Orang Jepang

kelompok etnik Asia Timur yang berasal dari Jepang

Orang Jepang (Jepang: 日本人, Hepburn: Nihonjin) adalah sebuah kelompok etnik Asia Timur yang berasal dari kepulauan Jepang.[15][16] Orang Jepang membentuk 97,6% populasi negara Jepang. [1] Di seluruh dunia, 126 juta orang merupakan keturunan Jepang, menjadikan mereka salah satu kelompok etnik terbesar. 122,0 juta orang Jepang adalah penduduk Jepang,[1] dan ada 4 juta anggota diaspora Jepang, dikenal sebagai Nikkeijin (日系人).[17]

Orang Jepang
Jumlah populasi
c. 126 juta
Daerah dengan populasi signifikan
Jepang 122,0 juta[1]
Diaspora Jepang signifikan di:
Brasil2.000.000[2] (2022)
Amerika Serikat1.550.875[3] (2020)
Kanada129.425[4] (2021)
Filipina120.000[5][6][butuh sumber yang lebih baik]
Peru103.182[7] (2021)
China102.066[8] (2022)note
Australia94.942[8] (2022)note
Mexico86.143[9] (2022)
Thailand78.431[8] (2022)note
Argentina76.440[10] (2020)
Inggris65.022[8] (2022)note
Jerman42.266[8] (2022)note
Korea Selatan41.717[8] (2022)note
Perancis36.104[8] (2022)note
Singapura32.743[8] (2022)note
Malaysia24.545[8] (2022)note
Vietnam21.819[8] (2022)note
Taiwan20.345[8] (2022)note
Micronesia20.000[11][butuh sumber yang lebih baik] (2018)
Bahasa
Jepang
Agama
Terutama, dalam konteks tradisi/budaya, percampuran Shinto dan Buddhisme; minoritas Kekristenan dan agama lain[12][13][14]
Kelompok etnik terkait
Orang Ainu · Orang Ryukyu

^ Catatan: Untuk negara ini, hanya menampilkan jumlah penduduk dengan kewarganegaraan Jepang, karena jumlah orang Jepang naturalisasi dan keturunannya tidak diketahui.

Dalam beberapa konteks, istilah "orang Jepang" mungkin digunakan secara khusus merujuk kepada (Yamato-minzoku) dari Jepang daratan; dalam konteks lain istilah itu mungkin mencakup kelompok lain yang berasal dari kepulauan Jepang, seperti orang Ryukyu (Ryūkyū-minzoku), yang memiliki ikatan dengan orang Yamato tetapi umumnya dianggap berbeda, dan orang Ainu (Ainu-minzoku).[18] Dalam beberapa dekade terakhir, ada kenaikan jumlah orang dengan akar Jepang dan non-Jepang, seperti orang setengah Jepang.

Sejarah

Teori asal usul

Shakōki-dogū (遮光器土偶) (1000–400 BC), arca "tipe bermata melotot". Tokyo National Museum

Bukti arkeologis yang mengindikasikan bahwa orang Zaman Batu tinggal di kepulauan Jepang selama periode Palaeolithic dari 39.000 hingga 21.000 tahun yang lalu.[19][20] Jepang dulu terhubung dengan Asia daratan oleh setidaknya satu jembatan darat, dan pemburu-pengumpul nomadik menyeberang ke Jepang. Perkakas batu api dan peralatan dari tulang dari zaman ini telah digali di Jepang.[21][22]

Pada abad ke-18, Arai Hakuseki menyarankan bahwa perkakas batu kuno di Jepang ditinggalkan oleh Shukushin. Kemudian, Philipp Franz von Siebold berpendapat bahwa orang Ainu adalah penduduk asli di Jepang bagian utara. [23] Iha Fuyū menyarankan bahwa orang Jepang dan Ryukyu mempunyai asal usul etnik yang sama, berdasarkan penelitiannya tahun 1906 terhadap rumpun bahasa Ryukyu.[24] Di periode Taishō, Torii Ryūzō mengklaim bahwa orang Yamato menggunakan tembikar Yayoi dan Ainu menggunakan tembikar Jōmon.[23]

Setelah Perang Dunia II, Kotondo Hasebe dan Hisashi Suzuki mengklaim bahwa asal usul orang Jepang bukan pendatang di periode Yayoi (300 SM – 300 M) tetapi orang-orang di periode Jōmon.[25] Namun, Kazuro Hanihara mengumumkan teori percampuran rasial baru pada tahun 1984[25] dan "model struktur ganda" pada tahun 1991.[26] Menurut Hanihara, garis keturunan orang Jepang modern dimulai dengan orang Jōmon, yang berpindah ke kepulauan Jepang selama zaman Palaeolithic, dilanjutkan dengan gelombang imigrasi kedua, dari Asia Timur ke Jepang selama periode Yayoi (300 SM). Setelah ekspansi populasi pada zaman Neolithic, para pendatang ini pada suatu saat menemukan jalan ke kepulauan Jepang selama periode Yayoi. Akibatnya, pergantian pemburu-pengumpul adalah hal yang umum di wilayah Kyūshū, Shikoku, dan Honshū bagian selatan, tetapi tidak begitu menonjol di pulau-pulau sekitarnya, Okinawa dan Hokkaidō, dan orang Ryukyu dan Ainu menunjukkan karakteristik percampuran. Mark J. Hudson mengklaim bahwa citra utama etnik orang Jepang secara biologis dan bahasa terbentuk dari 400 SM hingga 1.200 M.[25] Saat ini, teori yang paling dipercaya adalah orang Jepang saat ini tercipta dari penanam padi Yayoi dan beragam etnisitas periode Jōmon.[27] Namun, beberapa studi baru-baru ini berpendapat bahwa orang Jōmon memiliki keberagaman etnik lebih banyak daripada yang awalnya disarankan[28] atau bahwa orang-orang di Jepang memiliki warisan genetik yang besar dari tiga populasi kuno, daripada hanya dua.[29][30]

Periode Jōmon dan Yayoi

Beberapa potongan tembikar tertua dunia yang diketahui dikembangkan oleh orang Jōmon pada periode Upper Palaeolithic, berasal dari sejauh-jauhnya 16.000 tahun. Nama "Jōmon" (縄文 Jōmon) berarti "bermotif kabel", dan berasal dari tanda karakteristik yang ditemukan pada tembikar. Orang Jōmon sebagian besar pemburu-pengumpul, tetapi juga mempraktikkan pertanian awal, seperti budidaya kacang Azuki. Setidaknya satu situs Jōmon menengah-ke-akhir (Minami Mizote (南溝手), c. 1200–1000 SM) menampilkan pertanian menumbuhkan padi zaman purba, mengandalkan terutama pada ikan dan kacang-kacangan untuk memperoleh protein. Akar etnik dari populasi periode Jōmon adalah heterogen, dan berasal dari Asia Tenggara kuno, dataran tinggi Tibet, Taiwan kuno, dan Siberia.[27][31][32]

Dimulai sekitar 300 SM, orang Yayoi yang berasal dari Asia Timur Laut memasuki pulau-pulau Jepang dan menggantikan atau bercampur baur dengan orang Jōmon.Orang Yayoi membawa pertanian padi basah dan teknologi perunggu dan besi yang canggih ke Jepang. Sistem sawah yang lebih produktif memberikan kesempatan masyarakat untuk memperbanyak populasi dan lama kelamaan menyebar, pada gilirannya menjadi dasar bagi lembaga lebih maju dan menandakan peradaban baru periode Kofun berikutnya.

Estimasi populasi di Jepang pada akhir periode Jōmon adalah sekitar delapan ratus ribu, dibandingkan dengan tiga juta pada periode Nara. Mempertimbangkan jumlah pertumbuhan masyarakat berburu dan bertani, diperkirakan satu setengah juta imigran pindah ke Jepang pada periode tersebut. Menurut beberapa studi, orang Yayoi menciptakan "masyarakat hierarki Jepang".[33][34]

Periode konsolidasi dan feodal


Periode kolonial

Lokasi Kekaisaran Jepang

Selama periode kolonial Jepang dari 1895 hingga 1945, frasa "orang Jepang" digunakan tidak hanya merujuk kepada penduduk kepulauan Jepang, tetapi juga orang-orang dari koloni yang memegang kewarganegaraan Jepang, seperti orang Taiwan dan orang Korea. Istilah resmi yang digunakan untuk menyebut etnik Jepang selama periode ini adalah "orang pedalaman" (内地人, naichijin). Perbedaan bahasa seperti itu memfasilitasi asimilasi paksa terhadap identitas etnik yang dijajah ke dalam identitas Kekaisaran Jepang yang tunggal.[35]

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, Uni Soviet mengkategorikan banyak orang Nivkh dan orang Orok dari Sakhalin bagian selatan, yang menjadi subjek kekaisaran Jepang di Prefektur Karafuto, sebagai orang Jepang dan memulangkan mereka keHokkaidō. Di sisi lain, banyak orang Korea Sakhalin yang memegang kewarganegaraan Jepang hingga berakhirnya perang berakhir tanpa kewarganegaraan akibat pendudukan Uni Soviet.[36]

Bahasa

Bahasa Jepang adalah sebuah bahasa Japonik yang berkerabat dengan bahasa-bahasa Ryukyu dan diperlakukan sebagai sebuah bahasa isolate di masa lalu. Bentuk bahasa paling awal yang berhasil dibuktikan, bahasa Jepang Kuno, berasal dari abad ke-8. Fonologi bahasa Jepang dicirikan dengan relatif sedikit jumlah fonem vokal, banyak geminasi dan sistem aksen nada yang berbeda. Bahasa Jepang modern memiliki tripartite sistem penulisan menggunakan hiragana, katakana dan kanji. Bahasa itu memiliki kata asli Jepang dan banyak jumlah kata yang diturunkan dari bahasa Tionghoa. Di Jepang tingkat melek huruf orang dewasa dalam bahasa Jepang melebihi 99%.[37] Lusinan dialek bahasa Jepang dituturkan di wilayah-wilayah Jepang. Untuk saat ini, bahasa Jepang dikategorikan sebagai anggota rumpun bahasa Japonik atau sebagai bahasa isolate tanpa kerabat hidup yang diketahui jika bahasa Ryukyu dihitung sebagai dialek.[38]

Agama

Sebuah festival Shinto di Miki, Hyogo

Agama Jepang secara tradisi bersifat sinkretis, menggabungkan elemen Buddhisme dan Shinto (Shinbutsu-shūgō).[39] Shinto, agama politeistik tanpa kitab atau kanon agama, adalah agama asli Jepang. Shinto adalah salah satu syarat dasar bagi keluarga kekaisaran Jepang untuk berkuasa dan dikodifikasi sebagai agama resmi negara pada tahun 1868 (Shinto Negara), tetapi dihapuskan oleh pendudukan Amerika Serikat pada tahun 1945. Buddhisme Mahayana tiba di Jepang pada abad keenam dan berkembang ke dalam banyak sekte berbeda. Saat ini, bentuk Buddhisme terbesar di antara orang Jepang adalah sekte Jōdo Shinshū yang didirikan oleh Shinran.[40]

Mayoritas besar orang Jepang mengaku mempercayai Shinto dan Buddhisme.[41][42][43] Agama orang Jepang sebagian besar berperan sebagai fondasi mitologi, tradisi dan aktivitas terkait lingkungan, daripada sumber tunggal yang memandu moral dalam kehidupan seseorang.[butuh rujukan]

Proporsi signifikan anggota diaspora Jepang mempraktikkan Kekristenan; 60% orang Jepang Brasil dan 90% orang Jepang Meksiko beragama Katolik Roma,[44][45] sementara 37% orang Jepang Amerika beragama Kristen (33% Protestan dan 4% Katolik).[46]

Sastra

Boneka bisque Momotarō,
karakter dari sastra dan folklor Jepang

Genre tulisan tertentu berasal dari dan sering diasosiasikan dengan masyarakat Jepang. Genre itu adalah haiku, tanka, dan I Novel, meskipun penulis modern biasanya tidak menggunakan gaya penulisan seperti ini. Dalam sejarah, banyak karya yang berupaya menangkap atau mengkodifikasi nilai-nilai dan estetika budaya tradisional Jepang. Beberapa yang terkenal adalah The Tale of Genji oleh Murasaki Shikibu (1021), tentang budaya pengadilan Heian; The Book of Five Rings oleh Miyamoto Musashi (1645), tentang strategi militer; Oku no Hosomichi oleh Matsuo Bashō (1691), buku perjalanan; dan esai "In Praise of Shadows" oleh Jun'ichirō Tanizaki (1933), yang membandingkan budaya Timur dan Barat.

Setelah Jepang membuka diri kepada Barat pada 1854, beberapa karya dengan gaya ini dituliskan dalam bahasa Inggris oleh orang Jepang asli; karya tersebut adalah Bushido: The Soul of Japan oleh Nitobe Inazō (1900), tentang etika samurai, dan The Book of Tea oleh Okakura Kakuzō (1906), yang membahas implikasi filosofis upacara minum teh Jepang. Pengamat Barat juga sering mencoba mengevaluasi masyarakat Jepang, dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda; salah satu karya paling dikenal dan kontroversial akibat dari hal ini adalah The Chrysanthemum and the Sword oleh Ruth Benedict (1946).

Para penulis Jepang abad keduapuluh mencatat perubahan dalam masyarakat Jepang melalui karyanya. Beberapa penulis paling terkenal adalah Natsume Sōseki, Jun'ichirō Tanizaki, Osamu Dazai, Fumiko Enchi, Akiko Yosano, Yukio Mishima, dan Ryōtarō Shiba. Penulis kontemporer terkenal seperti Ryū Murakami, Haruki Murakami, dan Banana Yoshimoto telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dan digemari dunia internasional, dan Yasunari Kawabata dan Kenzaburō Ōe menerima penghargaan Hadiah Nobel dalam Sastra.

Kewarganegaraan

Pasal 10 Konstitusi Jepang menentukan istilah "orang Jepang" berdasarkan kebangsaan (kewarganegaraan) Jepang saja, tanpa memandang etnisitas.[47] Pemerintah Jepang menganggap semua warga naturalisasi dan warga negara Jepang kelahiran asli dengan latar belakang multi-etnik sebagai "orang Jepang", dan dalam sensus nasional Japanese Statistics Bureau hanya menanyakan kewarganegaraan, sehingga tidak ada data sensus resmi terkait keberagaman kelompok etnik di Jepang. Meskipun hal ini berkontribusi pada atau memperkuat keyakinan luas bahwa Jepang adalah negara homogen secara etnik, seperti yang ditunjukan dalam klaim mantan Perdana Menteri Jepang Tarō Asō bahwa Jepang adalah bangsa dengan "satu ras, satu peradaban, satu bahasa dan satu budaya",[48] beberapa ahli berpendapat bahwa lebih tepat menjelaskan negara Jepang sebagai masyarakat multietnik.[49][50]

Anak yang lahir dari pasangan beda negara akan menerima kewarganegaraan Jepang jika satu orang tuanya adalah warga negara Jepang. Namun, hukum Jepang menyatakan bahwa anak yang merupakan warga negara ganda harus memilih salah satu kewarganegaraan sebelum berusia 20.[51][52] Studi memperkirakan bahwa 1 dari 30 anak yang lahir di Jepang lahir dari pasangan beda ras, dan anak-anak ini terkadang dijuluki sebagai hāfu (setengah Jepang).[53]

Diaspora

Japantown Peace Plaza selama Northern California Cherry Blossom Festival

Istilah Nikkeijin (日系人) digunakan untuk menyebut orang Jepang yang beremigrasi dari Jepang dan keturunannya.

Emigrasi dari Jepang paling awal tercatat pada abad ke-15 ke Filipina dan Kalimantan,[54][55][56][57] dan pada abad ke-16 dan ke-17, ribuan pedagang dari Jepang juga bermigrasi ke Filipina dan berasimilasi dengan penduduk setempat.[58]:pp. 52–3 Namun, migrasi orang Jepang tidak menjadi fenomena massal hingga era Meiji, ketika orang Jepang mulai pergi ke Amerika Serikat, Brasil, Kanada, Filipina, China, dan Peru. Ada juga emigrasi besar dari wilayah-wilayah Kekaisaran Jepang selama periode kolonial, tetapi kebanyakan emigran dan pemukim ini dipulangkan ke Jepang setelah berakhirnya Perang Dunia II di Asia.[59]

Menurut Association of Nikkei and Japanese Abroad, ada 4,0 juta Nikkeijin tinggal di negara yang mereka kunjungi.[17] Komunitas asing ini yang terbesar ada di negara bagian Brasil São Paulo dan Paraná.[60] Ada juga komunitas Jepang yang kohesif dan signifikan di Filipina,[61] Malaysia Timur, Peru, negara bagian AS Hawaii, California, dan Washington, dan kota Kanada Vancouver dan Toronto. Lain hal, jumlah warga negara Jepang yang tinggal di luar negeri lebih dari satu juta menurut Ministry of Foreign Affairs.

Lihat pula

Rujukan

Pranala luar