Aseksualitas

Aseksualitas adalah kekurangan ketertarikan seksual terhadap orang lainnya, atau rendahnya, atau tak adanya ketertarikan dalam atau hasrat untuk aktivitas seksual.[1][2][3] Aseksualitas juga dapat dianggap sebagai salah satu orientasi seksual atau ketiadaannya.[4][5] Aseksualitas juga dapat dikategorikan lebih luas, untuk meliputi spektrum lebih luas dari subidentitas aseksual.[6]

Aseksualitas berbeda dari abstinensi dari aktivitas seksual dan juga dari selibat,[7][8] yang merupakan perilaku dan pada umumnya dimotivasi oleh faktor-faktor seperti pribadi, sosial, atau keyakinan beragama individu.[9] Orientasi seksual, tidak seperti perilaku seksual, diyakini "abadi".[10] Sebagian orang aseksual terlibat dalam aktivitas seksual meskipun kekurangan daya tarik seksual atau hasrat seks, karena berbagai alasan, seperti hasrat untuk secara fisik menyenangkan diri sendiri atau kekasih, atau hasrat untuk memiliki anak.[7][11]

Penerimaan aseksualitas sebagai orientasi seksual dan bidang penelitian ilmiah masih relatif baru,[2][11] sebagai subjek penelitian yang sedang bertumbuh dari perspektif sosiologis maupun psikologis sudah mulai berkembang.[11] Meskipun beberapa peneliti menegaskan bahwa aseksualitas adalah salah satu orientasi seksual, ada juga yang tidak setuju.[4][5] Individu yang aseksual mungkin mewakili satu persen populasi.[2]

Berbagai komunitas aseksual telah mulai dibentuk sejak dampak Internet dan media sosial di pertengahan dasawarsa 1990an. Komunitas yang paling produktif dan terkenal di antara yang lainnya adalah Jaringan Kebertampakan dan Pendidikan Aseksual, yang didirikan pada tahun 2001 oleh David Jay.[4][12]

Definisi, identitas, dan hubungan

Aseksualitas terkadang disebut as (kependekan fonetik dari "aseksual"[13]), sementara komunitasnya terkadang disebut komunitas as, oleh para peneliti atau aseksual.[14][15] Karena ada begitu banyak variasi di antara orang-orang yang mengidentifikasi diri sebagai aseksual, aseksualitas dapat melingkupi definisi yang luas.[16] Para peneliti pada umumnya mendefinisikan aseksualitas sebagai kekurangan daya tarik seksual atau kekurangan ketertarikan seksual,[4][11][17] tetapi definisinya dapat beragam; mereka dapat menggunakan istilahnya "untuk mengacu pada individu yang memiliki hasrat atau ketertarikan seksual yang rendah maupun tak ada sama sekali, perilaku seksual yang rendah atau tak ada sama sekali, hubungan asmara eksklusif yang nonseksual, atau kombinasi ketiadaan hasrat dan perilaku seksual".[11][18] Identifikasi diri sebagai aseksual juga dapat menjadi faktor penentu.[18]

Jaringan Kebertampakan dan Pendidikan Aseksual mendefinisikan aseksual sebagai "seseorang yang tidak mengalami ketertarikan seksual" dan menyatakan, "Kaum minoritas kecil lainnya akan menganggap diri mereka sebagai aseksual selama periode waktu yang singkat sambil menjelajah dan mempertanyakan seksualitas mereka sendiri" dan bahwa "tak ada tes lakmus untuk menentukan apakah seseorang memang aseksual. Aseksualitas seperti identitas lainnya – pada intinya, hanya satu kata yang digunakan seseorang untuk membantu memahami diri sendiri. Jika pada titik tertentu seseorang menemukan kata aseksual berguna dalam menggambarkan diri mereka, kami mendorongnya menggunakannya selama masih masuk akal untuk melakukannya."[19]

Orang-orang aseksual, meskipun kekurangan ketertarikan seksual pada gender manapun, mungkin dapat terlibat dalam hubungan asmara murni, sementara yang lainnya tidak.[4][20] Ada individu yang diidentifikasi aseksual yang merasakan ketertarikan seksual tetapi tidak memiliki kehendak untuk bertindak atas ketertarikan itu karena mereka tidak memiliki hasrat yang sesungguhnya atau memiliki kebutuhan untuk terlibat dalam aktivitas seksual maupun nonseksual (berpelukan, berpegangan tangan, dsb.), sementara aseksual lainnya mau berpelukan atau terlibat dalam aktivitas fisik nonseksual lainnya.[7][8][11][16] Sebagian aseksual lainnya berpartisipasi dalam aktivitas seksual karena kepenasaran.[11] Sebagian mungkin bermasturbasi sebagai bentuk tunggal pelepasan, sementara yang lainnya tidak merasakan kebutuhan untuk melakukannya.[16][21][22]

Bertalian dengan aktivitas seksual khususnya, kebutuhan atau hasrat masturbasi biasanya diacu sebagai dorongan seks oleh para aseksual dan mereka memisahkannya dari ketertarikan seksual dan bertindak seksual; aseksual yang bermasturbasi pada umumnya menganggapnya sebagai produk normal tubuh manusia dan bukan pertanda seksualitas yang terpendam, dan mungkin bahkan tidak mendapatkan kepuasan darinya.[11][23] Sebagian lelaki aseksual tidak dapat ereksi dan aktivitas seksual dengan berusaha melakukan penetrasi tidak mungkin bagi mereka.[24] Para aseksual juga berbeda dalam perasaan mereka terhadap melakukan tindakan seks: sebagian tak acuh dan mungkin bersenggama untuk keuntungan kekasihnya; yang lainnya sangat enggan terhadap ide melakukannya, meskipun mereka biasanya bukannya tidak menyukai orang berhubungan seks.[11][16][22]

Banyak orang yang beridentitas aseksual juga diidentifikasi dengan label lainnya. Identitas lainnya ini meliputi bagaimana mereka mendefinisikan gender mereka dan orientasi hubungan asmara mereka.[25] Mereka seringkali akan menggabungkan karakteristik-karakteristik ini ke dalam label lebih besar yang menjadi identitas diri mereka. Berkenaan dengan aspek romantis atau emosi orientasi seksual atau identitas seksual, misalnya, aseksual mungkin mengidentifikasi diri mereka sebagai heteroseksual, lesbian, gay, biseksual, queer,[19][20] atau dengan mengikuti istilah-istilah untuk mengindikasikan bahwa mereka memiliki asosiasi dengan aspek romantik, dan bukan seksual, dari orientasi seksual:[16][20]

  • aromantis; kekurangan ketertarikan romantis terhadap siapapun
  • biromantis; dengan analogi pada biseksual
  • heteroromantis; dengan analogi terhadap heteroseksual
  • homoromantis; dengan analogi terhadap homoseksual
  • panromantis; dengan analogi terhadap panseksual

Orang-orang mungkin juga mengidentifikasi sebagai abu-abu-A (seperti romantis abu-abu, demiromantis, demiseksual or semiseksual) karena mereka merasa di antara aromantis dan nonaromantis, atau di antara aseksualitas dan ketertarikan seksual. Sementara istilah abu-abu-A mungkin melingkupi siapapun yang terkadang merasa daya tarik romantis atau seksual, demiseksual, atau semiseksual mengalami ketertarikan seksual hanya sebagai komponen sekunder, merasakan ketertarikan seksual setelah hubungan emosi yang stabil atau besar sudah tercipta.[16][26]

Kata dan frasa unik lainnya yang digunakan dalam komunitas aseksual untuk menguraikan identitas dan hubungan juga ada. Satu istilah yang diciptakan oleh para individu dalam komunitas aseksual adalah fokus-teman, yang mengacu pada hubungan nonromantis yang bernilai tinggi. Istilah lainnya termasuk squishes dan zucchinis, yaitu masing-masing idaman nonromantis dan hubungan platonik-queer. Sebagian askesual menggunakan bentuk kartu as yang sebagai identitas orientasi romantis mereka, seperti as sekop untuk aromantisisme dan as hati sebagai nonaromantisisme.[13]

Istilah-istilah seperti nonaseksual dan alloseksual digunakan untuk mengacu pada para individu yang ada di sisi berseberangan dengan spektrum seksualitas.[27]

Penelitian

Kelaziman

Skala Kinsey mengenai respon seksual, yang memperlihatkan tingkat orientasi seksual. Skala aslinya meliputi penamaan "X", yang mengindikasikan kurangnya perilaku seksual.[28]

Sebagian besar akademisi menyetujui aseksualitas itu langa, hanya meliputi 1% atau kurang dari populasi.[29] Aseksualitas bukan aspek baru dari seksualitas manusia, tpai secara relatif baru bagi wacana publik.[30] Sebagai perbandingan dengan seksualitas lainnya, aseksualitas telah menerima sedikit perhatian dari komunitas ilmuwab, dengan informasi kuantitatif mengenai kelaziman rendahnya jumlah aseksualitas.[31][32] S. E. Smith dari The Guardian tidak yakin aseksualitas meningkat, malah cenderung ke arah keyakinan yang sekadar lebih terlihat.[30] Alfred Kinsey memberi nilai individu dari 0 sampai 6 menurut orientasi seksual mereka dari heteroseksual sampai homoseksual, yang dikenal sebagai skala Kinsey. Dia juga memasukkan kategori yang disebut "X" untuk individu yang "tidak memiliki kontak seksual atau tanpa reaksi."[33][34] Meskipun dalam zaman modern ini dikategorikan sebagai perwakilan aseksualitas,[35] akademisi Justin J. Lehmiller menyatakan, "Klasifikasi X Kinsey menggarisbawahi kurangnya perilaku seksual, sementara definisi modern aseksualitas menggarisbawahi kurangnya ketertarikan seksual. Karenanya, Skala Kinsey mungkin tidak cukup akurat mengklasifikasi aseksualitas."[28] Kinsey melabeli 1.5% orang dewasa laki-laki dari populasi sebagai X.[33][34] Dalam buku keduanya, Sexual Behavior in the Human Female (Perilaku Seksual pada Manusia Perempuan), dia melaporkan rincian individu yang merupakan X: perempuan tak menikah = 14–19%, perempuan menikah = 1–3%, perempuan pernah menikah = 5–8%, laki-laki tidak menikah = 3–4%, laki-laki menikah = 0%, dan laki-laki pernah menikah = 1–2%.[34]

Data empiris yang lebih jauh mengenai demografi aseksual muncul pada tahun 1994, ketika sebuah tim penelitian di Britania Raya menjalankan sebuah survei komprehensif terhadap 18.876 penduduk Inggris, yang didorong oleh kebutuhan mengenai informasi seksual setelah pandemi AIDS. Survey tersebut meliputi pertanyaan mengenai ketertarikan seksual, yang dijawab oleh 1.05% responden dengan mereka "tidak pernah merasakan ketertarikan secara seksual pada siapapun sama sekali".[36] Kajian fenomena ini dilanjutkan oleh peneliti Kanada, Anthony Bogaert di tahun 2004, yang mengeksplorasi demografi aseksual dalam sebuah rangkaian kajian. Penelitian Bogaert mengindikasikan bahwa 1% populasi Inggris tidak mengalami ketertarikam seksual, tapi dia meyakini bahwa angka 1% bukan merupakan refleksi akurat dari persentase populasi yang kemungkinan jauh lebih besar yang dapat diidentifikasi sebagai aseksual, dengan catatan bahwa 30% orang yang dikontak untuk survei awal memilih untuk tidak berpartisipasi dalam survei ini. Karena orang-orang yang pengalaman seksualnya kurang menolak berpartisipasi dalam kajian mengenai seksualitas, dan aseksual cenderung kurang mendapat pengalaman seksual daripada orang-orang seksual, kemungkinan aseksual kurang terwakili dalam partisipasi responden. Kajian yang sama menemukan jumlah homoseksual dan biseksual dikombinasikan sekitar 1.1% dari populasi, yang jauh lebih kecil dibanding yang diindikasikan oleh kajian-kajian lainnya.[17][37]

Bertentangan dengan angka 1% Bogaert, sebuah kajian oleh Aicken et al., yang dipublikasikan pada tahun 2013, mengemukakan bahwa, berdasarkan data Natsal-2 dari tahun 2000 sampai 2001, kelaziman aseksualitas di Inggris hanya 0.4% untuk rentang usia 16–44.[18][38] Persentase ini mengindikasikan penurunan dari angka 0.9% yang ditentukan dari data Natsal-1 yang dikumpulkan dari rentang usia yang sama satu dasawarsa sebelumnya.[38] Analisis yang dilakukan tahun 2015 oleh Bogaert juga menemukan penurunan yang sama antara data Natsal-1 dan Natsal-2.[39] Aicken, Mercer, dan Cassell menemukan beberapa bukti perbedaan etnik di antara para responden yang tidak mengalami ketertarikan seksual; baik laki-laki maupun perempuan asal India dan Pakistan memiliki kemungkinan lebih tinggi melaporkan kekurangan ketertarikan seksual.[38]

Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh YouGov di tahun 2015, 1.632 penduduk Inggris dewasa diminta untuk berusaha menempatkan diri mereka dalam skala Kinsey. 1% peserta menjawab "Tanpa seksualitas". Perincian pesertanya adalah 0% laki-laki, 2% perempuan; 1% melintasi semua rentang usia.[40]

Orientasi seksual, kesehataan mental, dan penyebab

Ada perdebatan besar mengenai apakah aseksualitas merupakan orientasi seksual.[4][5] Aseksualitas telah dibandingkan dan disamakan dengan hypoactive sexual desire disorder/gangguan hasrat seksual hipoaktif (HSDD), bahwa keduanya mengimplikasikan kekurangan ketertarikan seksual secara umum pada siapapun; HSDD telah dipergunakan untuk secara medis merawat aseksualitas, tapi aseksualitas secara umum tidak dianggap sebagai gangguan atau disfungsi seksual (seperti anorgasmia, anhedonia, dll.), karena aseksualitas tidak berarti mendifinisikan seseorang memiliki masalah medis atau masalah yang berhubungan dengan orang lain secara sosial.[8][20][41] Tak seperti orang yang memiliki HSDD, orang-orang aseksual secara normal tidak mengalami "penanda kesulitan" dan "penderitaan antarpersonal" berkaitan dengan perasaan terhadap seksualitas mereka, atau secara umum kekurangan gairah seksual; aseksualitas dianggap kekurangan atau ketiadaan ketertarikan seksual sebagai karakteristik yang ditanggung selama hidup.[17][20] Salah satu kajian menemukan bahwa, dibandingkan dengan subjek HSDD, aseksual melaporkan tingkat yang lebih rendah dari hasrat seksual, pengalaman seksual, penderitaan yang berkenaan dengan seks, dan gejala-gejala depresif.[42] Peneliti Richards dan Barker melaporkan bahwa aseksualitas tidak memiliki kadar alexithymia, depresi, atau gangguan kepribadian.[20] Namun, sebagian orang mungkin mengidentifikasi diri aseksual meskipun kondisi nonseksual mereka dijelaskan oleh salah satu atau lebih gangguan yang disebut di atas.[43]

Kajian pertama yang memberikan data empiris mengenai aseksual diterbitkan pada tahun 1983 yang ditulis oleh Paula Nurius, mengenai hubungan antara orientasi seksual dan kesehatan mental.[44] 689 subjek—sebagian besar merupakan mahasiswa dari berbagai universitas di Amerika Serikat yang sedang mempelajari kelas-kelas psikologi atau sosiologi—diberi beberapa survei, termasuk empat skala kesehatan diri klinis. Hasilnya memperlihatkan aseksual lebih mungkin memiliki harga diri yang rendah dan lebih mungkin mengalami depresi daripada anggota orientasi seksual lainnya; 25.88% dari heteroseksual, 26.54% biseksuals (yang juga disebut "ambiseksual"), 29.88% homoseksual, dan 33.57% aseksual yang dilaporkan bermasalah dengan harga diri. Kecenderungan yang sama juga muncul bagi depresi. Nurius tidak percaya kesmpulan tegas dapat ditarik dari hal ini karena berbagai alasan.[44][45]

Dalam kajian tahun 2013, Yule et al. melihat variasi kesehatan mental antara Kaukasia yang heteroseksual, homoseksual, biseksual, dan aseksual. Hasilnya dari peserta 203 laki-laki dan 603 perempuan termasuk dalam temuan-temuannya. Yule et al. menemukan peserta laki-laki aseksual lebih mungkin dilaporkan mengalami gangguan suasana hati daripada laki-laki lainnya, khususnya bila dibandingkan dengan peserta heteroseksual. Hal yang sama juga ditemukan pada peserta perempuan aseksual dibanding dengan yang heteroseksual; namun, perempuan nonaseksual dan nonhetereseksual memiliki angka tertinggi. Peserta aseksual dari kedua jenis kelamin lebih mungkin memiliki gangguan kecemasan daripada peserta heteroseksual dan nonheteroseksual, karena mereka lebih mungkin daripada peserta heteroseksual participants dilaporkan memiliki perasaan bunuh diri dalam waktu yang belum lama berlalu. Yule et al. mengajukan hipotesis bahwa sebagian dari perbedaan ini mungkin karena diskriminasi dan faktor-faktor sosial lainnya.[46]

Berkenaan dengan kategori orientasi seksual, aseksualitas mungkin diperdebatkan bukan merupakan kategori yang berarti untuk ditambahkan pada rangkaiannya, dan malah diperdebatkan sebagai kekurangan orientasi seksual atau seksualitas.[5] Argumen lainnya berpendapat bahwa aseksualitas merupakan penyangkalan seksualitas alami seseorang, dan merupakan gangguan yang disebabkan oleh rasa malu terhadap seksualitas, kecemasan atau pelecehan seksual, terkadang mendasarkan keyakinan ini pada aseksual yang bermasturbasi atau sesekali terlibat dalam aktivitas seksual hanya untuk menyenangkan pasangan asmara.[5][22][24] Dalam konteks identitas politik orientasi seksual, aseksualitas mungkin secara pragmatis memenuhi fungsi politik satu kategori identitas orientasi seksual.[27]

Pendapat bahwa aseksualitas merupakan disfungsi seksual merupakan kontroversi di antara komunitas aseksual. Mereka uang mengidentifikasi diri sebagai aseksual biasanya memilih diakui sebagai orientasi seksual.[4] Para akademisi yang berpendapat bahwa aseksualitas merupakan orientasi seksual dapat menunjuk pada keberadaaan pilihan seksual yang berbeda.[5][7][24] Mereka dan banyak orang-orang aseksual meyakini bahwa kekurangan ketertarikan seksual cukup valid untuk dikategorikan sebagai orientasi seksual.[47] Para peneliti berpendapat bahwa aseksual tidak memilih untuk tidak memiliki hasrat seksual, dan secara umum mukai menemukan perbedaan mereka dalam perilaku seksual sekitar masa remaja. Karena fakta-fakta ini muncul, memang beralasan bahwa aseksualitas lebih dari sekadar pilihan perilaku dan bukan sesuatu yang dapat disembuhkan seperti gangguan.[24][48] Ada juga analisis mengenai apakah mengidentifikasi diri sebagai aseksual menjadi lebih populer.[49]

Penelitian mengenai etiologi orientasi seksual ketika diterapkan pada aseksualitas memiliki masalah definisi orientasi seksual yang tidak konsisten dengan definisi para peneliti yang memasukkan aseksualitas.[50] Ketika heteroseksualitas, homoseksualitas, dan biseksualitas biasanya, tapi tidak selalu, ditentukan selama tahun-tahun awal kehidupan sebelum masa remaja, tidak diketahui kapan aseksualitas dapat ditentukan. "Tidak jelas apakah karakteristik ini [yaitu, "kekurangan ketertarikan dalam atau hasrat untuk seks"] berlaku sepanjang hidup, ataukah diperoleh."[11]

Salah satu kriteria yang biasanya diambil untuk mendefinisikan orientasi seksual adalah kestabilan sepanjang waktu. Dalam sebuah analisis di tahun 2016 yang dimuat dalam Archives of Sexual Behavior, Brotto et al. menemukan "hanya dukungan lemah" bagi kriteria ini ditemui di antara individu aseksual.[51] Sebuah analisis mengenai data dari Kajian Longitudinal Nasional terhadap Kesehatan Remaja hingga Dewasa oleh Stephen Cranney menemukan bahwa, dari 14[a] individu yang dilaporkan tidak memiliki ketertarikan seksual dalam gelombang ketiga kajian ini (ketika subjeknya berada dalam usia 18 hingga 26 tahun), hanya tiga yang terus teridentifikasi seperti ini pada gelombang keempat, enam tahun kemudian.[53] Namun, Cranney mencatat bahwa identifikasi aseksual dalam gelombang ketiga masih signifikan sebagai penelaah identifikasi seksual dalam gelombang berikutnya. Dalam penafsiran selanjutnya, Cranney menyatakan bahwa interpretasi data ini diperumit oleh ketiadaan "penetapan standar kuantitatif untuk berapa lama hasrat seksual berlangsung sebelum dianggap cukup stabil atau mendalam untuk dianggap sebagai orientasi".[52]

Aktivitas seksual dan seksualitas

Meskipun sebagian aseksual bermasturbasi sebagai bentuk tunggal pelepasan atau melakukan hubungan badan untuk keuntungan pasangan asmara, yang lainnya tidak (lihat di atas).[11][16][21] Fischer et al. melaporkan bahwa "para akademisi yang mengkaji fisiologi sekitar aseksualitas berpendapat bahwa orang-orang aseksual mampu bergairah berkenaan dengan alat kelaminnya tapi mungkin mengalami kesulitan dengan yang disebut rangsangan subjektif." Ini artinya adalah "meskipun tubuhnya terangsang, secara subjektif – di tingkat pikiran dan emosi – seseorang tidak mengalami rangsangan".[18]

Institut Kinsey mensponsori survei kecil lainnya mengenai topik ini di tahun 2007, yang menemukan bahwa aseksual yang mengidentifikasi diri "dilaporkan secara signifikan kurang berhasrat seks dengan pasangan, memiliki tingkat terangsang secara seksual lebih rendah, dan memiliki gairah seksual yang lebih rendah, tetapi tidak berbeda secara konsisten dari nonaseksual dalam angka penghambatan seksual mereka atau hasrat bermasturbasi mereka".[11]

Sebuah makalah di tahun 1977 berjudul Asexual and Autoerotic Women: Two Invisible Groups, yang ditulis oleh Myra T. Johnson, secara eksplisit dipersembahkan pada aseksualitas dalam manusia.[54] Johnson mendefinisikan aseksual sebagai lelaki dan perempuan "yang, dengan mengabaikan kondisi fisik atau emosi, sejarah seksual sesungguhnya, dan status pernikahan, maupun orientasi ideologis, tampaknya memilih untuk tidak terlibat dalam aktivitas seksual." Dia membandingkan perempuan otoerotik dengan perempuan aseksual: "Perempuan aseksual... tidak memiliki hasrat seksual sama sekali [tapi] perempuan otoerotik... mengenali hasrat semacam itu namun memilih untuk memuaskan diri sendiri." Bukti Johnson sebagian besar adalah surat-surat yang ditemukan redaksi dalam majalah-majalah perempuan yang ditulis oleh perempuan aseksual/otoerotik. Dia menggambarkan mereka sebagai tak terlihat, "tertekan oleh sebuah konsensus bahwa mereka tidak ada," dan ditinggalkan baik oleh revolusi seksual maupun gerakan feminis. Johnson berpendapat bahwa masyarakat mengabaikan atau menyangkal keberadaan mereka atau bersikeras mereka pasti pertapa untuk berbagai alasan relijius, neurotik, atau aseksual karena alasan politis.[54][55]

Dalam sebuah kajian yang diterbitkan tahun 1979 dalam buku kelima Advances in the Study of Affect, dan juga dalam artikel lain yang menggunakan data yang sama dan diterbitkan di tahun 1980 dalam Journal of Personality and Social Psychology, Michael D. Storms dari Universitas Kansas mengikhtisarkan skala Kinsey yang digambarkan kembali oleh dirinya sendiri. Sementara Kinsey mengukur orientasi seksual berdasarkan kombinasi perilaku seksual dan berfantasi serta erotisisme yang sesungguhnya, Storms hanya menggunakan berfantasi dan erotisisme. Namun, Storms menempatkan heteroeritisisme dan homoerotisisme pada sumbu yang berbeda, bukan pada dua ujung sumbu yang sama; hal ini memungkinkan perbedaan antara biseksualitas (yang memeragakan baik heteroerotisisme maupun homoerotisisme dalam tingkatan yang masing-masing dapat dibandingkan dengan heteroseksual atau homoseksual) dan aseksual (yang memeragakan tingkat homoerotisisme yang dapat dibandingkan dengan heteroseksual dan tingkat heteroerotisisme yang dapat dibandingkan dengan homoseksual, yaitu, sedikit sekali hingga tak ada sama sekali). Jenis skala ini diperuntukkan bagi aseksualitas untuk pertama kalinya.[56] Storms memperkirakan bahwa banyak peneliti yang mengikuti model Kinsey dapat salah mengategorikan subjek aseksual sebagai biseksual, karena keduanya secara sederhana didefinisikan oleh kekurangan pilihan gender dalam pasangan seksual.[57][58]

Dalam sebuah kajian tahun 1983 oleh Paula Nurius, yang menyertakan 689 subjek (sebagian besar merupakan mahasiswa berbagai universitas di Amerika Serikat yang sedang mempelajari kelas-kelas psikologi atau sosiologi), skala berfantasi dan erotisisme dua dimensi digunakan untuk mengukur orientasi seksual. Berdasarkan hasilnya, para responden diberi angka mulai dari 0 hingga 100 untuk heteroerotisisme 0 sampai 100 untuk homoerotisisme. Para responden yang memiliki angka kurang dari 10 pada keduanya dilabeli "aseksual". Mereka ini terdiri dari 5% lelaki dan 10% perempuan. Hasilnya memperlihatkan bahwa aseksual dilaporkan memiliki frekuensi yang jauh lebih rendah dan memiliki hasrat frekuensi aktivitas seksual yang bervariasi termasuk memiliki pasangan banyak, aktivitas seksual anal, berhubungan seksual dengan lokasi yang bervariasi, dan berbagai aktivitas otoerotik.[44][45]

Penelitian Feminis

Bidang kajian aseksualitas masih muncul sebagai turunan dari bidang yang lebih luas mengenai kajian gender dan seksualitas. Para peneliti terkemuka yang telah menghasilkan karya signifikan dalam kajian aseksualitas di antaranyaKJ Cerankowski, Ela Przybylo, dan CJ DeLuzio Chasin.

Sebuah naskah yang ditulis tahun 2010 oleh KJ Cerankowski dan Megan Milks, berjudul New Orientations: Asexuality and Its Implications for Theory and Practice, mengemukakan bahwa aseksualitas mungkin serupa pertanyaan tersendiri untuk kajian gender dan seksualitas.[59] Cerankowski dan Milks berpendapat bahwa aseksualitas menimbulkan lebih banyak lagi pertanyaan dari yang telah dijawabnya, seperti bagaimana seseorang dapat puasa berhubungan seks, yang secara umum diterima oleh masyarakat sebagai naluri paling mendasar.[60] Makalah New Orientations mereka menyatakan bahwa masyarakat memiliki anggapan "Seksualitas [LGBT dan] perempuan sebagai berdaya atau tertindas. Gerakan aseksual menantang asumsi tersebut dengan menantang banyak paham dasar mengenai feminisme proseks [yang didalamnya] sudah didefinisikan sebagai seksualitas represif atau antiseks." Sebagai tambahan untuk menerima identifikasi diri sebagai aseksual, Jaringan Kebertampakan dan Pendidikan Aseksual telah merumuskan aseksualitas sebagai orientasi yang ditentukan secara biologis. Rumusan ini, jika dibedah secara ilmiah dan dibuktikan, akan mendukung kajian buta peneliti Simon LeVay mengenai hipotalamus dalam lelaki gay, perempuan, dan lelaki lurus, yang mengindikasikan bahwa ada perbedaan biologis antara lelaki lurus dan lelaki gay.[61]

Di tahun 2014, Cerankowski dan Milks menyunting dan menerbitkan Asexualities: Feminist and Queer Perspectives, sebuah koleksi esai yang dimaksudkan untuk menjelajahi politik aseksualitas dari perspektif feminis dan queer.[60] Koleksi ini dibagi menjadi pendahuluan dan enam bagian: Meneorikan Aseksualitas: Orientasi Baru; Politik Aseksualitas; Memvisualkan Aseksualitas dalam Budaya Media; Aseksualitas dan Maskulinitas; Kesehatan, Ketunaan, dan Medikalisasi; serta Membaca Secara Aseksual: Teori Karya Tulis Aseksual. Setiap bagian terdiri dari dua sampai tiga naskah yang mengulas aspek penelitian aseksualitas yang sesuai. Salah satu naskahnya ditulis oleh Ela Przybylo, nama lain yang mulai dikenal dalam karya tulis akademis aseksual. Artikelnya, berkenaan dengan antologi Cerankowski dan Milks, memusatkan perhatian pada laki-laki yang mengidentifikasi diri aseksual, khususnya pada pengalaman tekanan-tekanan yang dialami laki-laki terhadap berhubungan seks dalam wacana dan media Barat yang dominan. Tiga lelaki ynggal di Ontario bagian Selatan, Kanada, diwawancari pada tahun 2011, dan Przybylo mengakui bahwa ukuran sampelnya yang kecil artinya penemuannya tak dapat digeneralisasikan pada populasi yang lebih besar dalam hal keterwakilan, dan bahwa mereka "bersifat menyelidiki dan sementara", terutama dalam bidang yang masih kekurangan dalam teorisasi.[62] Ketiga orang yang diwawancara terpengaruh oleh stereotipe bahwa lelaki harus menikmati dan menginginkan seks untuk menjadi "lelaki sejati".[62]

Karya Przybylo lainnya, Asexuality and the Feminist Politics of "Not Doing It", yang diterbitkan di tahun 2011, mengenakan lensa feminis untuk menulis ilmiah tentang aseksualitas. Pryzyblo berpendapat bahwa aseksualitas dimungkinkan hanya melalui konteks orang Barat mengenai "keharusan-keharusan seksual, senggama, dan heteroseksual".[63] Dia menyebutkan karya-karya terdahulu yang ditulis oleh Dana Densmore, Valerie Solanas, dan Breanne Fahs, yang berpendapat "aseksualitas dan selibat" sebagai strategi politik feminis melawan patriarki.[63] Meskipun Przybylo memang membuat pemisahan antara aseksualitas dan selibat, dia menganggap mengaburkan garis di antara keduanya membuat produktif bagi seorang feminis memahami topik tersebut.[63] Dalam naskahnya di tahun 2013, "Memproduksi Fakta: Aseksualitas Empiris dan Kajian Ilmiah Mengenai Seks", Przybylo membedakan antara dua tahap berbeda penelitian aseksual: bahwa akhir dasawarsa 1970an hingga awal 1990an, yang sering meliputi pemahaman sangat terbatas mengenai aseksualitas, dan peninjauan kembali yang dilakukan lebih baru mengenai subjek tersebut yang dikatakannya dimulai oleh kajian Bogaert di tahun 2004 dan telah mempopulerkan subjek tersebut dan membuatnya lebih "terlihat secara budaya". Dalam artikel ini, sekali lagi Przybylo menegaskan pemahaman aseksualitas sebagai fenomena budaya, dan tetap kritis mengenai kajian ilmiahnya.[64] Pryzblo menerbitkan sebuah buku, Asexual Erotics, di tahun 2019. Dalam buku ini, dia berpendapat bahwa aseksualitas memiliki "paradoks" yaitu orientasi seksual yang didefinisikan oleh sama sekali ketiadaan aktivitas seksual. Dia membedakan antara pemahaman sosiologis mengenai aseksualitas dan pemahaman budaya, yang menurutnya dapat meliputi "jalinan terbuka berbagai kemungkinan, kesenjangan, ketumpangtindihan, perselisihan, dan keharmonisan".[65]

CJ DeLuzio Chasin menyatakan dalam Reconsidering Asexuality and Its Radical Potential bahwa penelitian akademis mengenai aseksualitas "telah memposisikan aseksualitas sejajar dengan wacana esensialis mengenai orientasi seksual" yang merepotkan karena menciptakan sebuah biner antara aseksual dan orang-orang yang telah dikenai intervensi psikiatris untuk gangguan-gangguan seperti Gangguang Hasrat Seksial Hipoaktif.[41] Chasin mengatakan bahwa biner ini mengimplikasikan bahwa semua aseksual mengalami (karenanya menanggung) kekurangan ketertarikan seksual seumur hidup, sehingga semua nonaseksual yang mengalami kekurangan hasrat seksual merasa tertekan karenanya, dan menganggap para aseksual yang mengalami perasaan tertekan seperti itu abnormal secara psikologis.[41] Seperti yang dikatakan Chasin yang mendiagnosa sebagai HSDD bertindak mengobati dan merawat serta mengatur seksualitas perempuan, artikel itu bertujuan "mengungkap" definisi aseksual yang bermasalah yang berbahaya baik pada aseksual maupun perempuan. Chasin menyatakan bahwa aseksualitas memiliki daya untuk menantang wacana lumrah mengenai kealamian seksualitas, tapi penerimaan tanpa mempertanyakan definisi saat ini tidak memperkenankannya. Chasin juga berpendapat di situ dan di dalam karya lainnya dalam Making Sense in and of the Asexual Community: Navigating Relationships and Identities in a Context of Resistance bahwa merupakan hal yang penting untuk mempertanyakan kenapa seseorang dapat merasa tertekan mengenai hasrat seksual yang rendah. Chasin berargumen lebih jauh bahwa para dokter memiliki kewajiban secara etis untuk menghindari merawat hasrat seksual yang rendah pada hakikatnya sebagai ketidaknormalan psikologis, dan untuk mendiskusikan aseksualitas sebagai kemungkinan yang layak (saat relevan) dengan pasien yang secara klinis datang karena hasrat seksual yang rendah.[27]

Titik pertemuan dengan ras dan ketunaan

Akademisi Ianna Hawkins Owen menuliskan, "Kajian-kajian mengenai ras telah mengungkapkan penyebaran aseksualitas dalam wacana dominan sebagai satu perilaku seksual ideal untuk membenarkan baik pemberdayaan orang-orang kulit putih maupun pensubordinasian orang-orang kulit hitam untuk menegakkan sistem sosial dan politik yang dirasialisasi."[66] Hal ini sebagian karena seksualisasi dan deseksualisasi secara bersamaan terhadap perempuan-perempuan kulit hitam dalam pola dasar mami, dan juga bagaimana masyarakat mendeseksualisasi minoritas ras tertentu, sebagai bagian dari penawaran untuk mengklaim superioritas oleh bangsa berkulit putih.[66] Situasi ini hidup berdampingan dengan seksualisasi tubuh perempuan kulit hitam dalam pola dasar Jezebel, yang keduanya digunakan untuk membenarkan perbudakan dan memungkinkan pengendalian yang lebih jauh.[66] Owen juga mengkritisi "...investasi dalam membangun aseksualitas atas nama ras kulit putih (siapa lagi yang dapat mengklaim akses utuk menjadi seperti orang-orang lainnya?)".[67] Eunjung Kim mengomentari pada titik temu antara ketunaan atau teori lumpuh dan aseksualitas, dengan mengatakan bahwa orang-orang penyandang ketunaan lebih sering dideseksualisasi.[68][69] Kim membandingkan gagasan perempuan dingin dengan aseksualitas dan menganalisis sejarahnya dari sudut queer, orang lumpuh, dan feminis. Akasemisi Karen Cuthbert berkomentar "menyediakan diskusi pertama yang berlandaskan empiris mengenai titik temu aseksualitas dan ketunaan (dan pada hal yang lebih sempit, gender dan 'ras')."[70]

Karya dan teori psikologis Bogaert

Bogaert berpendapat bahwa memahami aseksualitas adalah kunci penting untuk memahami seksualitas secara umum.[39] Utuk karyanya, Bogaert mendefinisikan aseksualitas sebagai "kekurangan keinginan/perasaan bernafsu yang ditujukan pada orang lain," satu definisi yang menurutnya relatif baru dalam teori dan karya empiris terkini mengenai orientasi seksual. Definisi aseksualitas ini juga memperjelas perbedaan antara perilaku dan hasrat, baik untuk aseksualitas maupun selibat, meskipun Bogaert juga mencatat bahwa ada bukti aktivitas seksual yang dikurangi bagi yang masuk dalam definisi ini. Dia membedakan lebih jauh lagi antara hasrt bagi orang lain dan hasrat untuk rangsangan seksual, yang terakhir tidak selalu absen bagi mereka yang teridentifikasi sebagai aseksual, meskipun dia mengakui bagi pembuat teori lainnya mendefinisikan aseksualitas secara berbeda dan bahwa penelitian lebih jauh perlu dilakukan mengenai "hubungan yang rumit antara ketertarikan dan hasrat".[39] Perbedaan lainnya dibuat antara ketertarikan asmara dan seksual, dan dia menyebutkan karya dari psikologi perkembangan, yang menyarankan bahwa sistem romantis yang diambil dari teori kasih sayang sementara sistem seksual "terutama bersarang di struktur otak yang berbeda".[39]

Berbarengan dengan pendapat Bogaert bahwa memahami aseksualitas akan mengarah pada pemahaman seksualitas secara keseluruhan dengan lebih baik, dia mendiskusikan topik masturbasi aseksual untuk membuat teori mengenai aseksual dan "parafilia 'berorientasi target', yang di dalamnya ada inversi, pembalikan, atau pemutusan hubungan antara diri sendiri dan target/objek perhatian/ketertarikan seksual biasanya" (seperti ketertarikan pada diri sendiri, yang dilabeli "otomonoseksualisme").[39]

Dalam sebuah artikel yang ditulis di awal tahun 2006, Bogaert mengakui bahwa perbedaan antara perilaku dan ketertarikan telah diterima ke dalam konseptualisasi orientasi seksual terkini, yang membantu memposisikan aseksualitas sebagai orientasi seksual.[71] Dia menambahkan bahwa, dengan kerangka kerja seperti ini, "ketertarikan seksual (yang subjektif) merupakan inti psikologis orientasi seksual", dan juga mengemukakan bahwa mungkin ada "semacam skeptisisme dalam [baik] komunitas akademik maupun komunitas klinis" mengenai pengklasifikasian aseksualitas sebagai orientasi seksual, dan bahwa pengklasifikasian ini menimbulkan dua penyangkalan: Pertama, dia berpendapat bahwa mungkin terdapat masalah dengan pelaporan diri (misalnya, "kekurangan ketertarikan yang 'diterima' atau 'dilaporkan'. khususnya untuk definisi orientasi seksual yang mempertimbangkan rangsangan fisik atas ketertarikan subjektif), dan, kedua, dia mengangkat isu yang tumpang-tindih antara ketiadaan hasrat seksual dan keberadaan hasrat seksual yang sangat rendah, dengan mereka yang memiliki hasrat sangat rendah mungkin masih mempunyai "orientasi seksual yang agak tersembunyi" meskipun secara potensial teridentifikasi sebagai aseksual.[71]

Komunitas

Umum

Templat:LGBT symbols

Sebagian anggota komunitas aseksual memilih menggunakan cincin hitam di jari tengah tangan kanan mereka sebagai bentuk identifikasi.[72]

Saat ini kekurangan karya akademik dengan sejarah komunitas aseksual.[73] Meskipun beberapa situs pribadi untuk orang-orang dengan sedikit sekali atau tak memiliki hasrat seksual terdapat di Internet pada dasawarsa 1990an,[74] para akademisi menyatakan bahwa komunitas aseksual yang mengidentifikasi diri bergabung di awal abad 21, yang dibantu oleh popularitas komunitas daring.[75] Volkmar Sigusch menyatakan bahwa "Kelompok-kelompok seperti 'Gadis Tua Kulit' membela kehidupan aseksual melawan tekanan budaya" dan bahwa "Geraldin van Vilsteren menciptakan 'Masyarakat Nonlibidoisme' di Belanda, sementara Yahoo menawarkan satu kelompok bagi aseksual, 'Surga bagi Amuba Manusia.'"[74] Asexual Visibility and Education Network/Jaringan Kebertampakan dan Pendidikan Aseksual (AVEN) merupakan satu organisasi yang didirikan oleh aktivis aseksualitas Amerika, David Jay, di tahun 2001 yang memusatkan perhatian pada isu-isu aseksualitas.[4] Tujuannya yang ditetapkan adalah "menciptakan penerimaan dan diskusi publik mengenai aseksualitas dan memfasilitasi pertumbuhan komunitas aseksual".[4][12]

Bagi sebagian orang, menjadi bagian dari suatu komunitas merupakan sumber yang penting karena mereka seringkali melaporkan merasa dikucilkan.[25] Meskipun terdapat komunitas-komunitas daring, hubungan denngan komunitas daring bervariasi. Sebagian mempertanyakan konsep komunitas daring, sementara yang lainnya sangat mengandalkan komunitas aseksual daring untuk mendapatkan dukungan. Elizabeth Abbott menempatkan bahwa selalu ada unsur aseksual dalam populasi, tapi orang-orang aseksual selalu bersikap tidak menonjol. Meskipun kegagalan menyempurnakan pernikahan dilihat sebagai penghinaan terhadap sakramen pernikahan dalam abad pertengahan di Eropa, dan terkadang digunakan sebagai dasar perceraian atau membatalkan pernikahan, aseksualitas, tak seperti homoseksualitas, tak pernah bertentangan dengan hukum, dan biasanya tidak disadari keberadaannya. Namun, dalam abad ke-21, anonimitas komunikasi daring dan popularitas umum berjejaring sosial secara daring telah memfasilitasi pembentukan komunitas yang dibangun karena identitas aseksual yang sama.[76]

Komunitas-komunitas seperti AVEN dapat bermanfaat bagi mereka yang mencari jawaban untuk menyelesaikan krisis identitas berkenaan dengan kemungkinan aseksualitas mereka. Para individu yang melalui serangkaian proses emosional yang berakhir dengan mereka mengidentifikasi dengan komunitas aseksual. Pertama-tama mereka menyadari bahwa ketertarikan seksual mereka berbeda dari sebagian besar masyarakat. Perbedaan ini mengarah pada mempertanyakan apakah perasaan mereka itu dapat diterima, dan kemungkinan alasan mengenai kenapa mereka merasa seperti itu. Keyakinan patologis cenderung mengikuti, yang dalam sebagian kasus, mereka mungkin mencari pertolongan medis karena mereka merasa memiliki penyakit. Pemahaman diri biasanya dicapai ketika mereka menemukan definisi yang sesuai dengan keyakinan mereka. Komunitas aseksualitas menyediakan dukungan dan informasi yang memungkinkan aseksual yang baru teridentifikasi dari klarifikasi diri mengidentidikasi di tingkat komunal, yang dapat menjadi pemberdayaan, karena mereka sekarang memilliki sesuatu yang dapat diasosiasikan pada diri sendiri, yang memberi normalitas pada situasi pengasingan secara sosial sepenuhnya.[77]

Organisasi aseksual dan sumber-sumber Internet lain memainkan peranan kunci dalam memberi informasi pada orang-orang mengenai aseksualitas. Kurangnya penelitia membuat para dokter sulit memahami penyebabnya. Seperti orientasi seksual manapun, sebagian orang yang aseksual mengidentifikasi diri. Hal ini dapat menjadi masalah ketika aseksualitas disalahpahami karena masalah keintiman atau hubungan atau karena gejala-gejala lain yang tidak mendefinisikan aseksualitas. Ada juga pipulasi signifikan yang tidak memahami maupun mempercayai aseksualitas, yang menambahkan pentingnya organisasi-organisasi ini meberi informasi pada populasi pada umumnya; namun, karena kurangnya fakta ilmiah mengenai subjek ini, yang dipromosikan kelompok-kelompok ini sebagai informasi seringkali dipertanyakan.

Pada tanggal 29 Juni 2014, AVEN mengorganisir Konferensi Aseksualitas Internasional, sebagai satu afiliasi peristiwa Kebanggaan Dunia di Toronto. Yang pertama diadakan pada tahun 2012 di London.[78] Peristiwa kedua ini, yang dihadiri sekitar 250 orang, merupakan kumpulan aseksual terbesar hingga saat ini.[79] Konferensi ini meliputi presentasi, diskusi, dan lokakarya mengenai topik-topik seperti penelitian mengenai aseksualitas, hubungan aseksual, dan identitas yang saling bersimpangan.

Simbol

Bendera kebanggan aseksual

Di tahun 2009, anggota AVEN berpartisipasi pertama kali bergabung dalam pawai kebanggaan Amerika ketika berjalan bersama Pawai Kebanggaan San Francisco.[80] Pada bulan Agustus 2010, setelah satu periode perdebatan mengenai kepemilikan bendera aseksual dan bagaimana untuk memasang sistem menciptakan bendera, serta menghubungi sebanyak mungkin komunitas aseksual, sebuah bendera diumumkan sebagai bendera kebanggaan aseksual oleh salah seorang tim yang terlibat. Bendera terakhir merupakan kandidat terpopuler dan sebelumnya terlihat dipergunakan dalam forum daring di luar. Pengambilan suara terakhir diadakan dengan satu sistem survei di luar AVEN yang menjadi wadah upaya-upaya mengorganisir pembuatan bendera. Warna-warna benderanya telah digunakan dalam karya seni dan diacu dalam artikel-artikel mengenai aseksualitas.[81] Bendera itu terdiri dari empat baris warna horizontal: hitam, abu-abu, putih, dan ungu dari atas ke bawah. Hitam melambangkan aseksualitas, abu-abu melambangkan area abu-abu di antara seksual dan aseksual, putih melambangkan seksualitas, dan ungu melambangkan komunitas.[82][83][84]

Minggu As

Minggu As (semula Minggu Kesadaran Aseksual) muncul di satu minggu penuh terakhir bulan Oktober. Minggu ini merupakan periode kesadaran yang diciptakan untuk merayakan dan membawa kesadaran pada aseksualitas (termasuk aseksualitas abu-abu).[85][86] Minggu ini diselenggarakan pertama kali oleh Sara Beth Brooks di tahun 2010.[87][88]

Hari Aseksualitas Internasional

Hari Aseksualitas Internasional (IAD) merupakan perayaan tahunan komunitas aseksual yang dilakukan pada tanggal 6 April.[89] Maksud hari ini adalah "menempatkan penegasan khusus pada komunitas internasional, melampaui orang-orang berbahasa Inggris dan belahan Barat yang sejauh ini mendapatkan jangkauan paling luas".[90] Sebuah komite internasional menghabiskan waktu di bawah satu tahun mempersiapkan acara ini, dan juga mempublikasi situs web serta bahan-bahan pers.[91] Komite ini menetapkan tanggal 6 April untuk menghindari berbenturan dengan sebanyak mungkin tanggal penting di seluruh dunia, meskipun tanggal ini mungkin dapat diulas kembali dan mungkin berubah di tahun-tahun mendatang.[90][92]

Hari Aseksual Internasional pertama dirayakan tahun 2021 dan melibatkan organisasi aseksual dari setidaknya 26 negara.[89][93][94] Aktivitasnya termasuk pertemuan virtual, program advokasi baik daring maupun luring, dan berbagi kisah dengan berbagai bentuk karya seni.[95]

Agama

Kajian-kajian menemukan tidak ada hubungan statistik yang signifikan antara agama dan aseksualitas,[96] karena aseksualitas muncul sebagai kelaziman dalam individu berkeyakinan beragama dan tidak beragama.[96] Namun demikian, aseksualitas bukan tidak biasa di antara klerus yang selibat, sementara yang lainnya kemungkinan besar tidak terdorong oleh sumpah kesucian.[97] Dalam kajian Aicken, Mercer, dan Cassell, proporsi responden Muslim lebih tinggi daripada Kristen dilaporkan bahwa mereka tidak mengalami berbagai bentuk ketertarikan seksual apapun.[96]

Karena penerapan yang relatif terkini mengenai istilah aseksualitas, sebagian besar agama tidak memiliki pendirian jelas mengenai aseksualitas.[98][tepercaya?] Dalam [[]] Matthew:19:11-12-9, Yesus menyebutkan "Karena ada orang kasim yang terlahir seperti itu, dan ada orang kasim yang dibuat menjadi kasim oleh orang lain – dan ada orang-orang yang memilih untuk hidup seperti orang kasim demi kerajaan surga."[99] Sebagian penafsir alkitab telah menginterpretasi "orang kasim yang dilahirkan seperti itu" meliputi aseksual.[99][100]

Kaum nasrani secara tradisional mengacu selibat (yang tidak sama dengan aseksualitas); rasul Paul, yang menulis sebagai orang yang selibat, telah digambarkan oleh beberapa penulis sebagai aseksual.[101] Dia menulis dalam [[|]] Corinthians#7:6-9 1 Corinthians:7:6-9-9,

Saya berharap semua manusia seperti saya. Tapi setiap manusia memiliki berkat mereka sendiri; yang seorang memiliki berkat ini, yang lainnya memiliki berkat itu. Sekarang pada yang tak menikah dan sudah bercerai saya mengatakan: Baik bagi mereka tetap tidak menikah, seperti saya. Tapi jika mereka tidak dapat mengendalikan diri, mereka harus menikah, karena lebih baik menikah daripada terbakar gairah.

Diskriminasi dan perlindungan hukum

Barisan aseksual dalam pawai kebanggaan di London

Sebuah kajian yang diterbitkan tahun 2012 dalam Proses Kelompok & Hubungan Antarkelompok melaporkan bahwa aseksual dievaluasi lebih negatif dalam hal prasangka, dehumanisasi dan diskriminasi daripada kaum minoritas seksual lainnya, seperti laki-laki gay, perempuan lesbian, dan biseksual. Baik orang homoseksual maupun heteroseksual berpikir aseksual bukan hanya dingin, tapi juga berkarakter kebinatangan dan tak terkekang.[102] Namun sebuah kajian berbeda menemukan sedikit bukti diskriminasi serius terhadap aseksual karena keaseksualitasan mereka.[103] Seorang aktivis aseksual, penulis, dan bloger, Julie Decker, telah mengamati bahwa pelecehan dan kekerasan seksual, seperti pemerkosaan korektif, biasanya menjadikan komunitas aseksual sebagai korban.[104] Sosiolog Mark Carrigan melihat titik tengahnya, berpendapat bahwa meskipun aseksual memang sering mengalami diskriminasi, bukan merupakan sifat fobia tapi "lebih pada soal meminggirkan karena orang-orang memang tidak memahami aseksualitas."[105]

Aseksual juga menghadapi prasangka dari komunitas LGBT.[47][104] Banyak orang LGBT berasumsi bahwa siapapun yang bukan homoseksual atau biseksual pasti lurus[47] dan sering mengecualikan aseksual dari definisi mereka terhadap queer.[47] Meskipun banyak organisasi terkenal yang mengabdi membantu komunitas LGBTQ,[47] organisasi-organisasi ini pada umumnya tidak menjangkau aseksual[47] dan tidak menyediakan bahan-bahan pustaka mengenai aseksualitas.[47] Saat melela sebagai aseksual, aktivis Sara Beth Brooks diberitahu oleh banyak orang LGBT bahwa aseksual seringkali disalahpahami dalam identifikasi diri mereka dan mencari perhatian yang tak layak didapat dalam gerakan keadilan sosial.[104] Organisasi-organisasi LGBT lainnya, seperti The Trevor Project dan Gugus Tugas LGBTQ Nasional, secara eksplisit memasukkan aseksual karena mereka nonheteroseksual sehingga dapat dimasukkan dalam definisi queer.[106][107] Sebagian organisasi sekarang menambahkan A pada akronim LGBTQ untuk meliputi aseksual; namun, ini masih merupakan topik kontroversial dalam beberapa organisasi queer.[108]

Dalam sebagian wilayah hukum, aseksual memiliki perlindungan hukum. Saat Brazil melarang sejak tahun 1999 patologisasi apapun atau upaya perawatan/pengobatan orientasi seksual oleh para profesional kesehatan mental melalui kode etik nasional,[109] negara bagian AS, New York, melabeli aseksual sebagai kelas yang dilindungi.[110] Namun, aseksualitas tidak secara sewajarnya menarik perhatian publik atau pengawasan utama; karenanya, aseksual masih belum menjadi subjek legislasi sebanyak yang dimiliki orientasi seksual lainnya.[37]

Dalam media

Sir Arthur Conan Doyle secara sengaja menggambarkan karakternya Sherlock Holmes sebagai, yang di masa kini diklasifikasikan dalam, aseksual.[97]

Perwakilan aseksual dalam media dibatasi dan jarang diakui atau dikonfirmasi secara terbuka oleh para pencipta atau penulis.[111] Dalam karya-karya yang disusun sebelum awal abad dua puluh satu, karakter-karakternya secara umum secara otomatis diasumsikan seksual[112] dan keberadaan seksualitas karakternya biasanya tidak pernah dipertanyakan.[112] Sir Arthur Conan Doyle menggambarkan karakternya, Sherlock Holmes, yang di masa kini diklasifikasikan sebagai aseksual,[97] dengan maksud membuat karakternya hanya didorong oleh kecerdasan dan memiliki kekebalan pada hasrat tubuh.[97] Karakter Komik Archie, Jughead Jones, kemungkinan dimaksud oleh penciptanya sebagai foil terhadap heteroseksualitas Archie yang berlebihan, tapi setelah bertahun-tahun, penggambarannya berubah, dengan berbagai pengulangan dan penyalaan ulang serialnya mengimplikasikan dia sebagai gay atau heteroseksual.[97][113] Di tahun 2016, dia dikonfirmasi sebagai aseksual dalam komik Jughead,New Riverdale.[113] Para penulis pertunjukan televisi Riverdale di tahun 2017, berdasarkan komik Archie, memilih untuk menggambarkan Jughead sebagai heteroseksual meskipun banyak permohonan dari pemuja dan aktor Jughead, Cole Sprouse, untuk mempertahankan aseksualitas Jughead dan memperkenankan komunitas aseksual diwakili di sampingn komunitas gay dan biseksual, yang keduanya hadir dalam pertunjukan tersebut.[114] Keputusan ini memicu percakapan mengenai penghapusan aseksual secara sengaja dalam media dan akibat-akibatnya, terutama pada penonton yang lebih muda.[115]

Anthony Bogaert mengklasifikasikan Gilligan, thekarakter eponim dari serial televisi dasawarsa 1960an, Gilligan's Island, sebagai aseksual.[97] Bogaert berpendapat bahwa produser pertunjukannya mungkin menggambarkannya seperti itu untuk membuatnya lebih berhubungan dengan penonton laki-laki muda pertunjukan itu yang belum mencapai pubertas dan karenanya dianggap belum mengalami hasrat seksual.[97] Sifat aseksual Gilligan juga memperkenankan produser secara sengaja mengatur situasi komedik saat Gilligan menolak upaya-upaya pendekatan para perempuan yang menarik.[97] Pertunjukan film dan televisi seringkali memperlihatkan karakter perempuan aseksual yang "diubah" menjadi heteroseksual oleh protagonis laki-laki di akhir produksinya.[97] Penggambaran tidak realistis ini merefleksikan keyakinan laki-laki heteroseksual bahwa semua perempuan aseksual diam-diam berhasrat pada laki-laki.[97]

Aseksualitas sebagai identitas seksual, dan bukan sebagai entitas biologis, didiskusikan lebih luas dalam media di awal abad dua puluh satu.[111] Satu serial Fox Network, House, yang mewakili pasangan "aseksual" dalam episode "Better Half". Namun, representasi ini dipertanyakan oleh para anggota komunitas aseksual (termasuk pendiri AVEN, David Jay) karena episode ini berakhir dengan pengungkapan bahwa lelakinya hanya memiliki tumor kelenjar di bawah otak yang mengurangi dorongan seksnya, dan perempuannya hanya berpura-pura menjadi aseksual untuk menyenangkannya.[116] Hal ini membuat kontrobersi mengenai keterwakilannya dan membuat petisi change.org agar Fox Network mempertimbangkan bagaimana cara mewakilkan karakter aseksual di masa depan, dengan menyatakan "mewakilkan aseksualitas dengan sangat buruk dengan cara menempelkannya pada kondisi sakit secara medis dan muslihat."[116] Seri televisi animasi anak SpongeBob SquarePants di bawah spekulasi (2002) dan kontroversi selanjutnya (2005) karena mengklaim bahwa SpongeBob dan sahabatnya, Patrick, gay.[117][118] Hal ini mendorong penciptanya, Stephen Hillenburg, mengklarifikasi dalam kedua peristiwa bahwa dia tidak menganggap mereka gay atau heteroseksual, tetapi aseksual.[119][120][121] Dia juga menghubungkan kemampuan SpongeBob untuk mereproduksi secara aseksual dengan cara "bertunas" untuk menjelaskan lebih jauh bahwa karakternya tidak membutuhkan hubungan.[122]

Serial Netflix, BoJack Horseman di akhir musim ketiga mengungkapkan bahwa Todd Chavez, salah seorang karakter utamanya, aseksual. Pengungkapan ini dielaborasi lebih jauh di musim keempat serial ini dan secara umum diterima oleh komunitas aseksual untuk metode perwakilannya yang positif.[123]

Lihat juga

  • Asosialitas – kekurangan ketertarikan dalam hubungan sosial secara umum
  • Antiseksualisme – pandangan seseorang yang antagonis pada seksualitas
  • Skala Kinsey – suatu skala untuk seksualitas manusia dengan X mengindikasikan "tanpa kontak atau hubungan sosioseksual"
  • Penggambaran media terhadap aseksualitas
  • Cinta Platonik – cinta berkasih sayang nonromantis/nonseksual
  • Hubungan queerplatonik – satu bentuk berpasangan kasih sayang nonromantis/nonseksual
  • Pernikahan tanpa seks – satu pernikahan yang pasangannya melakukan sedikit sekali seks atau tanpa seks sama sekali
  • Anoreksia seksual – kehilangan "selera" untuk interaksi romantis-seksual
  • Linimasa sejarah aseksual
  • Rangsangan supernormal – satu bentuk rangsangan nonseksual, yang bertentangan dengan libido

Catatan penjelasan

References

Bacaan lain

Prana luar

Templat:Asexuality topics