Perjodohan

pernikahan yang diatur oleh orang selain pasangan sendiri
(Dialihkan dari Penjodohan)

Perjodohan adalah jenis pernikahan dimana pengantinnya dipilih oleh orang lain, terutama oleh anggota keluarga, seperti orangtua. Dalam beberapa budaya, pencari jodoh profesional/mak comblang[nb 1] mungkin digunakan untuk mencari jodoh untuk orang muda.

Dulu, perjodohan sangat umum dalam berbagai budaya. Perjodohan masih umum dilakukan di daerah tertentu, seperti Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika Utara, Afrika Sub-Sahara, dan Kaukasus. Di daerah lain, praktik ini telah menurun drastis selama abad ke-19 dan ke-20.

Pernikahan paksa, yang dilakukan oleh beberapa keluarga, dikritik oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Subkategorinya, pernikahan paksa anak, sangat dikritik.[1] Dalam budaya lain, orang umumnya memilih pasangan sendiri.

Sejarah

"Pernikahan yang tak sama", lukisan abad ke-19 oleh seniman Rusia Vasil Pukirev; menggambarkan perjodohan di mana seorang gadis muda dipaksa menikah dengan seseorang yang dia tidak mau.

Perjodohan sangat umum di seluruh dunia sampai abad ke-18.[2] Biasanya, pernikahan diatur oleh orangtua, kakek-nenek, atau kerabat dekat dan teman terpercaya. Pengecualian dalam sejarah telah diketahui, seperti pacaran dan ritus pertunangan pada periode Renaisans Italia[3] dan Gandharya Vivah pada periode Weda India.[4]

Pernikahan pada Zaman Klasik Yunani-Romawi berbasis tanggung jawab sosial. Pernikahan biasanya diatur oleh orangtua; kadang-kadang pencari jodoh profesional digunakan. Agar pernikahannya legal, ayah pengantin perempuan atau wali harus memberi izin kepada pria yang cocok yang mampu menikah. Anak perempuan yatim piatu biasanya dinikahkan kepada sepupu. Pasangannya mengikuti upacara yang termasuk ritus seperti pengangkatan kerudung. Pria hanya bisa memiliki 1 istri, tetapi dia bisa memiliki wanita simpanan sebanyak yang dia mampu.[butuh rujukan]

Di Tiongkok, perjodohan (baoban hunyin, 包办婚姻) – kadang disebut pernikahan buta (manghun, 盲婚) – umum dilakukan sebelum pertengahan abad ke-20. Pada masa itu, pernikahan diputuskan dan dinegosiasikan antara orangtua dan anggota tua lain kedua keluarga. Anak laki-laki dan perempuan biasanya disuruh menikah, tanpa hak menolak, bahkan jika mereka tidak pernah bertemu satu sama lain sebelum hari pernikahan.[5][6][7]

Perjodohan adalah adat yang umum di Rusia sebelum awal abad ke-20, yang sebagian besar mempraktikkan endogami.[8]

Hingga paruh pertama abad ke-20, perjodohan umum dilakukan oleh keluarga migran di Amerika Serikat.[9] Itu kadang disebut "picture bride marriage" (pernikahan pengantin-foto) oleh imigran Jepang-Amerika karena pengantinnya hanya kenal satu sama lain melalui pertukaran foto sebelum hari pernikahan. Pernikahan tersebut biasanya disusun oleh orangtua atau kerabat dekat dari negara asalnya. Seiring para imigran menyatu menjadi budaya baru, perjodohan pertama bergeser menjadi perjodohan semu, dimana orangtua atau teman mengenalkan mereka dan pasangan bertemu sebelum pernikahan; seiring waktu, pernikahan antara anak imigran tersebut bergeser menjadi pernikahan otonom yang didorong oleh keputusan individu, preferensi kencan dan pacaran, dan meningkatnya pernikahan antar-ras.[9][10] Dinamika sejarah serupa diklaim di bagian lain dunia.[11][12]

Prevalensi perjodohan berkurang di negara maju karena mobilitas sosial dan meningkatnya individualisme; namun perjodohan masih dilakukan di Eropa dan Amerika Utara oleh keluarga kerajaan, aristokrat, dan kelompok agama minoritas, seperti pernikahan penempatan oleh kelompok Mormon Fundamentalis di Amerika Serikat. Di sebagian besar dunia, perjodohan masih ada dengan frekuensi yang bervariasi dan semakin banyak menjadi perjodohan semu, bersama dengan pernikahan otonom.[2]

Penegakan

Wanita yang menolak perjodohan, mencoba meninggalkan perjodohan melalui perceraian, atau diduga melakukan perbuatan "immoral", mungkin dianggap merusak nama baik keluarga dia. Kerabat pria dia mungkin diejek atau dianiaya dan saudara dia mungkin tidak bisa menikah. Pada kasus tersebut, membunuh wanitanya adalah cara keluarga memaksa institusi perjodohan. Tidak seperti kekerasan dalam rumah tangga, pembunuhan demi kehormatan sering dilakukan secara publik untuk dilihat semua dan anggota keluarga sering terlibat dalam pembunuhannya.[13]

Perbandingan

Pernikahan dikelompokkan menjadi 4 kelompok dalam studi ilmiah:[2]

  • Perjodohan paksa: orangtua atau wali memilih calon; pasangan tidak dikonsultasi atau memiliki suara sebelum pernikahan.
Pernikahan Kaisar Pedro I dari Brasil dan Amélie of Leuchtenberg dalam Kapel Imperial pada 1829, 3 tahun setelah kematian istri pertama dia, Maria Leopoldina dari Austria.
  • Perjodohan konsensual: orangtua atau wali memiliih calon, kemudian pasangan dikonsultasi, yang menilai dan memberi izin, dan setiap individu bisa menolak; kadang-kadang, pasangannya bertemu – bersama keluarga atau secara pribadi – sebelum pertunangan dan pernikahan, seperti shidduch dalam Yahudi Ortodoks.
  • Pernikahan pilih sendiri: Individu memilih calon, kemudian orangtua atau wali dikonsultasi, yang menilai dan memberi izin, dan orangtua atau wali bisa menolak pernikahannya.
  • Pernikahan otonom: Individu memilih calon; orangtua atau wali tidak dikonsultasi atau memiliki suara sebelum pernikahan.

Gary Lee dan Lorene Stone mengusulkan bahwa sebagian besar pernikahan dewasa dalam sejarah modern berada antara perjodohan konsensual dan pernikahan otonom, sebagian karena pernikahan adalah sebuah lembaga sosial. Demikian pula, setelah mempelajari 142 budaya, Broude dan Greene melaporkan bahwa 130 budaya memiliki elemen perjodohan.[14]

Perjodohan paksa ekstrim telah diamati di beberapa masyarakat, terutama dalam pernikahan anak perempuan di bawah 12 tahun. Contohnya antara lain vani, yang dilakukan di beberapa bagian pedesaan Pakistan, dan pernikahan Shim-pua di Taiwan sebelum tahun 1970-an (Tongyangxi di Tiongkok).[15]

Jenis

Ada beberapa jenis perjodohan, antara lain:[16][17][18][19]

  • Perjodohan eksogami: adalah perjodohan dimana orang lain mencari dan memilih pengantin, tanpa mempedulikan kelompok sosial, ekonomi, dan budaya.
  • Perjodohan endogami: adalah perjodohan dimana orang lain mencari dan memilih pengantin dari sebuah kelompok sosial, ekonomi, dan budaya.
  • Perjodohan sedarah: adalah jenis perjodohan endogami[19] dimana pengantin laki-laki dan perempuan sedarah dengan eyang atau nenek moyang dekat. Contohnya antara lain pernikahan sepupu pertama, pernikahan paman-bibi, dan sebagainya. Pernikahan sedarah paling umum adalah pernikahan sepupu pertama, diikuti dengan pernikahan sepupu kedua dan pernikahan paman-bibi. 25–40% pernikahan di beberapa bagian Arab Saudi dan Pakistan adalah pernikahan sepupu pertama, sementara prevalensi pernikahan sedarah di berbagai wilayah Afrika Utara dan Asia Tengah melebihi 65–80%.[20][21]

Pengantin dalam setiap jenis perjodohan di atas biasanya memiliki hak menolak; jika pengantin pria, wanita, atau keduanya tidak memiliki hak menolak, itu termasuk pernikahan paksa. Pernikahan paksa tidak sama dengan perjodohan: pernikahan tersebut tidak memiliki persetujuan kedua pihak yang penuh dan bebas, dan tidak ada agama besar yang menganjurkan pernikahan paksa. Perjodohan umum dikaitkan dengan agama; beberapa orang dengan agama tertentu melakukan jenis pernikahan ini.

Menurut Undang-Undang Pernikahan Hindu 1955 di India, pernikahan paksa dan pernikahan dimana pengantin pria dibawah umur 21 tahun atau pengantin wanita dibawah umur 18 tahun dilarang untuk orang Hindu, Buddha, Sikh, dan Jain.[butuh rujukan]

Perjodohan tak sedarah adalah perjodohan dimana pengantin laki-laki dan perempuan tidak sedarah dengan eyang atau nenek moyang dekat. Jenis ini umum di Asia Selatan yang beragama Hindu dan Buddha, Asia Tenggara, Asia Timur, dan Amerika Latin dan Afrika Sub-Sahara yang beragama Kristen.[22] Perjodohan sedarah dilarang di berbagai bagian Amerika Serikat dan Eropa.[23] Di Britania Raya, pernikahan paman-bibi ilegal dan diklasifikasikan sebagai hubungan sedarah, tetapi pernikahan saudara diperbolehkan, walaupun ada permintaan untuk melarang pernikahan sepupu pertama karena masalah kesehatan. Walaupun perjodohan sedarah umum dilakukan dan merupakan preferensi budaya di beberapa negara Muslim dan antara migran dari negara Muslim ke wilayah dunia lain, perjodohan sedarah dilarang atau tidak diinginkan dalam sebagian besar masyarakat Kristen/Katolik, Hindu, dan Buddha.[24] Dulu, perjodohan sedarah umum dilakukan dalam masyarakat Yahudi sebelum abad ke-20, namun sekarang menurun menjadi kurang dari 10%.[25][26]

Penyebab dan frekuensi

Perjodohan didorong oleh kombinasi berbagai faktor, seperti kebiasaan pernikahan anak,[27] pernikahan terlambat, tradisi,[28][29] budaya, agama, kemiskinan dan pilihan yang terbatas, disabilitas,[30] isu kekayaan dan warisan, politik, dan konflik sosial dan suku.[31][32][33]

Pernikahan anak

"Marriage à-la-mode" oleh William Hogarth: sebuah satir perjodohan dan prediksi bencana yang akan datang

Pernikahan anak, terutama anak di bawah 12 tahun, tidak mempersiapkan atau memberikan individu kesempatan membuat pilihan bebas dan berpengetahuan mengenai pernikahan. Pernikahan anak ini secara implisit merupakan perjodohan.[34] Di daerah pedesaan Asia Timur, Afrika Sub-Sahara, Asia Selatan, dan Amerika Latin, kemiskinan dan ketiadaan pilihan, seperti mengikuti sekolah, menyisakan sedikit pilihan untuk anak selain dijodohkan dini.[27] Pernikahan anak biasanya ada di daerah miskin. Orangtua menjodohkan anak untuk memastikan keamanan finansial anaknya dan menguatkan ikatan sosial. Mereka meyakini itu memberikan perlindungan dan mengurangi beban ekonomi keluarga oleh anak perempuan karena biaya memakan, memberi pakaian kepada, dan mendidik (opsional) anak perempuan. Dengan menikahkan anak perempuan dengan keluarga baik, orangtuanya menaikkan status sosialnya dengan membentuk ikatan sosial antara satu sama lain.[35]

Menurut Warner, di negara dengan angka pernikahan anak yang tinggi, pernikahan anak perempuan hampir selalu disusun oleh orangtua atau wali dia.[36] Negara dengan angka pernikahan anak paling tinggi adalah: Niger, Chad, Mali, Bangladesh, Guinea, Afrika Tengah, Afghanistan, Yemen, India, dan Pakistan. Perjodohan anak juga ada di beberapa bagian benua Amerika.[37][38]

Kemiskinan

Dalam masyarakat miskin, setiap orang dewasa menjadi beban terus-menerus. Dalam banyak budaya tersebut, wanita kesulitan (atau dilarang) mencari kerja, dan anak perempuan mereka menjadi beban terbesar keluarga. Beberapa sarjana berargumen bahwa menjodohkan anak perempuan menjadi cara yang diperlukan untuk mengurangi beban ini.[39] Oleh karena itu, kemiskinan adalah pemicu perjodohan.

Teori ini[40][41] didukung oleh menurunnya perjodohan secara cepat di negara Asia yang tumbuh dengan cepat. Manfaat finansial yang diterima orangtua dari anak perempuan mereka yang bekerja telah dirujuk[42] sebagai alasan bertambahnya keengganan menikahkan anak perempuannya pada usia yang muda.

Pernikahan terlambat

Pernikahan terlambat, terutama di atas umur 30 tahun, mengurangi jumlah wanita yang tersedia untuk pernikahan otonom. Perkenalan dan perjodohan menjadi opsi yang produktif.[43]

Contohnya, sebagian karena kekayaan ekonomi, sekitar 40% wanita Jepang mencapai umur 29 tahun dan belum menikah. Untuk membantu pernikahan terlambat, adat tradisional perjodohan miai-kekkon kembali muncul. Itu melibatkan pengantin, keluarga, teman, dan pencari jodoh (nakōdo, 仲人); pasangannya dipilih melalui proses yang melibatkan individu dan keluarga (iegara, 家柄). Biasanya pasangan bertemu 3 kali, di publik atau secara privat, sebelum memutuskan apakah mereka ingin bertunangan.[44][45][46]

Pilihan terbatas

Populasi migran etnik minoritas memiliki pilihan pasangan yang terbatas, terutama ketika mereka distereotip, disegregasi atau dihindari oleh populasi mayoritas. Ini mendorong homogami dan perjodohan di dalam kelompok etnik. Contoh dinamik ini antara lain pernikahan Sikh antara 1910 dan 1980 di Kanada,[47] perjodohan antara orang Yahudi Hasidik,[48][49] dan perjodohan antara imigran Amerika Jepang sebelum tahun 1960, yang kembali ke Jepang untuk menikah dengan pasangan yang dipilih oleh keluarga, kemudian kembali. Pada kasus lain, seorang perempuan dari Jepang tiba di Amerika Serikat sebagai picture bride (pengantin foto), yang dijodohkan dulu untuk menikahi pria Amerika Jepang saat tiba, yang dia belum pernah bertemu.[50]

Kebiasaan

Perjodohan mungkin karena kebiasaan tertentu. Contohnya, di pedesaan Pakistan dan Afghanistan, konflik, hutang yang belum dibayar, dan kejahatan seperti pembunuhan diselesaikan oleh dewan tetua desa, bernama jirga. Hukuman umum untuk kejahatan oleh pria melibatkan mewajibkan keluarga yang bersalah untuk menikahkan anak perempuan perawan mereka antara 5–12 tahun kepada keluarga korban. Kebiasaan ini tidak memerlukan izin dari anak perempuan, atau bahkan orang tua dia. Perjodohan anak dinamakan vani, swara dan sak dalam beberapa bahasa daerah Pakistan.[51][52][53]

Kebiasaan watta satta ada pada beberapa negara Muslim,[54][55] seperti Pakistan, dimana pasangan saudara-saudari se-keluarga ditukar sebagai suami & istri untuk pasangan saudara-saudari keluarga lain. Kata lain, istri juga menjadi ipar untuk pria dalam kedua keluarganya. Kebiasaan ini cenderung berupa perjodohan. Sekitar 30% pernikahan di wilayah pedesaan[56] Pakistan barat berupa pernikahan watta-satta, dan 75% pernikahan tersebut adalah antara sepupu dan kerabat terkait darah lainnya.[57][56][58] Sebagian keluarga imigran menginginkan kebiasaan perjodohan.[59]

Pada 1770, Permaisuri Maria Theresa mengirim Maria Antonia yang berusia 14 tahun ke Prancis untuk menikahi Louis-Auguste[60]

Politik

Perjodohan Marie Adélaïde dari Savoia (berusia 12 tahun) kepada Louis, Adipati Bourgogne, pewaris takhta Prancis pada 1697, sebagai hasil Perjanjian Turin (1696). Pernikahannya membuat aliansi antara Louis XIV dari Prancis dan Adipati Savoia.

Dulu, perjodohan umum dilakukan antara raja feodal, negara kota dan kerajaan, sebagai cara menjalin perdagangan, perdamaian, dan aliansi politik.[46][61][62] Ketika raja menikahkan anak laki-laki dia kepada anak perempuan negara tetangga, itu menunjukkan aliansi antara orang sederajat, dan menandakan superioritas negara sebelumnya. Contohnya, anak perempuan ke-4 Maria Theresa, Adipati Austria dan Ratu Hungaria, Marie Antoinette, menikah dengan dauphin (putra mahkota) Prancis, yang akan menjadi Raja Louis XVI.[60]

Isu kekayaan dan warisan

Sepanjang sebagian besar sejarah, pernikahan menjadi institusi sosial yang menghasilkan anak dan mengatur pewarisan properti antar-generasi. Berbagai budaya, terutama beberapa keluarga aristokratis dan raja kaya, menjodohkan untuk menjaga atau menyederhanakan pewarisan kekayaannya.[63]

Tongyangxi, juga dikenal sebagai pernikahan Shim-pua di Taiwan – arti persis adalah anak atau menantu wanita – merupakan tradisi perjodohan, dimana keluarga miskin menjodohkan anak perempuan pra-pubertas kepada keluarga kaya sebagai pembantu.[64] Anaknya menjadi tenaga kerja gratis seperti budak, dan juga menjadi menantu perempuannya anak laki-laki keluarga adopsi. Perjodohan ini, dalam teori, memungkinkan anak perempuan bangkit dari kemiskinan dan keluarga kaya mendapatkan tenaga kerja gratis dan menantu perempuan. Zhaozhui adalah kebiasaan yang terkait dimana keluarga yang kaya yang tidak mempunyai pewaris menjodohkan anak laki-laki keluarga lain. Anaknya kemudian pindah ke rumah keluarga kaya, mengambil nama terakhir keluarga baru, dan menikah dengan anak perempuan keluarganya. Perjodohan tersebut membantu menjaga warisan hubungan darah.[65] Perjodohan matrilokal yang serupa untuk menjaga pewarisan dulu umum di Korea, Jepang, dan bagian lain dunia.[66][67][68]

Harga pengantin perempuan

Dalam banyak budaya, terutama di beberapa bagian Afrika dan Timur Tengah, dalam pasar pernikahan, anak perempuan berharga karena pengantin laki-laki dan keluarga dia harus membayar uang dan harta untuk hak menikahi anak perempuannya. Keluarga pengantin perempuan biasanya menyimpan uang dari mahar setelah pernikahan, dan menjadi sumber pendapatan keluarga miskin. Saudara laki-laki, ayah, dan kerabat laki-laki pengantin perempuan biasanya ingin menjodohkan dia kepada pria yang menawarkan harga pengantin perempuan yang tertinggi.[69][70]

Agama

Beberapa denominasi agama hanya mengakui pernikahan seagama. Islam melarang pernikahan wanita Muslim kepada pria non-Muslim,[71] dan hukuman agama untuk yang melakukannya mungkin berat.[72] Ini adalah salah satu motivasi perjodohan dalam populasi Muslim minoritas di Eropa.[73][74]

Karena agama penting dalam komunitas Hindu, orangtua sering mencari pasangan seagama untuk anak mereka. Ketika dua orang yang berbeda agama jatuh cinta, salah satu orang harus pindah ke agama orang lain-nya.[75] Pernikahan antaragama tidak dapat diterima oleh masyarakat India; oleh karena itu, orangtua yang menjodohkan anaknya akan memastikan mereka menikah dengan orang seagama. Orang Hindu menginginkan segregasi religius, jadi banyak orang tidak memiliki teman beragama lain. Sebuah studi menunjukkan bahwa 45% orang Hindu hanya memiliki teman seagama dan 13% memiliki teman beragama lain.[76] Ini melatih anak untuk hanya ingin berada sekitar orang seagama karena pembauran pertemanan religius dan pernikahan jarang terjadi. Terlebihnya, orang harus menikah dengan orang se-kasta dan sebagian besar memiliki jenis agama yang spesifik. Mereka diajarkan ini dari usia muda dan dianggap sebagai salah satu aturan yang paling penting. Ketika cinta di luar kasta seseorang terjadi, orangtua kadang-kadang mengancam membunuh pecintanya.[77] Ketakutan keluarga akan opini masyarakat adalah alasan lain mengapa orangtua tidak memperbolehkan anak mereka menikah dengan orang berbeda kasta. Kasta yang paling bawah, dikenal sebagai untouchables (dalit), dianggap kotor dan bahkan tidak boleh mendahului seseorang yang lebih tinggi kastanya karena ketakutan bahwa orang tersebut akan mencemari mereka.

Kontroversi

Perjodohan aktif didebatkan oleh para ahli. Pertanyaannya antara lain apakah perjodohan sedang digunakan untuk menyalahgunakan sistem imigrasi internasional, untuk secara inheren melanggar hak asasi manusia, terutama hak wanita,[78] apakah perjodohan menghasilkan pernikahan yang lebih stabil untuk membesarkan anak/generasi berikutnya,[79] dan apakah perjodohan berdampak baik/buruk terhadap percintaan dan penghormatan satu sama lain untuk pasangan telah menikah.[80]

Pernikahan palsu

Di Britania Raya, ada diskusi publik[81] mengenai apakah perjodohan internasional palsu tanpa keinginan bahwa suami istri hidup sebagai pasangan, yang merupakan cara yang mudah untuk mendapatkan tempat tinggal dan kewarganegaraan Eropa untuk beberapa imigran pria atau wanita, yang sebaliknya tidak diberikan visa untuk memasuki negara. Ketakutan tersebut dipicu oleh perceraian setelah kewajiban periode tempat tinggal dipenuhi. MP Ann Cryer menduga ada contoh penyalahgunaan tersebut oleh keluarga Muslim Asia Barat pada mosi dia kepada Dewan Rakyat Britania Raya.[82] Amerika Serikat juga terdampak oleh kontroversi perjodohan yang serupa.[83][84]

Hak asasi manusia

Berbagai organisasi internasional, termasuk UNICEF, berkampanye untuk hukum pelarangan perjodohan anak dan pernikahan paksa.[85] Artikel 15 dan 16 Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) secara spesifik mencakupi hukum pernikahan dan keluarga, yang mendukung larangan pelarangan perjodohan anak dan pernikahan paksa.[86][87]

Perjodohan menjadi topik yang didebatkan. Aktivis, seperti Charlotte Bunch, mengusulkan bahwa pernikahan yang disusun oleh orangtua dan anggota keluarga lain biasanya mengasumsikan preferensi heteroseksual dan melibatkan tekanan emosional; ini mendorong beberapa individu ke pernikahan yang mereka bolehkan dibawah paksaan.[78] Bunch menyarankan bahwa semua pernikahan harus otonom.

Sebaliknya, mencegah perjodohan mungkin merugikan banyak orang yang ingin menikah dan dapat memanfaatkan partisipasi orangtua ketika mencari dan memilih pasangan. Contohnya, Willoughby mengusulkan[80] bahwa perjodohan berfungsi karena itu menyingkirkan kecemasan proses mencari suami/istri. Orangtua, keluarga dan teman memberikan perspektif independen ketika mereka berpartisipasi untuk mempelajari dan mengevaluasi orangnya, sejarahnya, perilaku, serta kecocokan bersama pasangan. Willoughby juga mengusulkan bahwa orangtua dan keluarga tidak hanya memberikan input dalam proses pemilihan; tetapi juga sering memberikan dukungan finansial untuk acara pernikahan, perumahan, dukungan emosional dan sumber daya berharga lain untuk pasangan saat mereka menavigasi lewat acara pernikahan menuju kehidupan berumah tangga/pasangan menikah, dan membantu membesarkan anak mereka.

Michael Rosenfield mengatakan[80] bahwa perbedaan antara pernikahan otonom dan perjodohan secara empiris kecil; banyak orang bertemu, berkencan dan memilih menikah atau hidup bersama dengan orang yang latar belakang, umur, minat, dan kelas sosial yang serupa. Mengasumsikan bahwa jumlah orang yang bisa dipilih sebagai pasangan besar, Rosenfeld mengusulkan bahwa perbedaan antara kedua cara pernikahan tidak sebanyak yang dibayangkan beberapa orang.[80] Orang lain mengekspresikan sentimen seperti Rosenfeld.[88]

Stabilitas

Angka perceraian telah meningkat di Uni Eropa dan Amerika Serikat bersama dengan peningkatan angka pernikahan otonom. Budaya dengan angka perjodohan yang tinggi memiliki angka perceraian paling sedikit, seperti budaya Amish di Amerika Serikat (1%),[89] orang Hindu dari India (3%),[80] dan orang Yahudi Ultra-Ortodoks dari Israel (7%).[90] Menurut studi 2012 oleh Statistic Brain, 53,25% pernikahan merupakan perjodohan. Angka perceraian global untuk perjodohan adalah 6,3%, yang mungkin menjadi indikator kesuksesan perjodohan.[91] Ini memicu para sarjana untuk bertanya apakah perjodohan lebih stabil daripada pernikahan otonom, dan apakah stabilitas ini berarti. Orang lain mengusulkan bahwa angka perceraian yang rendah mungkin tidak merefleksikan stabilitas, tetapi merefleksikan kesulitan proses perceraian dan pengucilan sosial terhadap individu, yang memilih hidup dalam pernikahan yang buruk daripada mengalami akibat perceraian.[80] Persepsi pernikahan otonom menyebabkan angka perceraian tinggi di Amerika Serikat juga ditanyakan.[92]

Cinta dan penghormatan dalam perjodohan versus pernikahan otonom

Berbagai survei sampel kecil telah dilakukan untuk menentukan apakah perjodohan atau pernikahan otonom memiliki kehidupan yang lebih nikmat. Hasilnya bercampuran – beberapa menyatakan bahwa pernikahan otonom memberikan kepuasan pernikahan yang lebih baik, survei lainnya tidak menemukan perbedaan signifikan.[93] Johnson dan Bachan menanyakan ukuran sampel yang kecil dan kesimpulan yang ditarik darinya.[94]

Para sarjana[80][95] menanyakan apakah cinta dan penghormatan dalam kehidupan lebih banyak dalam perjodohan daripada pernikahan otonom. Epstein mengusulkan bahwa dalam banyak perjodohan, cinta muncul secara perlahan. Perjodohan dan pernikahan otonom tidak memberikan jaminan apapun. Banyak perjodohan juga berujung buruk dan disfungsional, dengan laporan pelecehan.[96][97][98]

Dalam beberapa budaya dimana perjodohan lebih umum; lebih banyak ketidaksetaraan antara pria dan wanita. Beberapa orang meyakini bahwa orang dalam perjodohan mungkin memiliki hubungan yang lebih nikmat karena mereka memiliki harapan yang realistis dan tidak terdampak emosi ketika menuju pernikahan, tetapi orang lain meyakini bahwa perjodohan bisa memicu ketidakbahagiaan dan ketidakpuasan pernikahan.[99] Banyak orang dalam pernikahan otonom memandang perjodohan sebagai cara paksa, tetapi hasil menunjukkan bahwa banyak orang berjodoh dari keinginannya sendiri. Menurut satu studi, angka perceraian adalah 4% untuk perjodohan, sementara di A.S., 40% pernikahan otonom berakhir dengan perceraian.[100] Ada juga pertanyaan mengenai kepuasan seksual; di Jepang dilaporkan bahwa pria dalam perjodohan lebih puas secara seksual, sementara dalam pernikahan otonom, kepuasan pasangannya berada di tengah.[101] Di India, telah ditemukan bahwa tingkat cinta penuh kasih tetap sama antara perjodohan dan pernikahan otonom.

Lihat juga

Catatan

Referensi