Unjuk rasa Hong Kong 2019–2020

Aksi demonstrasi di Hong Kong

Serangkaian demonstrasi terjadi di Hong Kong dan beberapa kota lain di seluruh dunia yang menuntut pencabutan RUU (Amendemen) Peraturan Pelanggar Hukum Buronan dan Bantuan Hukum Bersama dalam Urusan Pidana 2019 yang diajukan oleh Pemerintah Hong Kong. Masyarakat khawatir kota ini akan masuk ke wilayah hukum daratan Tiongkok sehingga warga Hong Kong dapat dijerat oleh sistem hukum asing.

Unjuk rasa anti-RUU ekstradisi Hong Kong 2019–2020
Kumpulan berbagai adegan protes di Hong Kong
Tanggal15 Maret 2019 (2019-03-15)[1]
LokasiHong Kong:Puluhan kota di berbagai negara
SebabPemerintah Hong Kong mengajukan RUU (Amendemen) Peraturan Pelanggar Hukum Buronan dan Bantuan Hukum Bersama dalam Urusan Pidana 2019
Tujuan
  • Pencabutan RUU
  • Mencegah ekstradisi ke daratan Tiongkok
  • Kepala eksekutif Carrie Lam mengundurkan diri
  • Pencabutan karakterisasi protes sebagai "kerusuhan"
  • Pembebasan para demonstran yang ditangkap
  • Pembentukan komisi penyelidikan independen tentang perilaku polisi
MetodePendudukan, sit-in, pembangkangan sipil, unjuk rasa jalanan bergerak, aktivisme internet, mogok massal
StatusBerlangsung
Pihak terlibat
Pegiat hukum
  • Law Society of Hong Kong
  • Hong Kong Bar Association
Aktivis pro-demokrasi
Korban
Terluka2,000+ (per 15 August 2019)[2]
Tertawan3,451 (per 4 November 2019)[3][4]

Masyarakat dan kalangan pegiat hukum melakukan serangkaian unjuk rasa di Hong Kong. Unjuk rasa 9 Juni diadakan oleh Civil Human Rights Front (CHRF), diikuti oleh kurang lebih 1,03 juta orang, dan diliput oleh berbagai media massa.[5] Unjuk rasa juga dilakukan oleh diaspora warga Hong Kong di sejumlah negara.

Namun demikian, pemerintah bersikukuh ingin mengesahkan RUU ini untuk menutup "celah" hukum.[6] Sidang pembacaan RUU kedua awalnya dijadwalkan tanggal 12 Juni, tetapi tidak jadi karena terhambat unjuk rasa.[7] Sidang yang dijadwalkan keesokan harinya, 13 Juni, juga ditunda.[8]

Kepala Eksekutif Carrie Lam menunda pembahasan RUU ekstradisi pada 15 Juni[9] dan kemudian menyatakan RUU tersebut telah "mati" pada 9 Juli, menggunakan sebuah ungkapan bahasa Kanton yang ambigu (壽終正寢 Jyutping: sau6 zung1 zing3 cam2) yang dapat bermakna "mati dalam damai".[10][11][12] Akan tetapi, ia tidak menyatakan bahwa RUU tersebut dicabut sepenuhnya dari proses legislatif dan tidak kunjung menanggapi atas tuntutan pengunjuk rasa lainnya.[13][14] Anggota Dewan Eksekutif Hong Kong Regina Ip dan Bernard Charnwut Chan telah menyatakan bahwa pemerintah tidak bermaksud untuk membuat pernyataan konsesi lebih lanjut. Tetapi, mereka akan berfokus untuk menyiapkan kebijakan baru pada bulan Oktober dan menunggu momentum pengunjuk rasa yang menurun menjelang pemilu Dewan Distrik di bulan November.[15]

Unjuk rasa terus berlanjut setiap minggu, hingga Juli, sering kali meningkat menjadi konfrontasi antara polisi, aktivis pro-demokrasi, anggota geng triad yang pro-Beijing, dan warga setempat.[16] Sepanjang unjuk rasa, para peserta terus menuntut agar dilangsungkannya pemilu anggota Dewan Legislatif dan Kepala Eksekutif secara langsung, sebuah isu yang sempat memicu protes besar pada 2014.

Lihat pula

Referensi