Astrofisika

cabang astronomi

Astrofisika adalah bidang ilmu yang mempelajari sifat-sifat fisika fenomena dan objek astronomi di jagat raya. Astrofisika membahas objek-objek di luar angkasa dan juga Bumi. Terkadang, penamaannya dapat berganti dengan astronomi karena lingkup studinya yang mirip pada masa modern.[1]

Sejarah

Astronomi adalah ilmu kuno, lama terpisah dari studi fisika terestrial. Dalam pandangan dunia Aristoteles, benda-benda di langit tampak seperti bola yang tidak berubah dan gerakan satu-satunya adalah gerakan seragam dalam lingkaran. Sementara itu, dunia teresterial adalah alam yang mengalami pertumbuhan dan pembusukan, dan gerakannya berada dalam garis lurus yang berakhir ketika benda tersebut mencapai tujuannya. Terdapat anggapan bahwa luar angkasa terbuat dari jenis materi yang berbeda dari materi yang ditemukan di dunia terestrial; diyakini oleh Aristoteles sebagai Aether,[2] atau sebagai Api oleh Plato.[3] Selama abad ke-17, filsuf alam seperti Galileo,[4] Descartes,[5] dan Newton[6] mulai berpendapat bahwa daerah angkasa dan terestrial terbuat dari jenis bahan yang serupa dan tunduk pada hukum alam yang sama. Tantangan mereka adalah saat itu belum ditemukan alat untuk membuktikan pernyataan ini.

Selama abad kesembilan belas, penelitian astronomi berfokus pada pengukuran dan perhitungan rutin posisi dan gerakan objek astronomi.[7] Cabang astronomi baru, yang kemudian disebut astrofisika [8], baru muncul ketika William Hyde Wollaston dan Joseph von Fraunhofer secara terpisah mendapati bahwa banyak garis gelap (daerah yang terdapat sedikit atau tidak ada cahaya) yang diamati dalam spektrum ketika cahaya Matahari diuraikan.[9] Pada tahun 1860, fisikawan Gustav Kirchhoff dan ahli kimia, Robert Bunsen, mengamati bahwa garis-garis gelap pada spektrum Matahari berhubungan dengan garis-garis terang pada spektrum gas yang diketahui, berhubungan dengan unsur kimia yang unik.[10] Kirchhoff menyimpulkan bahwa garis-garis gelap pada spektrum Matahari disebabkan oleh penyerapan unsur kimiawi di atmosfer Matahari. Dengan cara ini terbukti bahwa unsur kimia yang ditemukan di Matahari dan bintang juga ditemukan di Bumi.[11]

Pada tahun 1868, Norman Lockyer mempelajari garis-garis terang dan gelap dalam spektrum Matahari. Dia bekerja dengan ahli kimia Edward Frankland untuk menyelidiki spektrum unsur-unsur pada berbagai suhu dan tekanan tetapi tidak dapat menghubungkan garis kuning dalam spektrum Matahari dengan unsur-unsur yang telah diketahui saat itu.[12] Dia kemudian menyatakan garis tersebut mewakili elemen baru, disebut helium, dari bahasa Yunani Helios, dewa Matahari.[13]

Pada tahun 1885, Edward C. Pickering menjalankan program klasifikasi spektrum bintang di Harvard College Observatory,[11] di mana tim komputer wanita, terutama Williamina Fleming, Antonia Maury, dan Annie Jump Cannon, mengklasifikasikan spektrum yang terekam pada pelat fotografi.[14] Pada tahun 1890, tersusun katalog lebih dari 10.000 bintang yang dikelompokkan ke dalam tiga belas jenis spektral. Pada 1924, Cannon memperluas katalog menjadi sembilan volume dengan lebih dari 250 ribu bintang, mengembangkan Skema Klasifikasi Harvard yang digunakan di seluruh dunia pada tahun 1922.[11]

Pada tahun 1895, George Ellery Hale dan James E. Keeler, bersama dengan sepuluh rekan editor dari Eropa dan Amerika Serikat, mendirikan The Astrophysical Journal. Jurnal tersebut dimaksudkan untuk mengisi kekosongan dalam jurnal dalam astronomi dan fisika, menyediakan tempat untuk publikasi artikel tentang aplikasi spektroskop dalam astronomi; penelitian laboratorium yang terkait erat dengan fisika astronomi; eksperimen pada radiasi dan absorpsi Matahari; teori Matahari, Bulan, planet, komet, meteor, dan nebula; dan instrumentasi untuk teleskop dan laboratorium.[15]

Sekitar 1920, saat diagram Hertzsprung-Russell masih digunakan sebagai dasar untuk mengklasifikasikan bintang dan evolusinya, Arthur Eddington mengantisipasi penemuan dan mekanisme proses fusi nuklir pada bintang dalam makalahnya The Internal Constitution of the Stars.[16] Pada saat itu, sumber energi bintang masih belum diketahui. Eddington dengan tepat berspekulasi bahwa sumbernya adalah fusi hidrogen menjadi helium, melepaskan energi yang sangat besar memenuhi persamaan Einstein . Ini adalah sebuah terobosan baru karena pada saat itu reaksi nuklir belum sepenuhnya diketahui.[17]

Pada tahun 1925, Cecilia Payne-Gaposchkin menulis disertasi doktoral di Radcliffe College. Dia menerapkan teori ionisasi pada atmosfer bintang untuk menghubungkan kelas spektral dengan suhu bintang.[18] Dia mendapati bahwa hidrogen dan helium adalah penyusun utama sebuah bintang. Namun, pada saat tesisnya diterbitkan, Henry Norris Russell dari Universitas Princeton meyakinkan Payne bahwa kesimpulannya pasti salah. Russell kemudian mempelajari temuan Payne selama empat tahun, dan dalam Astrophysical Journal edisi Juli 1929 menyatakan bahwa penemuan Payne tidak dapat diragukan.[19]

Pada akhir abad ke-20, studi tentang spektrum astronomi telah meluas hingga mencakup panjang gelombang yang membentang dari gelombang radio hingga panjang gelombang optik, x-ray, dan gamma.[20] Pada abad ke-21, teori ini diperluas dengan memasukkan pengamatan berdasarkan gelombang gravitasi.[21]

Metode studi

Astrofisika teoretis

Astrofisika teoretis mencakup model analitis dan simulasi numerik komputasi. Model analitis umumnya lebih baik untuk memberikan wawasan inti tentang objek yang sedang diamati sementara model numerik dapat mengungkapkan keberadaan fenomena dan efek yang tidak terlihat.[22]

Astrofisika observasional

Pengamatan jarak jauh mengakibatkan penelitian Astrofisika tidak dapat dilakukan dalam lingkungan terkendali dan bergantung pada fenomena yang terjadi di alam. Informasi didapat dari radiasi elektromagnetik yang dikumpulkan oleh instrumen astronomi.[23]

Rujukan

Daftar Pustaka