Gerakan Aceh Merdeka, atau GAM (Aceh: Geurakan Acèh Meurdèka) adalah bekas sebuah gerakan separatisme bersenjata yang memiliki tujuan supaya Aceh lepas dari Indonesia. Konflik antara pemerintah RI dan GAM yang diakibatkan perbedaan keinginan ini telah berlangsung sejak tahun 1976-2005 dan menyebabkan jatuhnya hampir sekitar 15.000 jiwa. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF). GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro yang selama hampir tiga dekade bermukim di Swedia.
Garis waktu
Pada 4 Desember1976, inisiator Gerakan Aceh Merdeka, Hasan di Tiro dan beberapa pengikutnya mengeluarkan pernyataan perlawanan terhadap pemerintah RI yang dilangsungkan di Gunung Halimun, Pidie. Di awal masa berdirinya GAM, nama resmi yang saat itu digunakan adalah AM, Aceh Merdeka.
Kabinet pertama GAM dinamakan sebagai Kabinet Negara Aceh Sumatera, yang disusun pada 24 Mei 1977 dengan susunan sebagai berikut:
Pemerintah RI pada periode 1980-an sampai 1990-an menamai gerakan tersebut sebagai GPK-AM. Perlawanan represif bersenjata gerakan tersebut mendapat sambutan keras dari pemerintah pusat RI yang akhirnya menggelar sebuah operasi militer di Aceh atau yang lebih dikenal dengan DOM (Daerah Operasi Militer) pada paruh akhir 1980-an sampai dengan penghujung 1990-an. Operasi tersebut telah membuat para aktivis AM terpaksa melanjutkan perjuangannya di daerah pengasingan. Disaat rezim Orde Baru berakhir dan reformasi dilangsungkan di Indonesia, seiring dengan itu pula Gerakan Aceh Merdeka kembali eksis dan menggunakan nama GAM sebagai identitas organisasinya.
Konflik antara pemerintah RI dengan GAM terus berlangsung hingga pemerintah menerapkan status Darurat Militer di Aceh pada tahun 2003, setelah melalui beberapa proses dialogis yang gagal mencapai solusi kata sepakat antara pemerintah RI dengan aktivis GAM. Konflik tersebut sedikit banyak telah menekan aktivitas bersenjata yang dilakukan oleh GAM, banyak di antara aktivis GAM yang melarikan diri ke luar daerah Aceh dan luar negeri. Bencana alam gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004 telah memaksa pihak-pihak yang bertikai untuk kembali ke meja perundingan atas inisiasi dan mediasi oleh pihak internasional.
Pada 17 Juli2005, setelah perundingan selama 25 hari, tim perunding Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM di Vantaa, Helsinki, Finlandia. Penandatanganan nota kesepakatan damai yang dilangsungkan pada 15 Agustus2005. Proses perdamaian selanjutnya dipantau oleh sebuah tim yang bernama Aceh Monitoring Mission (AMM) yang beranggotakan lima negara ASEAN dan beberapa negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Di antara poin pentingnya adalah bahwa pemerintah Indonesia akan turut memfasilitasi pembentukan partai politik lokal di Aceh dan pemberian amnesti bagi anggota GAM.
Meski perdamaian tersebut, sejatinya sampai sekarang masih menyisakan persoalan yang belum menemukan jalan keluar. Misalnya saja berkait dengan Tapol/Napol Aceh yang masih berada di penjara Cipinang, Jakarta seperti Ismuhadi Jafar, dkk. Selain juga persoalan kesejahteraan mantan prajurit kombatan GAM yang cenderung hanya dinikmati oleh segelintir elit.
Seluruh senjata GAM yang mencapai 840 pucuk selesai diserahkan kepada AMM pada 19 Desember2005. Kemudian pada 27 Desember, GAM melalui juru bicara militernya, Sofyan Dawood, menyatakan bahwa sayap militer mereka yaitu Tentara Neugara Aceh (TNA) telah dibubarkan secara formal dan dibentuk Komite Peralihan Aceh guna untuk menampung para eks-kombatan.