of Living Dangerously (1982), salah satu film asing yang dicekal di Indonesia pada era Orde Baru.

Pembantaian ini hampir tidak pernah disebutkan dalam buku sejarah Indonesia, dan hanya memperoleh sedikit perhatian dari rakyat Indonesia maupun warga internasional.[25][68][69] Akan tetapi, setelah Soeharto mundur pada 1998, dan meninggal pada tahun 2008, fakta-fakta mengenai apa yang sebenarnya terjadi dalam pembantaian ini mulai terbuka kepada masyarakat dalam tahun-tahun berikutnya.[38][70][71] Pencarian makam para korban oleh orang-orang yang selamat serta anggoa keluarga mulai dilakukan setelah tahun 1998, meskipun hanya sedikit yang berhasil ditemukan. Lebih dari tiga dekade kemudian, rasa kebencian tetap ada dalam masyarakat Indonesia atas peristiwa tersebut.[38] Film Australia The Year of Living Dangerously, yang ceritanya diadaptasi secara mirip dari novel berjudul sama yang didasarkan pada peristiwa berujung pada pembantaian ini, dilarang diputar di Indonesia sampai tahun 1999, pasca jatuhnya rezim Orde Baru.

Penjelasan memuaskan untuk skala dan kekejaman dari pembantaian ini telah menarik minat para ahli dari berbagai perspektif ideologis. Salah satu pendapat memandang kebencian komunal di balik pembantaian sampai pemaksaan demokrasi parlementer ke dalam masyarakat Indonesia, mengklaim bahwa perubahan semacam itu secara budaya tidak sesuai dan sangat mengganggu pada masa 1950-an pasca-kemerekaan. Pendapat yang berlawanan adalah ketika Soekarno dan angkatan bersenjata menggantikan proses demokrasi dengan otoriterianisme, persaingan kepentingan-yaitu antara militer, Islam politis, dan komunisme-tidak dapat secara terbuka diperdebatkan, melainkan lebih ditekan dan hanya dapat ditunjukkan dengan cara-cara kekerasan.[63] Metode penyelesaian konflik telah gagal, dan kelompok-kelompok Muslim dan angkatan bersenjata menganut prinsip "kita atau mereka", dan bahwa ketika pembantaian sudah berakhir, banyak orang Indonesia menganggap bahwa orang-orang komunis layak menerimanya.[63] Kemungkinan adanya pergolakan serupa dianggap sebagai faktor dalam konservatisme politik "Orde Baru" dan kontrol ketat terhadap sistem politik.[30] Kewaspadaan terhadap ancaman komunis menjadi ciri dari masa kepresidenan Soeharto.[72] Di Barat, pembantaian dan pembersihan ini digambarkan sebagai kemenangan atas komunisme pada Perang Dingin.

Pemerintah dan media-media Barat lebih menyukai Soeharto dan Orde baru daripada PKI dan Orde Lama.[63][73] Pembantaian itu oleh Time digambarkan sebagai "Berita Barat Terbaik di Asia".[74] Kepala berita di US News and World Report tertulis: "Indonesia: Harapan... di mana dahulu pernah tidak ada".[75] Kolomnis New York Times, James Reston menyebutnya sebagai "Secercah cahaya di Asia".[76] Perdana Menteri Australia Harold Holt, yang sedang mengunjungi Amerika Serikat, berkomentar di The New York Times, "Dengan 500.000 sampai satu juta simpatisan komunis telah disingkirkan... Saya kira sudah aman untuk menganggap bahwa re-orientasi telah terjadi."[77]

Keterlibatan Amerika Serikat

Joseph Lazarsky, wakil kepala CIA di Jakarta, mengatakan bahwa konfirmasi pembantaian datang langsung dari markas Soeharto. "Kami memperoleh laporan yang jelas di Jakarta mengenai siapa-siapa saja yang harus ditangkap," kata Lazarsky. "Angkatan bersenjata memiliki 'daftar tembak' yang berisi sekitar 4,000 sampai 5,000 orang. Mereka tidak memiliki cukup tentara untuk membinasakan mereka semua, dan beberapa orang cukup berharga untuk diinterogasi. Infrastruktur milik PKI dengan cepat dilumpuhkan. Kami tahu apa yang mereka lakukan... Soeharto dan para penasehatnya mengatakan, jika kamu membiarkan mereka hidup, kamu harus memberi mereka makan."[78][79]

Duta Besar Amerika di Jakarta adalah Marshall Green, yang dikenal di Departemen Luar Negeri Amerika Serikat sebagai "ahli kudeta". Green telah tiba di Jakarta hanya beberapa bulan sebelumnya, membawa serta reputasi karena telah mendukung penggulingan diktator Korea Syngman Rhee, yang telah keluar bersama Amerika. Ketika pembantaian berlangsung di Indonesia, manual mengenai pengorganisasian pelajar, yang ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Korea, disebarkan oleh kedutaan Amerika Serikat ke Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).[80] Amerika Serikat juga secara langsung mendanai mereka yang berpartisipasi dalam penindasan terhadap orang-orang komunis. Pada tanggal 2 Desember 1965, Green mendukung rencana untuk menyediakan lima puluh juta rupiah untuk apa yang disebutnya sebagai "gerakan Kap-Gestapu," yang dia gambarkan sebagai "kelompok aksi sipil tetapi terilhami tentara" yang "membawa beban upaya represif yang ditujukan kepada PKI, terutama di Jawa Tengah." [81] Green tidak menyebutkan fakta bahwa "upaya represif saat ini" terhadap PKI di Jawa Tengah meliputi, menurut Konsulat Amerika Serikat di Medan, usaha untuk "membasmi semua orang PKI". Apakah dia menyadari fakta ini atau tidak, agak diragukan, karena ia sendiri mencatat bahwa Kedutaan Besar Amerika Serikat memiliki akses ke "laporan intelijen substansial" mengenai kegiatan Kap-Gestapu, kegiatan yang ia yakinkan pada Departemen Luar Negeri sebagai kegiatan yang "sepenuhnya sejalan dengan dan dikoordinasikan oleh tentara" dan yang ia puji sebagai kegiatan yang "sangat sukses".[82]

Selain itu, Amerika Serikat memasok peralatan logistik penting pada jenderal-jenderal Indonesia. Para jenderal memintanya melalui penghubung yang ditunjuk di Bangkok, Thailand.[83] Dukungan itu datang terutama dalam bentuk alat komunikasi taktis dengan tujuan menghubungkan Jakarta dengan pasukan militer yang melaksanakan penindasan terhadap PKI di Sumatra, Jawa dan Sulawesi.[83] Amerika Serikat juga menyediakan "senjata" yang berasal dari Amerika Serikat maupun yang bukan dari Amerika Serikat, yang secara khusus merupakan permintaan untuk "mempersenjatai pemuda Muslim dan Nasionalis di Jawa Tengah untuk digunakan melawan PKI".[84][85] Kawat diplomatik menunjukkan bahwa senjata-senjata ini adalah senjata ringan, digunakan untuk membunuh dari jarak dekat.[86][87] Brad Simpson, Asisten Profesor Sejarah dan Studi Internasional di Princeton University dan direktur Proyek Dokumentasi Indonesia/Timor Timur di George Washington University, menyatakan bahwa "Amerika Serikat terlibat langsung sejauh bahwa mereka menyediakan bantuan kepada Angkatan Bersenjata Indonesia yang mereka berikan untuk membantu memfasilitasi pembunuhan massal."[88]

Pada tanggal 5 Oktober 1965, Green mengirim telegram ke Washington mengenai bagaimana Amerika Serikat dapat "membentuk perkembangan untuk keuntungan kita". Rencananya adalah untuk memperburuk nama PKI dan "pelindung"-nya, Soekarno. Propaganda ini harus didasarkan pada "(penyebaran) kisah pengkhianatan, kesalahan, dan kebrutalan PKI". Pada puncak pertumpahan darah, Green meyakinkan Jenderal Soeharto: "Amerika Serikat umumnya bersimpati dan mengagumi apa yang sedang dilakukan oleh angkatan bersenjata."[89] Adapun mengenai jumlah korban, Howard Federspiel, ahli Indonesia di Biro Intelijen dan Penelitian Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada tahun 1965, mengatakan, "Tidak ada yang peduli, selama mereka adalah komunis, mereka harus dibantai. Tidak ada yang merasa perlu melakukan sesuatu mengenai hal itu."[78]

Greg Poulgrain dalam bukunya menulis adanya keterlibatan personel Amerika Serikat di operasi militer di Klaten. Sosiolog Margot L. Lyon yang sedang bertugas di Klaten 1971, diberitahu oleh dua pegawai muda tingkat kecamatan, tentang adanya dua personel Amerika Serikat, pria dan wanita di Klaten saat itu. Mereka mengira Lyon mengenal mereka karena sama-sama berasal dari AS. Menurut pengakuan mereka kedua personel tersebut berasal dari kedutaan AS. Walau saat Lyon mengonfirmasi langsung akan adanya pegawai AS dari lembaga apapun saat itu, kedutaan AS menolak. Kedua personel tersebut membantu dalam 'operasi ruangan'. Ruangan tersebut terletak di dalam kantor pemerintah setempat yang berisi peta dinding dan alat komunikasi canggih, dan berfungsi untuk mengkoordinir operasi militer di Klaten saat itu. Kedua pegawai tersebut cukup terkesan karena bantuan operasional mereka apalagi salah satunya merupakan wanita. Terdapat pula helikopter yang digunakan untuk mengantara kedua personel tersebut.[90] Armada AS 7th Fleet sedang ada di lepas pantai Jawa saat itu,[91] dan klaim ini didukung oleh telegram yang disimpan di National Security Archive, George Washington University (RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 5 pol 23-9 Sept 30th Movement Nov 10-19 1965). Telegram ini berisi balasan kepada nota Marshall Green, dari Norman B. Hannah, penasihat politik kepada panglima pasifik, CINPAC, pada tanggal 2 Oktober 1965, mengajukan asisten rahasia yang bisa berupa transportasi, kemungkinan mengacu kepada helikopter yang digunakan kedua personel AS tersebut. Ketika operasi pembunuhan berlangsung di Klaten, mereka dibawa menggunakan helikopter tersebut ke kapal armada AS 7th, jika menggunakan helikopter Huey perjalanan akan membutuhkan 23 menit.[92]

Perkembangan kontemporer

Setelah Soeharto mundur berkat adanya reformasi 1998, Parlemen membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menganalisis pembunuhan massal, tetapi itu ditangguhkan oleh Pengadilan Tinggi. Sebuah konferensi akademis mengenai pembantaian diadakan di Singapura pada tahun 2009.[57]

Pada bulan Mei 2009, pada waktu yang berdekatan dengan Konferensi Singapura, penerbit di Britania Raya, Spokesman Books, menerbitkan buku yang ditulis oleh Nathaniel Mehr, berjudul Pertumpahan Darah Konstruktif di Indonesia: Amerika Serikat, Britania Raya dan Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966, sebuah survei tingkat-pengantar mengenai pembantaian dan dukungan Barat untuk Soeharto.

Pada 23 Juli 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan pembantaian orang-orang yang dituduh komunis itu merupakan pelanggaran HAM yang berat. Setelah melakukan penyelidikan selama empat tahun, bukti dan hasil pemeriksaan saksi menunjukkan adanya sembilan kejahatan yang masuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. Kesembilan pelanggaran HAM itu adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.[93]

Hasil penyelidikan Komnas HAM ini diserahkan ke Kejaksaan Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat. Kewenangan untuk membuka pengadilan Ad Hoc untuk pelanggaran HAM berat pada masa lalu ada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat.[94]

Pada tahun 2012 dan 2014, dua film yang mengungkap bagaimana pembantaian massal dilakukan di kota Medan dan sekitarnya, Sumatera Utara, diluncurkan. Film tersebut berjudul Jagal (judul versi Inggris: The Act of Killing) dan Senyap (judul versi Inggris: The Look of Silence) masing-masing dengan fokus yang berbeda, Jagal menelusuri bayangan, pandangan, dan pendapat para pelaku pembantaian massal mengenai diri dan sejarah, sementara Senyap memotret pandangan keluarga korban mengenai beban sejarah yang mereka tanggung, serta bagaimana satu orang dari mereka meminta pertanggungjawaban para pelaku.[95][96]

Pembantaian ini telah banyak dihilangkan dari buku pelajaran sejarah Indonesia. Dalam buku pelajaran sejarah, disebutkan bahwa pembantaian ini adalah "kampanye patriotik" yang menghasilkan kurang dari 80.000 korban jiwa. Pada tahun 2004, buku-buku pelajaran diubah dan mencantumkan kejadian tersebut, tetapi kurikulum baru ini ditinggalkan pada tahun 2006 karena adanya protes dari kelompok militer dan Islam.[57] Buku-buku pelajaran yang menyebutkan pembunuhan massal itu kemudian dibakar,[57] atas perintah Jaksa Agung.[97]

Pada 2015, Presiden Joko Widodo dikabarkan berencana memberikan ucapan minta maaf terhadap PKI atas terjadinya pembantaian 1965.[98] Kabar ini lantas ditentang oleh FPI dan lembaga Kristen.[99] Jokowi kemudian menegaskan bahwa ia tidak berpikiran untuk meminta maaf kepada PKI melainkan untuk korban pelanggaran HAM.[100]

Lihat pula

Catatan kaki

Referensi

Bahasa Indonesia
  • Busjarie Latief. (Oktober 2014) Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI [1920-1965]. Lembaga Sejarah PKI. Ultimus, ISBN 978-602-8331-50-0.
  • Hermawan Sulistyo. (Juni, 2000.) Palu arit di ladang tebu - Sejarah pembantaian massal yang terlupakan [1965-1966]. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 979-9023-42-4.
  • Heru Atmodjo, Garda Sembiring, Harsutedjo. (2004) Gerakan 30 September: Kesaksian Letkol (Pnb) Heru Atmodjo. Seri pelurusan sejarah '65. Testimony of Heru Atmodjo, an Indonesian Air Force pilot, on the coup d'etat of Gerakan 30 September 1965. The University of Michigan, ISBN 979-97816-7-1, ISBN 978-979-97816-7-3, Tride.
  • Joko Waskito. (ed) Bilven. (2015) Siswoyo dalam Pusaran Arus Sejarah Kiri: Memoar Anggota Sekretariat CC KI. Cetakan 1, Ultimus, Juli, ISBN 978-602-8331-60-9
  • Julius Pour. (2010) Gerakan 30 September: pelaku, pahlawan & petualang/catatan Julius Pour, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, ISBN 978-979-709-524-6.
  • Wijaya Herlambang. (2013) Kekerasan Budaya Pasca 1965 - Bagaimana Orde Baru melegitimasi anti-komunisme melaui sastra & film. Marjin Kiri. ISBN 978-979-1260-26-8.
Bahasa Inggris

Pranala luar