Minyak sawit

Minyak sawit adalah minyak nabati yang didapatkan dari mesocarp buah pohon kelapa sawit, umumnya dari spesies Elaeis guineensis,[1] dan sedikit dari spesies Elaeis oleifera dan Attalea maripa. Minyak sawit secara alami berwarna merah karena kandungan alfa dan beta-karotenoid yang tinggi. Minyak sawit berbeda dengan minyak inti kelapa sawit (palm kernel oil) yang dihasilkan dari inti buah yang sama.[2] Minyak kelapa sawit juga berbeda dengan minyak kelapa yang dihasilkan dari inti buah kelapa (Cocos nucifera). Perbedaan ada pada warna (minyak inti sawit tidak memiliki karotenoid sehingga tidak berwarna merah), dan kadar lemak jenuhnya. Minyak sawit mengandung 41% lemak jenuh, minyak inti sawit 81%, dan minyak kelapa 86%.[3]

Minyak sawit murni yang dihasilkan di desa Jukwa, Ghana. Perhatikan warna merah minyak sawit yang merupakan beta karoten yang secara alami terdapat di minyak sawit. Pemurnian oleh industri minyak goreng menghilangkan beta karoten ini.
Blok minyak sawit menunjukkan warna lebih terang yang dihasilkan dari perebusan

Minyak sawit termasuk minyak yang memiliki kadar lemak jenuh yang tinggi. Minyak sawit berwujud setengah padat pada temperatur ruangan dan memiliki beberapa jenis lemak jenuh asam laurat (0.1%), asam miristat (1%), asam stearat (5%), dan asam palmitat (44%). Minyak sawit juga memiliki lemak tak jenuh dalam bentuk asam oleat (39%), asam linoleat (10%), dan asam alfa linoleat (0.3%).[4] Seperti semua minyak nabati, minyak sawit tidak mengandung kolesterol[5] meski konsumsi lemak jenuh diketahui menyebabkan peningkatan kolesterol lipoprotein densitas rendah dan lipoprotein densitas tinggi akibat metabolisme asam lemak dalam tubuh.[6] Minyak sawit juga GMO free, karena tidak ada kelapa sawit termodifikasi genetik (GMO) yang dibudidayakan untuk menghasilkan minyak sawit.

Minyak sawit adalah bahan memasak yang umum di negara tropis di Afrika, Asia Tenggara, dan sebagian Brasil. Penggunaannya dalam industri makanan komersial di belahan negara lain didorong oleh biaya produksinya yang rendah[7] dan kestabilan oksidatifnya ketika digunakan untuk menggoreng.[8][9]

Maraknya perkebunan sawit telah mengundang kekhawatiran aktivis lingkungan karena besarnya penghancuran hutan untuk melakukan pertanian monokultur kelapa sawit. Perkebunan sawit ini telah menyebabkan hilangnya habitat orang utan di Indonesia, yang merupakan spesies yang terancam punah.[10] Pada tahun 2004, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dibentuk untuk mengarahkan kekhawatiran tersebut.[11] Malaysia sejak 1992 telah membatasi ekspansi perkebunan sawit di wilayahnya dengan menerapkan peraturan batas minimum lahan negara sebagai hutan.[12][13]

Sejarah

Pohon kelapa sawit (Elaeis guineensis)

Manusia telah menggunakan minyak sawit sejak kurang lebih 5000 tahun yang lalu. Bukti arkeologi berupa sebuah zat yang diketahui awalnya berupa minyak sawit, ditemukan pada akhir abad ke-19 pada sebuah kuburan di Abydos, Mesir, bertanggal 3000 SM.[14] Diperkirakan bahwa pedagang Arab yang telah membawa minyak sawit ke Mesir.[15]

Minyak sawit dari 'Elaeis guineensis telah dikenal sejak lama di Afrika Barat dan Afrika Tengah sebagai minyak goreng. Pedagang Eropa Berdagang dengan penduduk Afrika Barat untuk mendapatkan minyak sawit untuk digunakan sebagai minyak goreng di Eropa. Minyak sawit lalu menjadi komoditas yang paling dicari oleh pedagang Britania Raya ketika itu untuk digunakan sebagai pelumas mesin pada era Revolusi Industri.[16] Minyak sawit adalah bahan utama pembuatan sabun dan deterjen di perusahaan Unilever ketika perusahaan itu masih bernama Lever Brothers.[17]

Sejak tahun 1870-an, minyak sawit menjadi ekspor utama beberapa negara di Afrika Barat seperti Ghana dan Nigeria meski saat ini komoditas pertanian utama negara itu telah digantikan oleh kakao.

Produksi

Indonesia

Indonesia juga termasuk dalam negara-negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia, bahkan di ekspor ke berbagai belahan dunia lainnya untuk berbagai keperluan.[18]

Malaysia

Negara lainnya


Nutrisi

Berbagai makanan terproses mengandung minyak sawit sebagai bahan bakunya.[19] USDA menyatakan bahwa minyak sawit bukanlah pengganti yang baik bagi lemak trans.[20] Ketika pemrosesan, sebagian minyak sawit mengalami oksidasi, dan minyak sawit yang teroksidasi ini terkait dengan berbagai risiko kesehatan yang diakibatkan oleh konsumsi minyak sawit terproses.[21]

Minyak sawit terdiri atas asam lemak yang teresterifikasi dengan gliserol seperti halnya semua jenis lemak. Namun tidak seperti semua jenis lemak, minyak sawit mengandung lemak jenuh dalam persentase yang tinggi.[22] Asam oleat tak jenuh tunggal dan tokotrienol, salah satu bagian dari famili Vitamin E, juga terdapat pada minyak sawit murni.[23]

Berdasarkan data WHO, konsumsi asam palmitat meningkatkan risiko timbulnya penyakit kardiovaskular seperti halnya risiko yang diakibatkan oleh lemak trans.[24]

Hampir semua produk-produk pangan yang ada di supermarket menggunakan minyak sawit.

Minyak sawit memiliki keunggulan sebagai bahan baku produk pangan. Keunggulannya antara lain;[25]

  • harga yang relatif murah
  • memiliki antioksidan alami yang berfungsi sebagai pengawet alami
  • membuat makanan bertekstur halus dan lembut
  • bebas dari lemak trans
  • tidak ada rasa dan tidak berbau
  • meningkatkan cita rasa makanan.

Shortening sawit digunakan pada roti untuk meningkatkan kekenyalan, berat, kepadatan, dan juga tekstur roti. Minyak sawit juga untuk memastikan bagian tengah roti tetap ringan dan halus.

Selain digunakan dalam pembuatan roti, minyak sawit juga banyak digunakan sebagai bahan campuran produk makanan lainnya seperti kue kering. Minyak kelapa sawit membuat kue kering mempunyai tekstur garing di luar namun lembut di dalam, bebas dari lemak trans yang berbahaya dan kandungan vitamin A dan E sawit yang tinggi baik untuk kesehatan.

Kandungan asam lemak di dalam minyak sawit yaitu:[26]

Kadar asam lemak dari minyak sawit
Jenis asam lemakpersen
Asam miristat, jenuh, C14
  
1,0%
Asam palmitat, jenuh, C16
  
43,5%
Asam stearat, jenuh, C18
  
4,3%
Asam oleat, tak jenuh tunggal, C18
  
36,6%
Asam linoleat, tak jenuh ganda, C18
  
9,1%
Lainnya
  
5,5%
hitam: jenuh; abu-abu: tak jenuh tunggal; biru: tak jenuh ganda

Minyak sawit murni

Secara alami minyak sawit berwarna kemerahan karena kandungan karotena yang tinggi, termasuk alfa-karotena, beta-karotena, dan likopen, nutrisi yang sama yang memberikan warna merah pada tomat, wortel, dan buah dan sayur lainnya.

Minyak sawit murni mengandung setidaknya 10 jenis karotena, bersama dengan tokoferol dan tokotrienol (anggota famili Vitamin E), fitosterol, dan gikolipid.[27] Pada sebuah penelitian yang dilakukan peada hewan pada tahun 2007, para peneliti dari Afrika Selatan memberikan minyak sawit merah pada tikus dan menemukan bahwa terjadi pengurangan aktivitas fosforilasi pada jantung tikus yang sebelumnya telah diberikan makanan berkolesterol tinggi.[28]

Pada tahun 1990-an, minyak sawit murni telah dikemas dan diperjualbelikan sebagai minyak goreng dan menjadi bahan campuran mayones dan minyak salad.[29] Antioksidan pada minyak sawit murni seperti tokotrienol dan karoten memiliki manfaat bagi kesehatan.[30][31][32] Sebuah studi pada tahun 2009 menguji laju emisi dari akrolein, sebuah senyawa berbahaya dan tidak berbau yang dihasilkan dari pemecahan gliserol pada proses penggorengan kentang. Minyak yang diuji diantaranya minyak sawit murni, minyak zaitun, dan minyak bunga matahari. Emisi akrolein tertinggi ada pada minyak bunga matahari dibandingkan minyak sawit dan minyak zaitun.[33] WHO menetapkan batas konsumsi akrolein bagi manusia sebesar 7.5 miligram per hari per kilogram berat badan. Akrolein ada pada berbagai makanan yang digoreng dengan minyak seperti pada kentang goreng, meski kadarnya hanya beberapa mikrogram. Sebuah studi menyimpulkan bahwa risiko kesehatan akibat akrolein pada makanan tidak terlalu berarti dikarenakan kadarnya yang terlalu sedikit.[34]

Minyak sawit yang dimurnikan

Setelah penggilingan, minyak sawit umumnya dimurnikan sebelum diolah menjadi berbagai produk. Pemurnian ini akan menghasilkan minyak sawit RBD (refined, bleached, and deodorized).[35]

Pemurnian dilakukan dengan cara fraksionasi, kristalisasi, dan pemisahan untuk mendapatkan fraksi bahan padat (stearin) dan bahan cair (olein) dari minyak sawit.[36] Selanjutnya pemisahan zat pengotor dengan proses degumming. Minyak lalu disaring dan dijernihkan (bleaching). Setelah itu penghilangan bau.

Minyak sawit ini lalu digunakan sebagai bahan baku berbagai produk seperti sabun, deterjen, dan produk lainnya. Minyak sawit RBD merupakan bahan baku industri yang dijual di berbagai pasar komoditas di seluruh dunia. Berbagai perusahaan juga memproses minyak sawit RBD lebih jauh lagi untuk mendapatkan minyak olein dengan kemurnian lebih tinggi untuk dijual sebagai minyak goreng.[36]

Pemanfaatan lainnya

Senyawa turunan dari asam palmitat dicampurkan dengan senyawa golongan nafta untuk memproduksi napalm, bahan peledak yang digunakan di Perang Dunia II.[37]

Saponifikasi menghasilkan asam lemak dengan gliserin sebagai produk sampingan. Asam lemak yang dihasilkan memiliki panjang rantai karbon antara 4 hingga 18 tergantung pada jenis minyak yang bereaksi ketika itu.[38][39]

Biodiesel

Minyak sawit dapat digunakan untuk memproduksi biodiesel.[40] Metil ester dari minyak sawit merupakan zat mampu bakar (flammable) yang dihasilkan dari proses transesterifikasi. Biodiesel minyak sawit sering kali dikombinasikan dengan bahan bakar lain untuk mendapatkan campuran bahan bakar.[41] Biodiesel dari minyak sawit memenuhi standar biodiesel yang ditetapkan oleh Uni Eropa.[40] Fasilitas pengolahan minyak sawit menjadi biodiesel yang terbesar berada di Singapura, yang dioperasikan perusahaan asal Finlandia, Neste Oil.[42]

Limbah organik yang dihasilkan dari pemrosesan kelapa sawit, termasuk cangkang kelapa sawit dan tandan buah sawit, dapat digunakan untuk menghasilkan energi. Bahan bakar ini dapat ditekan menjadi briket maupun pellet bahan bakar.[43] Minyak goreng yang telah selesai digunakan sebagai bahan baku proses penggorengan juga dapat diproses menjadi metil ester sebagai biodiesel.[44]

Penggunaan minyak sawit pada produksi biodiesel telah memicu kekhawatiran persaingan penggunaan minyak sawit untuk makanan sehingga menyebabkan malagizi di negara miskin dan berkembang. Berdasarkan data dari tahun 2008 mempublikasikan laporan bahwa minyak sawit dapat digunakan sebagai bahan pangan sekaligus bahan bakar secara berkelanjutan. Produksi biodiesel dari minyak sawit tidak mengancam ketahanan pangan.[45] Peningkatan permintaan terhadap biodiesel dapat meningkatkan permintaan minyak sawit pada masa depan, sehingga membutuhkan perluasan perkebunan kelapa sawit.[46]

Dampak

Sosial

Minyak sawit yang dihasilkan oleh perusahaan dengan prinsip berkelanjutan mengakui hak-hak masyarakat adat dan lokal atas pemanfaatan lahan dengan memastikan proses alokasi lahan yang transparan dan legal. Hal ini perlu mengacu dengan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (2007) (UNDRIP), Konvensi ILO 169 dan RSPO P&C 4.4-4.8.

Lingkungan

Minyak sawit yang dihasilkan oleh perusahaan dengan prinsip berkelanjutan, menjaga proses minyak sawit yang dihasilkan minim dampak buruk bagi lingkungan. Tidak ada deforestasi yang apabila hal itu terjadi maka akan berdampak hilangnya keanekaragaman hayati melalui perusakan habitat hutan, perubahan iklim melalui hilangnya cadangan karbon, dan fungsi ekosistem, budaya, dan ekonomi yang tak tergantikan. Sebelum melanjutkan pembukaan lahan perkebunan sawit perlu memperhatikn area HCV dan HCS.

Roundtable on Sustainable Palm Oil

Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) adalah organisasi nirlaba didirikan pada 2004 yang meyatukan pemangku kepentingan dari 7 sektor industri kelapa sawit: produsen kelapa sawit, prosesor atau pedagang, produsen barang-barang konsumen, pengecer, bank / investor dan organisasi non-pemerintah lingkungan dan sosial (LSM) dengan tujuan untuk mengembangkan dan menerapkan standar global untuk minyak sawit berkelanjutan.

RSPO telah mengembangkan serangkaian kriteria lingkungan dan sosial yang harus dipatuhi oleh perusahaan untuk menghasilkan Minyak Sawit Berkelanjutan Bersertifikat (CSPO). Ketika diterapkan dengan benar, kriteria ini dapat membantu meminimalkan dampak negatif budidaya kelapa sawit terhadap lingkungan dan masyarakat di daerah penghasil minyak sawit.[47]

RSPO menghadapi kritik terutama karena distribusi kekuatan yang tidak merata di beberapa bagiannya. Masalah ini khususnya terjadi di Majelis Umum RSPO dan Dewan Eksekutif RSPO, di mana perwakilan dari industri kelapa sawit memiliki lebih banyak kekuatan daripada perwakilan dari organisasi lingkungan dan sosial. RSPO tidak memiliki perwakilan serikat pekerja, petani kecil, suku asli atau organisasi perempuan. Pandangan mereka diwakili hanya melalui LSM dan dengan demikian kekuasaannya tidak setara dengan perwakilan industri.[48]

Lihat pula

Referensi

Pranala luar