Filsafat Buddhis

Filsafat Buddha mengacu kepada pandangan atau penerapan ajaran Buddha terhadap nilai-nilai kehidupan, eksistensi, pengetahuan, akal budi, materi, serta moralitas manusia. Semasa hidupnya, Buddha Gautama secara personal tidak pernah mendokumentasikan apa yang ia ajarkan dalam bentuk tulisan, sehingga filsafat Buddha dibangun berdasarkan rekonstruksi yang dilakukan terhadap ajaran-ajaran Buddha yang berkembang dalam aliran-aliran Buddha pasca kematian beliau.[1] Pokok kajian filsafat Buddha pada awalnya ditekankan pada dukkha yang menjadi awal permasalahan dan eksistensi kehidupan di dunia ini. Pokok kajian tersebut dirangkum dalam empat kebenaran mulia, termasuk di dalamnya jalan pembebasan dari dukkha tersebut untuk mencapai nibbana.[2] Seiring berjalannya waktu, kajian filsafat Buddha kemudian mencakup kajian filsafat pada umumnya seperti etika, epistemologi, fenomenologi, logika, ontologi, serta logika; termasuk nantinya isu-isu kontemporer seperti etika lingkungan, biomedis, perang dan perdamaian, hak asasi manusia hingga kajian gender.

Artikel ini tersedia dalam versi lisan
Dengarkan versi lisan dari artikel ini (34 menit)
noicon
Ikon Wikipedia Lisan
Berkas suara ini dibuat berdasarkan revisi dari artikel ini per tanggal 19 Juli 2022 (2022-07-19), sehingga isinya tidak mengacu pada revisi terkini.

Seperti halnya ajaran Buddha yang berkembang menjadi dua mazhab yang dikenal secara umum, Theravada dan Mahayana, kajian terhadap filsafat Buddha juga terbagi ke dalam beberapa aliran Buddhis yang berkaitan dengan dua mazhab tersebut. Aliran-aliran ini memiliki persepsi yang berbeda terhadap beberapa poin dalam ajaran Buddha, yang kemudian menjadi kajian ilmu filsafat klasik maupun kontemporer.

Hal-hal tertentu dari filsafat Buddha sering menjadi subjek perselisihan antara aliran-aliran Buddhisme yang berbeda. Elaborasi dan perselisihan ini memunculkan berbagai aliran dalam Buddhisme awal dari Abhidharma, dan tradisi dan aliran Mahayana dari prajnaparamita, Madhyamaka, sifat kebuddhaan, dan Yogacara.

Basis fundamental ajaran Buddha

Ajaran Buddha dalam perkembangannya memiliki cakupan yang sangat luas. Dalam tinjauannya, ajaran Buddha pada masa-masa awal dapat direduksi menjadi beberapa fondasi dasar yakni: empat kebenaran mulia, jalan mulia berunsur delapan (jalan tengah), kamma, dan kelahiran berulang atau punnabhawa.[3][4]

Empat Kebenaran Mulia

Salah satu ajaran dasar Buddha dikenal sebagai Empat Kebenaran Mulia. Empat Kebenaran Mulia merupakan ajaran Buddha mengenai Dukkha atau penderitaan.[5] Menurut ajaran Buddha, untuk menghindari dukkha, maka manusia harus memahami empat kebenaran mulia yaitu:[6][7][8]

  1. Kebenaran tentang penderitaan (dukkha): Dalam Dhammacakkappavattana Sutta dijelaskan bahwa dukkha meliputi lima proses atau aspek yang dialami manusia di dunia, yaitu: kelahiran, proses penuaan, hingga kematian; kesedihan serta keputus-asaan; disatukan dengan yang tidak dicintai; perpisahan dengan yang dicintai; dan tidak memperoleh yang diinginkan; kelima hal yang melekat pada diri manusia tersebut adalah dukkha.[6][8][9]
  2. Kebenaran tentang asal mula penderitaan (samudaya):Samudaya secara harafiah berarti sebab. Setiap penderitaan di dunia ini menurut ajaran Buddha memiliki sebab, contohnya: penyebab seorang manusia dilahirkan kembali adalah adanya keinginan untuk hidup. Sumber dari dukkha atau penderitaan menurut ajaran Buddha adalah tanhâ, yaitu nafsu keinginan yang tidak ada habis-habisnya. Nafsu ini dibagi terwujud dalam tiga bentuk yang disebut sebagai tiga akar kejahatan yang didalamnya terdapat keserakahan, kebodohan, dan kebencian.[3][6][10]
  3. Kebenaran tentang terhentinya penderitaan (nirodha):Kebenaran mulia yang ketiga berkaitan dengan teori tentang terhentinya dukkha. Menurut ajaran Buddha, cara menghentikan penderitaan atau dukkha ialah dengan menghentikan sumber dari penderitaan tersebut, yaitu tanhâ yang dibahas pada kebenaran mulia yang kedua. Secara singkat, jika kita menghentikan sebab maka tidak akan ada akibat yang kita peroleh dari dukkha itu sendiri.[11] Setelah terbebas dari dukkha, maka kita akan menuju nirvana ; ketiadaan yang abadi.[12][13]
  4. Kebenaran tentang jalan menuju terhentinya penderitaan (magga): Kebenaran mulia yang terakhir berkaitan dengan jalan atau praktik penghentian dukkha.[10] Jalan ini dinamakan jalan tengah atau jalan mulia berunsur delapan.

Jalan Mulia Berunsur Delapan

Jalan mulia berunsur delapan merupakan jalan penghentian dukkha yang juga termasuk dalam kebenaran keempat dari empat kebenaran mulia. Delapan jalan ini dapat dikelompokan dalam tiga aspek yakni:[10]

  • Kebijaksanaan (Panna), terdiri dari Pengertian Benar (sammä-ditthi) dan Pikiran Benar (sammä-sankappa).
  • Kemoralan (Sila), terdiri dari Ucapan Benar (sammä-väcä), Perbuatan Benar (sammä-kammanta), dan Pencaharian Benar (sammä-ajiva).
  • Konsentrasi (Samädhi), terdiri dari Daya-upaya Benar (sammä-väyäma), Perhatian Benar (sammä-sati), dan Konsentrasi Benar (sammä-samädhi).

Kedelapan jalan ini dapat ditabulasikan sebagai berikut:

DivisiFaktor Berunsur DelapanSanskrit, Pali
Kebijaksanaan

(Sanskrit: prajñā,Pāli: paññā)

1. Pengertian (Pandangan) Benarsamyag dṛṣṭi,sammā ditthi
2. Pikiran Benarsamyag saṃkalpa,sammā sankappa
Perilaku Etis

(Sanskrit: śīla,Pāli: sīla)

3. Ucapan Benarsamyag vāc,sammā vāca
4. Perbuatan Benarsamyag karman,sammā kammanta
5. Pencaharian (Penghidupan) Benarsamyag ājīvana,sammā ājīva
Konsentrasi

(Sanskrit and Pāli: samādhi)

6. Daya upaya Benarsamyag vyāyāma,sammā vāyāma
7. Perhatian Benarsamyag smṛti,sammā sati
8. Konsentrasi Benarsamyag samādhi,sammā samādhi

Kamma

Kamma atau karma (dalam bahasa Sanskerta) secara harfiah berarti perbuatan atau suatu aksi. Istilah ini merujuk fenomena bahwa setiap aksi atau perbuatan pastilah membawa konsekuensi. Ajaran Buddha memberikan perhatian bahwa setiap perbuatan yang patut atau tidak patut dan kebiasaan yang bermanfaat atau merugikan akan membawa kita kepada suatu konsekuensi yang sesuai.[14] Kamma menempatkan individu sebagai penanggunnya. Suatu individu akan menerima baik-buruknya konsekuensi dari perbuatannya entah saat ini, di masa depan atau dikehidupan berikutnya.[15][16]

Kelahiran kembali (punabhava)

Kelahiran kembali (Pali: Punabbhava) merupakan suatu proses menjadi ada/eksis atau lahir kembali dari suatu makhluk hidup di kehidupan mendatang (setelah ia meninggal/mati). Proses ini berkaitan dari kamma (perbuatannya) suatu individu pada kehidupan lampau.[17] Terjadinya kelahiran kembali pada suatu makhluk mengindikasikan bahwa makhluk tersebut masih memiliki keterikatan duniawi. Ajaran Buddha mengajarkan untuk menghindari kelahiran kembali melalui jalan mulia berunsur delapan.[10]

Perkembangan mazhab Buddha dalam kajian filsafat

Theravada

Lukisan Sang Buddha Gautama saat memberikan khotbah.

Theravada secara harafiah berarti, "Ajaran Sesepuh" atau "Pengajaran Dahulu". Theravada merupakan ajaran yang konservatif, dan secara menyeluruh merupakan ajaran terdekat dengan ajaran Buddha pada awalnya.[18] Ajaran Theravada berakar pada ontologi yang realistis terhadap alam semesta. Dalam definisi ini, pemikir, pikiran dan objek yang dipikirkan merupakan entitas yang keadaannya tidak saling berkaitan, sehingga objek merupakan hal yang nyata dan bukanlah produk pemikiran dari subjek pemikir.[19] Namun menurut pandangan Theravada, objek dan dunia ini tidak memiliki keadaan yang mutlak. Setiap objek dalam kajian Theravada memiliki ketergantungan dengan objek yang lainnya. Seperti contoh pasir berasal dari kerikil, kerikil berasal dari batu, batu berasal dari magma dan seterusnya, sehingga dunia ini, secara keseluruhan dalam pandangan Theravada hanya memiliki realitas yang relatif dan bukan absolut. Keadaan dunia yang memiliki realitas saling bergantung ini dinamakan Paticcasamuppada atau hukum sebab musabab.[20] Tujuan spiritual dari pengertian ini adalah untuk menyadari bahwa dunia ini hanyalah aliran semu dari berbagai objek terhadap waktu. Dengan kesadaran ini manusia diharapkan dapat terbebas dari nafsu dan kemudian terbebas dari dukkha dan penderitaan, sehingga kemudian mencapai nibbana .[19]

Dalam bahasan metafisika lainnya, kajian-kajian yang berkaitan dengan Theravada membedakan jenis kebenaran menjadi dua; yakni kebenaran konvensional dan kebenaran akhir (ultimate). Kebenaran konvensional menurut kajian Theravada merupakan kebenaran yang membuat kita berhasil melakukan suatu tindakan, sedangkan kebenaran akhir merupakan kebenaran yang berkaitan dengan cara alam semesta bekerja atau ilmu alam.[21][22] Pada pandangan metafisika yang berkaitan dengan eksistensi, telah disebutkan bahwa kajian Theravada memandang suatu objek, fenomena, dan subjek pemikir merupakan entitas yang terpisahkan atau independen. Berkaitan dengan eksistensi objek, fenomena dan subjek pemikir tersebut, kajian Theravada juga mengelompokan objek yang ada di dunia menjadi dua jenis; Objek yang nyata secara konvensional (conventionally-real) dan Objek nyata primer (ultimate-real).[22] Objek yang nyata secara konvensional objek yang memiliki penyusun seperti tubuh manusia, rumah, pesawat dan lain sebagainya, sementara objek yang nyata primer (ultimate-real) terdiri dari empat unsur yakni: air, tanah, udara, dan api. Terdapat pula objek nyata primer yang tidak berbentuk fisis dalam definisi kajian Theravada seperti perasaan, kemauan, dan kesadaran.[21][22]

Mahayana

Sementara ajaran Mahayana sering dikaitkan dengan ontologi idealis.[19][22] Ontologi idealistis menyatakan objek dalam realita merupakan produk kesadaran. Sehingga dapat dikatakan objek-objek di dunia ini merupakan objek semu karena bergantung pada kesadaran terhadap setiap individu atau subjek pemikir.[23] Dalam kajiannya secara umum, ajaran Buddha Mahayana memiliki dua aliran yakni: Madhyamaka dan Yogacara.

Pemikir awal dan sering juga disebut sebagai pencetus dari aliran Madhyamaka adalah Nagarjuna. Nagarjuna menulis banyak risalah tentang kajian filsafat dalam ajaran Buddha. Salah satunya adalah Mula-madhyamaka-karika yang merupakan literatur kunci dari bahasan Madhyamaka.[22] Pokok dari bahasan filsafat ajaran Madhyamaka adalah gagasan dalam ajaran Buddha bahwa, setiap individu dan kejadian yang terjadi di dunia ini sejatinya tanpa esensi (svabaha dan sunyata).[24] Nagarjuna menggambarkan pemikirannya sebagai jalan tengah diantara dua kajian ekstrim. Nagarjuna menolak pandangan eternalisme yakni pandangan yang menyatakan bahwasannya suatu realitas yang tidak bergantung waktu ; masa lalu masih ada dan masih berjalan, masa kini sedang berjalan, masa depan telah ada dan telah berjalan.[22][25] Nagarjuna juga menolak gagasan nihilisme berkaitan dengan kekosongan (sunyata) mutlak bahwa setiap fenomena yang terjadi didunia tidak memiliki inti dan merupakan sesuatu yang semu. Menurut Nagarjuna kesemua entitas dan fenomena yang ada dan terjadi di dunia ini nyata namun bersifat sementara. Pandangan inilah kemudian disebut sebagai jalan tengah.[22][26] Sementara pandangan Yogacara menolak gagasan realisme dari Theravada dan kesementaraan fenomena-objek yang ditawarkan Mahayana.[27] Ajaran Yogacara menekankan pembahasan suatu fenomena-objek di alam semesta harus melalui pikiran(citta) dan kesadaran(vijnana) manusia.[22][27][28] Dalam ajaran Yogacara, realitas termasuk didalamnya yaitu, objek dan fenomena yang dapat dirasakan manusia, bukanlah sesuatu yang nyata, karena hal tersebut dihasilkan oleh kesadaran manusia; kesadaran manusia merupakan hal yang nyata dan juga sementara dalam ajaran ini.[22][27] Selain kesadaran manusia, hal lain yang dipandang sebagai sesuati yang nyata dalam ajaran Yogacara adalah kekosongan (sunyata).[27]

Tibet

Ajaran Buddha di Tibet merupakan perkembangan lebih lanjut dari ajaran Mahayana; aliran Madhamaka dan Yogacara. Juga dalam perkembangannya terdapat pengaruh dari kepercayaan lokal Bön.[29] Ajaran Buddha mulai berpengaruh di Tibet pada masa pemerintahan Raja Songtsän Gampo sekitar tahun 641 M. Lebih lanjut, ajaran Buddha di Tibet berkembang menjadi empat aliran yang dikenal secara umum yakni:[29][30]

  1. Nyingma: Nyingma merupakakan aliran Buddha tertua di Tibet. Menurut ajaran Nyingma inti atau esensi dari setiap makhluk adalah kesadaran.[29][31][32]
  2. Sakya: Sakya memiliki bahasan yang erat kaitannya dengan literatur-literatur Tantra.[33] Sakya menekankan anti-realisme dalam pembahasan fenomena-objek di dunia.[34]
  3. Kagyu: Kagyu memiliki doktrin utama yang dinamakan Mahamudra. Mahamudra merupakan gabungan teknik meditasi dan Yoga yang dipercaya dapat memberikan kita persepektif terhadap kehampaan (sunyata).[35][36]
  4. Gelug: Gelug merupakan aliran yang erat kaitannya dengan Dalai lama.[37] Di antara aliran lainnya, Gelug merupakan aliran yang paling menekankan pembelajaran filsafat. Bahasan filsafat yang ditekankan terkait ajaran Buddha di antaranya: Prajnaparamita, Madhyamaka, Pramana, Abhidharma dan Vinapa.[38]

Ajaran Buddha di Tibet merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran Mahayana. Sehingga, dalam menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan bahasan filsafat, ajaran Buddha di Tibet menggunakan persepektif yang serupa dengan aliran Mahayana; Menekankan aspek kesadaran individu dalam setiap pembahasan fenomena-objek yang terjadi di dunia.[22] Selain itu Vajrayana yang merupakan aliran Buddha yang erat kaitannya dengan literatur Tantra, juga memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan ajaran Buddha di Tibet, baik dari bahasan filsafat maupun praktik seperti yoga dan meditasi.[22][39]

Asia Timur

Serupa dengan perkembangan di Tibet, perkembangan ajaran Buddha di Asia Timur (Tiongkok, Jepang, dan Korea) merupakan kelanjutan dari mazhab Mahayana dan erat kaitannya dengan literatur-literatur Tantra.[40][41] Sehingga bahasan yang berkaitan dengan filsafat pada umumnya memiliki inti yang serupa dengan ajaran Buddha Mahayana, meskipun dalam kelanjutannya terdapat berbagai variasi. Variasi ini berkaitan dengan pengaruh kepercayaan atau ajaran lokal yang telah berkembang seperti Konfusianisme dan Taoisme.[40] Mazhab filsafat Buddha di Asia Timur juga nantinya akan berkembang menjadi beberapa aliran; di antaranya yang dikenal secara luas: aliran Huayan, aliran Zen atau Chan, dan aliran Tiantai.[40][42]

Isu kontemporer dan aplikasi

Ajaran Buddha dan etika lingkungan

Saat ini secara global, isu lingkungan merupakan salah satu isu yang paling hangat diperbincangkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa lingkungan yang di dalamnya terdapat berbagai jenis sumber daya telah memberi manusia banyak manfaat untuk hidup dan memenuhi kebutuhan ekonomi. Namun dalam kenyataannya, sering kali dilakukan eksploitasi secara berlebih dan tanpa kontrol terhadap suatu sumber daya, sehingga menimbulkan polusi dan kerusakan yang berujung pada kerugian bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Karenanya, etika dan moralitas dalam pemanfaatan lingkungan menjadi salah satu subjek perdebatan dalam ilmu filsafat.

Ajaran Buddha secara umum merupakan tuntunan kehidupan yang didesain untuk menghapus penderitaan manusia. Permasalahan lingkungan seperti polusi, perubahan iklim, pemanasan global dan lain sebagainya, merupakan suatu permasalahan di kehidupan modern. Masalah yang berkaitan hal ini tidak terdengar pada zaman hidup Sang Buddha, sehingga sangat sulit untuk memperoleh literatur atau ceramah dari Sang Buddha yang secara spesifik berkaitan dengan topik lingkungan.[43] Namun, karena ajaran Buddha merupakan ajaran yang menjanjikan persepektif yang luas dan universal untuk segala aspek kehidupan, kajian lebih lanjut terhadap ayat-ayat dalam kitab Pali atau Tripitaka dapat menggambarkan bagaimana sebenarnya pandangan Buddha terhadap lingkungan.[44]

Seperti contoh, kajian lebih lanjut terhadap istilah tanha dan penjabarannya, mengindikasikan manusia tidak boleh serakah dan harus memiliki kontrol dalam mempergunakan atau mengkonsumsi sesuatu, termasuk sumber daya alam.[45] Konsep ahimsa yang terdapat dalam ajaran Buddha yang berarti "tidak menyakiti" mengajarkan setiap manusia untuk tidak menyakiti hewan (termasuk manusia) dan tumbuhan, mengindikasikan perilaku hidup sebagai vegetarian yang harus di jalani umat Buddha. Namun demikian terdapat perbedaan tentang konsep ini sehingga tidak semua umat dan pemuka agama Buddha menjalani hidup sebagai vegetarian.[45]

Ajaran Buddha dan permasalahan yang berkaitan dengan biomedis dan bioetika

Pada poin pertama dari empat kebenaran mulia, Sang Buddha mengajarkan aspek-aspek dari dukkha yaitu: kelahiran adalah dukkha, proses penuaan adalah dukkha, kematian adalah dukkha dan lain sebagainya. Ajaran Buddha memberikan perhatian pada kekurangan manusia tidak melalui fantasi mengerikan dari suatu penderitaan atau dukkha, melainkan penilaian secara realistis dari kondisi yang akan dialami manusia sperti kelahiran, pertambahan usia, kematian dan lain sebagainya. Kesehatan dan keterbebasan dari penyakit merupakan aspek penting dari kebahagiaan manusia, dan juga merupakan poin penting dalam ajaran Buddha.[46]

Untuk memperoleh kesehatan; menyembuhkan diri dan menghindarkan diri dari penyakit fisik, manusia mengembangkan ilmu biomedis. Namun dalam perkembangan ilmu biomedis terdapat fenomena-fenomena yang cenderung kontroversial karena dianggap tidak lumrah atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, seperti contoh: aborsi, euthanasia, dan donor organ. Seperti halnya etika lingkungan, permasalahan yang berkaitan dengan biomedis dan bioetika merupakan permasalahan zaman modern, sehingga membutuhkan kajian lebih lanjut dari ajaran Buddha untuk memahami bagaimana sebenarnya pandangan Buddha terhadap permasalahan ini.

Pada kasus aborsi, seperti masyarakat pada umumnya, terdapat pro kontra di kalangan umat Buddha terhadap tindakan ini. Umat dan pemuka ajaran Buddha konservatif menyatakan bahwa aborsi merupakan tindakan yang berkaitan dengan pembunuhan sehingga bertentangan dengan ajaran Buddha seperti pada konsep ahimsa.[47] Sementara Umat Buddha dengan pandangan yang moderat menganggap tindakan aborsi merupakan hak personal.[47] Dalai Lama dalam wawancaranya dengan New York Times menyatakan bahwa, baik buruknya pandangan terhadap suatu tindakan aborsi bergantung kepada situasi yakni, jika sang bayi mengalami diindikasikan mengalami kelainan atau keterbelakangan mental, atau bahkan menyebabkan masalah kesehatan yang serius terhadap ibu yang mengandungnya maka kasus tersebut merupakan pengecualian.[48]

Pun pada tindakan donor organ terdapat perbedaan pendapat antar pemuka umat Buddha. Perbedaan tersebut terkait ajaran Buddha yang menyarankan untuk menghindari tindakan yang berkaitan dengan pembunuhan atau menyakiti, karena donor organ dapat membahayakan nyawa pendonor.[49] Terlebih terdapat kesalahpahaman di kalangan umat Buddha awam yang memiliki pemikiran mengaitkan donor organ dengan kelahiran kembali dari seorang manusia; Jika manusia mati dengan mendonorkan atau kehilangan organ maka, di kelahiran berikutnya ia akan mengalami cacat yang berkaitan dengan organ tersebut.[50] Namun jika organ yang didonorkan oleh seorang manusia tidak membahayakan nyawa pendonor atau pendonor tersebut telah meninggal, maka pendapat pemuka agama Buddha secara umum kompak menyetujui tindakan donor organ. Bahkan Sogyal Rinpoche, seorang pemuka agama Buddha ternama dari Tibet, menyatakan bahwa tindakan donor organ merupakan tindakan yang sangat mulia, dan membawa karma yang baik.[51]

Prinsip yang menekankan kebebasan dari suatu individu merupakan pokok dari nilai-nilai dan etika Kebaratan. Prinsip ini juga menekankan bahwa setiap individu berhak memilih metode medis untuk dirinya sendiri termasuk tindakan yang ekstrim yakni euthanasia.[52][53] Pada praktiknya terdapat euthanasia yang tidak secara sukarela dilakukan oleh seorang pasien, melainkan atas permintaan keluarga. Dalam hal ini pandangan pemuka agama Buddha secara umum tidak menyetujui tindakan tersebut, karena melanggar prinsip ajaran Buddha untuk tidak membunuh.[54] Namun jika praktik ini dilakukan secara sukarela maka terjadi perbedaan pendapat, karena terdapat fakta dengan beberapa biksu secara sengaja bermeditasi hingga meninggal dunia yang dapat dikaitkan dengan tindakan bunuh diri.[49][54]

Perang dan perdamaian dalam pandangan Buddha

Dalam ajaran Buddha, tidak ditemukan ayat yang mendukung penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan suatu permasalahan, bahkan termasuk untuk mempertahankan diri.[55] Pada Kamcupamasutta, Majjhima-Nikkaya I ~ 28-29 terdapat kutipan:[56][57]

Potongan ayat diatas menekankan bahwa ajaran Buddha menolak tindakan kekerasan, bahkan kebencian terhadap musuh.[55]

Saat membahas tentang peperangan dan perdamaian dalam konteks ajaran Buddha, sangat penting untuk membedakan antara kajian filsafat dan praktik dari ajaran Buddha secara spesifik. Ajaran Buddha maupun dalam kajian filsafatnya baik Theravada dan juga Mahayana sangat menekankan konsep tanpa kekerasan pada setiap aspek kehidupan termasuk dalam pengambilan keputusan. Sementara umat Buddha sendiri jika dikaji berdasarkan sejarah hingga saat ini dapat ditemukan partisipasinya dalam peperangan atau tindakan kekerasan.[58] Seperti pada yang ditemui pada gerakan nasionalis di Thailand, Sri Lanka,[58] dan Myanmar ; Atau bahkan lebih jauh ke zaman peradaban Tiongkok kuno, terdapat catatan sejarah diimana pada tahun 621, para biksu dari kuil Shaolin berpartisipasi dalam pertempuran untuk membantu Dinasti Tang yang berkuasa.[59] Keterlibatan dalam suatu pertempuran untuk mempertahankan diri, keluarga, dan negara secara umum tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Begitu pula dalam pandangan awam umat Buddha.[59] Hal ini kemudian yang umum dipakai oleh pemimpin politik untuk menyusun suatu narasi, demi mempertahankan wilayah, atau bahkan untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya.

Hak asasi manusia dalam pandangan ajaran Buddha

Secara singkat, hak asasi manusia merupakan suatu norma yang didefinisikan secara universal untuk melindungi seluruh manusia dari penyalahgunaan kekuasaan, hukum, dan tradisi.[60] Contoh hak asasi manusia seperti: hak dalam kebebasan beragama, hak untuk hidup, hak untuk tidak mendapat siksaan, hak untuk terlibat dalam aktivitas politik, dan lain-lain.[61] Dalam ajaran Buddha, tidak terdapat definisi pasti mengenai hak asasi manusia. Kata "hak" selalu menjadi kata yang asing jika diterjemahkan dalam bahasa yang terkait literatur ajaran Buddha.[62] Meskipun demikian, hal ini bukan berarti ajaran Buddha tidak mendukung konsepsi dari hak asasi manusia, bukan pula menandakan bahwasanya ajaran Buddha kekurangan konsep untuk menjelaskan istilah "hak asasi manusia". Melainkan perlu dilakukan kajian lebih lanjut terhadap ajaran Buddha untuk mendapatkan pandangannya terhadap konsep hak asasi manusia. Pandangan ajaran Buddha terhadap hak asasi manusia jika dikaji lebih lanjut, tersatukan bersama konsep kewajiban dan pengakuan terhadap adanya dukkha.[62] Kewajiban manusia dalam ajaran Buddha diatur melalui hukum karma. Melalui hukum ini, setiap individu bertanggung jawab terhadap perbuatan, perkataan dan pemikiran mereka, dan juga menerima konsekuensinya.[62] Tersirat juga dari hukum karma bahwa setiap memiliki kebebasan untuk melakukan hal apapun namun dianjurkan untuk tidak melakukan tindakan yang merugikan makhluk lainnya, karena akan membawa karma buruk yang berdampak pada diri sendiri.

Persepektif ajaran Buddha pada kesetaraan gender

Lukisan Pangeran Siddharta bersama bibi sekaligus ibu angkatnya Mahapajapati

Meskipun dipandang sebagai ajaran dengan konsep egalitarianisme atau ajaran yang menekankan persamaan dalam segala aspek, ajaran Buddha dalam tradisi dan praktiknya masih mendapat kritik dalam hal kesetaraan gender ; Termasuk di dalamnya mengenai dominasi kaum pria yang begitu mencolok di institusi keagamaan Buddha.[63][64][65] Jika ditelisik melalui risalah yang berkaitan dengan ajaran Buddha, terdapat risalah yang menyatakan permintaan Mahapajapati Gotami, ibu angkat sekaligus bibi dari Sang Buddha Gautama, meminta kepada Sang Buddha untuk menjadi biarawati dan mempraktikan hidup sebagai petapa.[66][67] Sang Buddha awalnya menolak, namun setelah dibujuk oleh Ananda keponakannya, akhirnya beliau menyetujui Mahapajapati untuk bergabung sebagai biarawati, namun dengan delapan aturan tambahan yang diberi nama gurudharma.[67][68][69] Penerimaan Sang Buddha terhadap keinginan Mahajapati dianggap sebagai sesuatu yang revolusioner pada masanya, karena pada masa itu wanita dianggap lebih rendah dari kaum lelaki dan dijauhkan dari aktivitas keagamaan.[63][70] Sri Dhammananda dalam bukunya menyatakan bahwasannya, Sang Buddha merupakan guru spiritual pertama yang memberikan kebebasan berkeyakinan terhadap wanita, karena sebelum masa tersebut wanita bahkan tidak diperbolehkan untuk memasuki tempat ibadah atau membaca ayat-ayat keagamaan.[70] Namun dalam kajian kontemporer, terdapat perdebatan mengenai delapan aturan tambahan yang diberikan Sang Buddha Gautama.[71] Terdapat pendapat yang menilai aturan tersebut memuat poin yang mendiskriminasi wanita, terdapat juga pandangan yang menyatakan bahwa poin-poin tersebut disesuaikan pada masanya agar tidak timbul gejolak sosial yang besar, atau pandangan lainnya yang menyatakan poin-poin tersebut telah mengalami penyimpangan makna dari yang dimaksud pada awalnya[65][68].[72]

Baca juga

Referensi

Referensi utama untuk bacaan lanjutan

Pranala luar

Commons
Galeri dan peta
Wiktionary
Kamus dan tesaurus
Wikiquote
Kutipan
Wikibooks
Buku dan manual
 
Wikisource
Perpustakaan
Wikiversity
Bahan belajar