Perang Nagorno-Karabakh

artikel daftar Wikimedia

Perang Nagorno-Karabakh[44] adalah konflik etnik dan wilayah yang terjadi di akhir 1980an hingga tahun 1994, di enklave Nagorno-Karabakh yang ada di barat daya Azerbaijan, antara etnik Armenia yang merupakan penduduk mayoritas di Nagorno-Karabakh yang didukung oleh Armenia melawan Azerbaijan. Dalam perang tersebut, kedua bekas negara bagian Uni Soviet tersebut saling berhadapan dalam perang yang berlarut-larut di kawasan pegunungan Karabakh, di mana Azerbaijan berusaha untuk menumpas gerakan separatis Armenia di wilayah itu. Sebelum perang terjadi, parlemen enklave mengeluarkan keputusan yang menginginkan penyatuan wilayahnya dengan Armenia lewat referendum (yang ditolak oleh warga etnik Azerbaijan) dikarenakan mayoritas masyarakat memilih untuk merdeka. Pada awalnya keinginan masyarakat etnik Armenia Nagorno-Karabakh untuk menggabungkan dirinya dengan Azerbaijan dilakukan dengan cara damai, tetapi saat Uni Soviet perlahan-lahan runtuh, wacana penggabungan itu justru berubah menjadi konflik kekerasan antar dua etnik tersebut, bahkan keduanya saling mengklaim adanya pembersihan etnik antara kedua belah pihak seperti Pogrom Sumgait, Pogrom Baku dan Pembantaian Khojaly yang menjadi contoh paling terkenal.[45][46]

Perang Nagornox-Karabakh
Bagian dari Konflik Nagorno-Karabakh

Searah jarum jam dari atas: Bekas APC Azerbaijan; pengungsi etnik Azerbaijan dari wilayah Armenia; monumen tank T-72 Armenia di Stepanakert; tentara Republik Nagorno Karabakh
Tanggal20 Februari 1988 – 12 Mei 1994
(6 tahun, 2 bulan, 3 minggu dan 1 hari)
LokasiNagorno-Karabakh, Armenia dan Azerbaijan
Hasil

Kemenangan Armenia[18]

  • Gencatan senjata Protokol Bishkek yang masih berlaku
  • Blokade Armenia oleh Turki sejak 1993[19]
  • Perundingan perdamaian, tetapi masih menemui jalan buntu
  • Konflik perbatasan sporadis antar kedua negara di garis kontak
Perubahan
wilayah
Kemerdekaan de facto Republik Artsakh dan aneksasi 9% wilayah Azerbaijan de facto oleh Armenia.[20] Wilayah tersebut tetap diakui de jure secara internasional sebagai bagian Azerbaijan.[21]
Pihak terlibat
1988–1991
1988–1991
1991–1994

Suplai senjata

1991–1994

Dukungan militer:

Dukungan dari kelompok asing:

Suplai persenjataan

Tokoh dan pemimpin
Kekuatan
20,000 tentara Nagorno Karabakh + 8,000 dari Armenia[24]
500 gerbong amunisi[25]
177–187 artileri[26]
90–173 tank[26]
290–360 kendaraan lapis baja[26]
3 pesawat tempur[26]
13 helikopter[26]
Total: 64,000
  • Turki: 350 pasukan (untuk melatih pasukan Azerbaijan) [27]
    Serigala Kelabu: 200[13]
  • Hezb-e Islami: 1,000–3,000[28][29]
  • Militan Chechnya: 300[30]
  • Pasukan bayaran Ukraina: ~100[31][32]

10,000 gerbong persenjataan[25]
395 artileri[33]
436[26]–458[33] tank
558[26]–1,264[33] kendaraan lapis baja
389[26]–480 kendaraan tempur lapis baja
63[26]–170 pesawat tempur
45–51 helikopter
Korban

156 tank T-72 direbut pasukan Armenia[39]
47 pesawat hancur[40]Awal 1992, setidaknya:
55 T-72 hancur,
24 BMP-2 hancur,
15 APC hancur,
25 artileri berat hancur[41]

Korban penduduk sipil:

  • 1,264 penduduk Armenia dan orang etnis Armenia.[34]
  • 167–763 penduduk Azerbaijan tewas pada tahun 1992.[42] Jumlah seluruhnya tidak diketahui.

Penduduk sipil hilang:

  • 400 menurut Komisi Negara Karabakh[38]
  • 749 menurut Komisi Negara Azerbaijan[38]

Pengungsi:

  • 724,000 penduduk etnik Azerbaijan[43] dari Armenia dan Nagorno Karabakh.
  • 300,000–500,000 penduduk etnik Armenia[43] dari Azerbaijan, Nagorno-Karabakh dan Nakhichevan.

Kekerasan antaretnik mulai pecah saat parlemen Oblast Otonom Nagorno-Karabakh (yang ada di Azerbaijan) memutuskan untuk menggabungkan wilayahnya dengan Armenia pada 20 Februari 1988. Keputusan pemisahan diri dari Azerbaijan tersebut, merupakan hasil akhir dari konflik wilayah berkepanjangan antar kedua negara/etnik.[47] Keputusan tersebut menimbulkan kemarahan negara induknya Azerbaijan sehingga menyebabkan pemerintah Azerbaijan memutuskan mencabut hak otonomi oblast tersebut. Menyadari hal tersebut, etnik mayoritas Armenia memutuskan mengadakan referendum yang menghasilkan mayoritas suara merdeka. Mereka kemudian memutuskan mendeklarasikan Republik Nagorno-Karabakh (yang tidak diakui negara lain).

Setelah runtuhnya Uni Soviet pada Desember 1991, ketegangan antar kedua negara yang baru merdeka tersebut menjadi semakin memanas dan akhirnya pecah menjadi konflik bersenjata pada awal tahun 1992. Upaya perdamaian dan mediasi yang ditawarkan sejumlah lembaga internasional seperti Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE), menemui kegagalan. Pada awal 1993, pasukan Armenia berhasil menguasai wilayah di luar batas bekas oblast Nagorno-Karabakh, sehingga menyebabkan kemarahan negara di sekitarnya yang mengancam akan terlibat dalam perang tersebut.[48] Pada akhir perang pada tahun 1994, pasukan Armenia berhasil menguasai penuh enklaf tersebut (kecuali Wilayah Shahumyan) ditambah daerah-daerah di sekitarnya, terutama Koridor Lachin, jalur pegunungan yang menghubungkan Nagorno-Karabakh dengan daratan Armenia. Kedua negara kemudian mentandatangani gencatan senjata yang diusulkan Rusia pada Mei 1994 yang mengakhiri perang. Upaya-upaya mediasi dan pembicaraan damai antar kedua negara, sayangnya masih belum menemukan titik terang, sehingga status wilayah Nagorno-Karabakh menjadi tidak jelas. Di wilayah tersebut berdiri Republik Artsakh yang de facto merdeka dan adanya penguasaan 9% wilayah Azerbaijan oleh Armenia, tetapi keduanya tidak diakui secara internasional.[49] Diperkirakan hampir 230,000 penduduk etnis Armenia yang sebelumnya tinggal di Azerbaijan dan 800,000 penduduk etnis Azerbaijan yang sebelumnya tinggal di Karabakh dan Armenia terpaksa mengungsi ke wilayah lain karena konflik ini.[50]

Latar belakang

Latar belakang perebutan wilayah Nagorno Karabakh oleh kedua negara sebenarnya berakar dari peristiwa yang terjadi pada dan pasca Perang Dunia I. Sesaat sebelum Kesultanan Utsmaniyah menyerah dalam PD I, Kekaisaran Rusia runtuh dalam revolusi pada November 1917 dan jatuh di bawah kendali Bolshevik. Tiga negara Kaukasus, Armenia, Azerbaijan, dan Georgia, yang sebelumnya di bawah kekuasaan Kekaisaran Rusia, menyatakan pembentukan Republik Federatif Demokratik Transkaukasus yang bubar setelah hanya tiga bulan berdiri.[51]

Perang Armenia-Azerbaijan

Pasca pemisahan tersebut pecah konflik antara Republik Pertama Armenia dan Republik Demokratik Azerbaijan di tiga wilayah: Nakhchevan, Zangezur (sekarang Syunik, Armenia) dan wilayah Karabakh..

Kedua negara baru tersebut mempermasalahkan batas-batas pasti dari ketiga wilayah tersebut. Etnis Armenia yang berada di Karabakh berusaha untuk menyatakan kemerdekaan mereka tetapi gagal melakukan kontak dengan Armenia.[51] Setelah kekalahan Kesultanan Utsmaniyah dalam Perang Dunia I, seorang jenderal beretnik Armenia Andranik Ozanian memasuki Karabakh dengan gemilang dan segera memasuki ibukota wilayah ini, Shusha pada Desember 1918. Kemudian pasukan Britania menduduki Kaukasus Selatan pada tahun 1919, dan komando Britania menyarankan Andranik menghentikan serangannya ke wilayah ini serta menyelesaikan permasalahan Karabakh pada Konferensi Perdamaian Paris. Namun, kemudian tentara Britania justru mengangkat seorang pemimpin berdarah Azerbaijan Khosrov bey Sultanov sebagai gubernur jenderal Karabakh[52] dan memerintahkannya untuk "menumpas segala pemberontakan di wilayah ini".[53] Setelahnya, ribuan penduduk Armenia dibunuh pada Pembantaian Shusha, diperkirakan hampir 20.000 orang tewas dalam peristiwa ini.[54]

Dibawah Uni Soviet

Pada April 1920, Tentara ke-11 Uni Soviet menyerbu Kaukasus dan dalam waktu dua tahun, republik-republik Kaukasia disatukan menjadi RSFS Transkaukasia yang bergabung dalam Uni Soviet. Bolshevik kemudian membentuk komite beranggotakan tujuh orang bernama Biro Kaukasus (biasanya disebut sebagai Kavburo). Di bawah pengawasan Komisaris Rakyat untuk Kebangsaan, Joseph Stalin, Kavburo ditugaskan untuk menyelesaikan masalah di Kaukasus.[55] Pada 4 Juli 1921, awalnya komite memutuskan menyerahkan Karabakh kepada RSS Armenia, tetapi beberapa hari kemudian, Kavburo secara tiba-tiba membatalkan keputusannya dan menyerahkan Karabakh pada Azerbaijan.[56] Selanjutnya pada 1923, terbentuklah Oblast Otonom Nagorno-Karabakh dengan penduduknya 94% beretnis Armenia.[57][58][59] Kebijakan pada saat itu diambil secara strategis, dimana Soviet pada saat itu menginginkan agar kedua negara, Armenia-Azerbaijan agar terus berkonflik dan tidak melawan Soviet lewat masalah Karabakh.[60] Keputusan itu kemudia dilanjutkan dengan menghubungkan wilayah Karabakh secara ekonomi lebih dekat ke Azerbaijan.[61] Lalu, ibukotanya dipindah dari Shusha ke Khankendi yang lalu dinamakan ulang Stepanakert.

Wilayah Kaukasus di masa Uni Soviet, 1957-1991

Sejumlah ahli Armenia dan Azerbaijan memperkirakan kebijakan tersebut adalah penerapan prinsip politik pecah belah oleh Uni Soviet. [57] Hal ini dapat dilihat di kebijakan pada wilayah lain, yaitu eksklaf Nakhichevan, yang termasuk wilayah Azerbaijan meskipun dibatasi Armenia. Ahli lain memperkirakan kebijakan ini ditujukan untuk menjaga hubungan baik dengan Turki."[62] Meskipun demikian, keinginan dari para pemimpin RSS Armenia dan sejumlah tokoh Partai Komunis Armenia masih ada untuk menyatukan Nagorno Karabakh dengan Armenia, bahkan sebagian hendak mewujudkannya.[47] Hal ini dapat dilihat saat Sekretaris Pertama Partai Komunis Armenia Aghasi Khanjian dibunuh oleh Wakil Kepala NKVD saat itu, Lavrentiy Beria setelah mengajukan keinginan-keinginan RSS Armenia kepada Stalin. Dari daftar keinginan tersebut, ada juga permintaan untuk mengembalikan Nagorno-Karabakh dan Nakhichevan ke Armenia.[63] Menurut etnik Armenia, hak-hak nasional, budaya dan ekonomi mereka ditindas dan dibatasi oleh Uni Soviet.[64]

Kembalinya masalah Karabakh

Setelah kematian Stalin, ketidakpuasan orang-orang Armenia mulai disuarakan. Pada tahun 1963, sekitar 2.500 etnik Armenia di Karabakh menandatangani sebuah petisi yang menuntut agar Karabakh dikembalikan kepada Armenia atau diberikan kepada Rusia. Pada tahun yang sama, terjadi bentrokan di Stepanakert, yang menyebabkan kematian 18 orang etnis Armenia. Selanjutnya pada tahun 1965 dan 1977, terjadi demonstrasi besar di Yerevan, yang juga menyerukan penyatuan Karabakh dengan Armenia.[65]Pada tahun 1985, pemimpin Uni Soviet yang baru, Mikhail Gorbachev, mengeluarkan kebijakan reformasi, melalui konsep perestroika (reformasi ekonomi) dan glasnost (keterbukaan). Memanfaatkan kebijakan baru Gorbachev, para pemimpin parlemen Karabakh memutuskan untuk mengeluarkan keputusan untuk menyatukan wilayah mereka dengan Armenia pada 20 Februari 1988.[66] Keputusan tersebut berbunyi:

Menerima keinginan para pekerja dari Daerah Otonomi Nagorno Karabakh untuk meminta Soviet Agung RSS Armenia dan Soviet Agung RSS Azerbaijan untuk memahami perasaan yang mendalam dari aspirasi penduduk Armenia di Nagorno Karabakh dan menyelesaikan masalah transfer Daerah Otonom Nagorno Karabakh dari RSS Azerbaijan ke RSS Armenia, pada saat yang sama juga akan dirundingkan dengan Majelis Agung Uni Soviet untuk mencapai penyelesaian yang positif tentang masalah pemindahan wilayah Karabakh dari RSS Azerbaijan ke RSS Armenia.[67]

Pada 24 Februari, Boris Kevorkov, Sekretaris Partai Komunis Daerah Otonom Nagorno Karabakh dan seorang loyalis Azerbaijan, dicopot dari jabatannya.[68]

Menurut keluhan sejumlah pemimpin etnik Armenia di Karabakh, wilayah mereka tidak menggunakan bahasa Armenia dalam pembelajaran maupun dalam siaran televisi,[69] dan SekJen Partai Komunis Azerbaijan saat itu (hingga tahun 1987), Heydar Aliyev sedang berusaha keras untuk "mengAzerbaijanisasi" wilayah itu dan berusaha meningkatkan populasi etnis Azerbaijan serta mengurangi penduduk etnis Armenia di waktu bersamaan.[70] Keluhan itu memang kelihatannya betul, karena pada tahun 1988, penduduk etnik Armenia telah berkurang menjadi 3/4 total penduduk Karabakh.[71]

Gerakan ini dipelopori oleh tokoh-tokoh Armenia yang terkenal dan rupanya juga mendapat dukungan di kalangan intelektual Rusia. Menurut jurnalis Thomas de Waal, beberapa anggota inteligensia Rusia, seperti oposan pemerintah Andrei Sakharov menyatakan dukungan untuk orang-orang Armenia.[72] Dukungan yang lebih menonjol untuk gerakan tersebut di kalangan elit Moskow ditunjukkan secara terang-terangan: pada bulan November 1987 L'Humanité menerbitkan komentar pribadi Abel Aganbegyan, seorang penasihat ekonomi Gorbachev, kepada orang-orang Armenia yang tinggal di Perancis. Dalam komentarnya ia menyarankan agar wilayah Nagorno-Karabakh dapat diserahkan kepada Armenia. Sebelum keluarnya keputusan itu, orang-orang Armenia telah mulai melakukan demonstrasi dan melakukan pemogokan pekerja di Yerevan, menuntut penyatuan dengan daerah Karabakh. Hal ini menyebabkan protes perlawanan oleh masyarakat Azerbaijan di Baku.

Setelah demonstrasi di Yerevan untuk menuntut penyatuan Nagorno-Karabakh dengan Armenia dimulai, Gorbachev bertemu dengan dua pemimpin gerakan Karabakh, Zori Balayan dan Silva Kaputikyan pada 26 Februari 1988. Gorbachev meminta mereka untuk menghentikan demonstrasi mereka dalam satu bulan. Ketika Kaputikyan kembali ke Armenia pada malam yang sama, ia memberi tahu orang banyak bahwa "orang-orang Armenia telah menang" meskipun Gorbachev tidak membuat janji yang pasti. Menurut Svante Cornell, tindakan tersebut adalah upaya untuk menekan Moskwa.[73] Pada 10 Maret, Gorbachev menyatakan sesuai Konstitusi Soviet Pasal 77, perbatasan wilayah negara-negara bagian tidak akan berubah.[74] Gorbachev juga menyatakan bahwa jika ada negara bagian lain yang ingin mengubah batas wilayah negaranya maka hal tersebut akan menjadi preseden buruk. Namun bagi warga Armenia, keputusan Kavburo 1921 dianggap tidak sesuai dengan keinginan mereka dan mereka merasa juga diberikan hak untuk memperbaiki kesalahan sejarah melalui prinsip penentuan nasib sendiri (yang juga terdapat dalam Konstitusi Soviet).[74] Di pihak lain, etnis Azerbaijan, menganggap upaya melepaskan wilayah mereka sebagai tindakan "tak terduga" dan berusaha mengikuti posisi Gorbachev..[75]

Pada tanggal 19 Februari 1988, pada hari ketujuh demonstrasi yang berlangsung di Armenia, di saat yang sama diadakan demonstrasi menentang hal tersebut di Baku. Penyair Bakhtiyar Vahabzadeh dan sejarawan Suleyman Aliyarov menerbitkan surat terbuka di surat kabar Azerbaijan, yang menyatakan bahwa Karabakh secara historis merupakan wilayah Azerbaijan.[76]

Askeran dan Sumgait

Dalam perkembangannya, konflik etnis kemudian muncul antara orang-orang Armenia dan Azerbaijan yang tinggal di Karabakh. Menurut sejumlah sumber, pada akhir tahun 1987 penduduk etnis Azerbaijan dari desa-desa Ghapan dan Meghri di Armenia terpaksa meninggalkan rumah mereka sebagai akibat dari ketegangan antara mereka dan tetangga-tetangga mereka beretnis Armenia, dan pada November 1987 dua gerbong kereta penuh orang-orang etnis Azerbaijan diduga telah tiba di stasiun kereta api Baku. Para ketua desa tersebut dalam wawancaranya menyangkal bahwa ada ketegangan tersebut, dan kebetulan juga tidak ada dokumentasi yang mendukung tuduhan adanya pengusiran tersebut.[77]

Pada 20 Februari 1988 dua siswa wanita Azerbaijan yang sedang latihan di sebuah rumah sakit di Stepanakert, dikabarkan telah diperkosa oleh seseorang dari etnis Armenia.[51] Pada 22 Februari 1988 sebuah bentrokan pecah antara etnis Azerbaijan dan etnis Armenia, dekat kota Askeran (terletak diantara Stepanakert dan Agdam) di Nagorno-Karabakh, yang berubah menjadi kerusuhan. Dalam bentrokan itu dua pemuda etnis Azerbaijan terbunuh. Salah satu dari mereka mungkin ditembak oleh polisi setempat (yang mungkin dari etnis Azerbaijan) baik secara tidak sengaja atau sebagai akibat dari bentrokan.[51][78] Pada tanggal 27 Februari 1988, ketika berbicara di televisi sentral Baku, Wakil Jaksa Uni Soviet Alexander Katusev melaporkan bahwa "dua penduduk distrik Agdam menjadi korban pembunuhan" dan menyebutkan nama Muslim mereka.[73]

Bentrokan di Askeran adalah awal dari pogrom di Sumgait, di mana pada saat itu ketegangan di kota tersebut sudah meningkat akibat berita tentang krisis Karabakh. Ketegangan semakin meningkat setelah serangkaian protes yang diadakan pada 27 Februari. Dalam pidato mereka di rapat umum, pengungsi beretnis Azerbaijan yang berasal dari kota di Armenia, Ghapan, menuduh orang Armenia melakukan "pembunuhan dan kekejaman".[75] Menurut media Soviet, sejumlah tuduhan tersebut tidak berdasar dan hanya ditiup-tiupkan oleh provokator.[79] Pada akhirnya, pecahlah kerusuhan dan pogrom terhadap penduduk Armenia di Sumgait, sebuah kota sekitar 25 kilometer di utara Baku yang memakan korban jiwa 32 orang (26 orang etnis Armenia dan 6 orang etnis Azerbaijan) menurut statistik resmi Soviet, meskipun banyak penduduk etnis Armenia merasa bahwa jumlahnya lebih besar dari yang disampaikan oleh pemerintah Soviet.[80] Hampir semua populasi etnik Armenia Sumgait meninggalkan kota tersebut pasca pogrom. Dalam pogrom tersebut, penduduk beretnis Armenia dipukuli, diperkosa, dimutilasi dan dibunuh baik di jalan-jalan Sumgait maupun di dalam apartemen mereka selama tiga hari kerusuhan (sayangnya tidak ada tindakan tegas dari polisi atau aparat keamanan). Kerusuhan Sumgait baru berakhir pasca tentara Soviet masuk dalam kota itu pada 1 Maret.[81] Pembunuhan masyarakat etnik Armenia dan bagaimana pembunuhan mereka membangkitkan kenangan mereka akan Genosida Armenia.[82] Pada 23 Maret 1988, Majelis Agung Uni Soviet menolak tuntutan etnis Armenia untuk menyerahkan Nagorno-Karabakh ke Armenia. Pasukan dikirim ke Yerevan untuk mencegah protes terhadap keputusan tersebut. Upaya Gorbachev untuk menstabilkan wilayah itu sia-sia, karena kedua belah pihak tetap sama-sama berkeras hati. Di Armenia, ada keyakinan kuat bahwa apa yang terjadi di wilayah Nakhichevan akan terulang di Nagorno-Karabakh: sebelum dikuasai oleh Soviet, populasinya 40% etnis Armenia;[83] namun pada akhir 1980an, tidak ada penduduk etnis Armenia di wilayah itu.[41]

Kekerasan antar etnis

Pengungsi Azerbaijan yang berasal dari wilayah Armenia, 1993.

Penduduk etnik Armenia menolak untuk mencabut tuntutan mereka meskipun Gorbachev telah berjanji mengeluarkan program senilai 400 juta rubel yang berisi penerbitan buku pelajaran dan penyiaran televisi berbahasa Armenia. Pada saat yang sama Azerbaijan menolak untuk menyerahkan wilayah mereka ke Armenia. Tuntutan pihak Armenia untuk menyerahkan Karabakh kepada negaranya berkurang saat terjadinya bencana gempa dahsyat yang melanda Armenia pada 7 Desember 1988, yang meluluhlantakkan kota Leninakan (kini bernama Gyumri) dan Spitak, dan memakan korban jiwa sekitar 25.000 orang.[41] Namun kemudian masalah tersebut muncul kembali ketika anggota Komite Karabakh yang berjumlah 11 orang (termasuk Levon Ter-Petrosyan), dipenjarakan oleh pemerintah Soviet pasca terjadinya kekacauan akibat gempa tersebut. Namun tindakan tersebut justru mempolarisasi hubungan Anemia dan Kremlin; kepercayaan masyarakat Armenia terhadap Gorbachev memudar apalagi karena ia tidak mau kompromi akan Nagorno Karabakh dan ketidakberhasilannya menangani gempa Armenia.[84]

Beberapa bulan setelah porgom Sumgait terjadilah pertukaran populasi secara paksa antara etnik Armenia yang tinggal di Armenia dan etnik Azerbaijan yang tinggal di Armenia. Antar kedua suku tersebut saling memaksa untuk meninggalkan rumah mereka masing-masing.[85] Menurut pemerintah Azerbaijan, dari tanggal 27-29 November 1988, sendiri, 33 penduduk etnik Azerbaijan dibunuh di Spitak, Gugark, dan Stepanavan. Pada periode antara 1987–1989 bahkan jumlahnya mencapai 216 orang.[86] Menurut anggota parlemen Azerbaijan, Arif Yunusov, pada tahun yang sama 20 penduduk etnik Aerbaijan yang tinggal di desa Vartan yang berada di Armenia dikabarkan telah dibakar hidup-hidup sampai mati.[51] Sementara itu, menurut pihak Armenia, jumlah penduduk etnik Azerbaijan yang tewas dari tahun 1988-1989 adalah sebanyak 25 orang.[87]

Konflik antaretnis juga menyebar ke kota lain di Azerbaijan, seperti (pada Des 1988) di Kirovabad dan Nakhichevan, dimana 7 orang (termasuk 4 tentara) tewas dan ratusan lainnya terluka saat tentara Soviet berusaha menghentikan serangan yang ditujukan kepada etnik Armenia.[88] Perkiraan tentang tentang berapa banyak orang yang terbunuh selama dua tahun pertama konflik ini beragam. Menurut Pemerintah Azerbaijan, 216 etnis Azerbaijan terbunuh di Armenia, sedangkan peneliti Arif Yunusov menyebutkan bahwa 127 warga etnik Azerbaijan tewas pada tahun 1988 saja. Menurut laporan majalah Time, sejak Februari 1988 lebih dari 100 orang tewas akibat konflik antara keduanya.[89]

Menurut The Washington Post, sebelum perjanjian gencatan senjata tahun 1994, yang diinisiasi Rusia, sekitar 30.000 orang tewas, dan hampir satu juta orang terpaksa menjadi pengungsi. Sekitar 700.000 etnis Azerbaijan dipaksa untuk meninggalkan Nagorno-Karabakh dan daerah sekitarnya, dimana kaum pemberontak di sana menyatakan kemerdekaan wilayah itu tanpa pengakuan internasional. Bahkan setelah lebih dari dua dekade, status sebagian besar pengungsi belum terselesaikan.[90]

Pada akhir 1988 sejumlah desa di Armenia menjadi desa tidak berpenghuni, karena 200,000 penduduknya dari etnik Azerbaijan dan Kurdi telah melarikan diri dari daerah tersebut.[91] Meskipun orang Kurdi tidak memberontak melawan etnik Armenia, tetapi mereka memutuskan untuk meninggalkan Armenia dan dari wilayah yang dikuasai pemberontak. Akibatnya, kini jumlah penduduk Kurdi yang ada di Armenia hanya berjumlah sekitar 1.000 orang.[92]

Januari Hitam

Konflik etnik tersebut dalam perkembangannya menjadi semakin parah. Akibatnya mayoritas etnik Azerbaijan di Armenia dan etnik Armenia di Azerbaijan terpaksa melarikan diri dari tempat tinggal mereka.[47] Bahkan situasinya kemudian menjadi semakin tak terkendali, sehingga pada Januari 1989, untuk sementara waktu, pemerintah pusat Uni Soviet terpaksa mengambil alih pemerintahan wilayah Karabakh secara langsung. Keputusan tersebut diterima dengan baik oleh etnik Armenia.[51] Pada Desember 1989 pemimpin Front Rakyat Azerbaijan dan para pendukungnya melancarkan gerakan blokade jalur kereta api ke Armenia dan Nagorno-Karabakh, yang menyebabkan terganggunya ekonomi Armenia karena hampir 85% kargo dan suplai ke kedua wilayah tersebut masuk lewat jalur kereta api.[47] Menurut sejumlah pihak tindakan paksa tersebut dilakukan karena Armenia telah mengembargo RSSO Nakhicevan yang dilakukan sejak awal tahun, selain itu juga disebabkan serangan militan Armenia kepada kereta yang datang dari Azerbaijan.[75][85]

Pada Januari 1990, pogrom lain yang diarahkan pada etnik Armenia di Baku memaksa Gorbachev untuk mengumumkan keadaan darurat dan mengirim pasukan MVD untuk memulihkan keamanan. Di tengah-tengah meningkatnya gerakan pro-kemerdekaan di Azerbaijan, Gorbachev mengirim militer untuk menghentikan aksi tersebut. Pasukan Soviet menerima perintah untuk menduduki Baku pada tengah malam pada 20 Januari 1990. Penduduk kota, yang melihat tank datang sekitar pukul 5 pagi, mengatakan pasukan yang datang tersebut melepaskan tembakan kepada mereka.[93] Laporan Shield yang ditulis oleh komisi independen dari kejaksaan militer Uni Soviet, menolak adanya klaim militer Soviet yang mengklaim adanya tembakan balasan dari demonstran, serta tidak menemukan bukti bahwa mereka yang memblokade jalan-jalan ke Baku dipersenjatai.[93] Pemerintah lalu memberlakukan jam malam, dan terjadilah bentrokan kekerasan antara tentara dan demonstran FRA. Peristiwa tersebut menyebabkan kematian 120 warga Azerbaijan dan 8 tentara MVD.[94] Dalam peristiwa tersebut kekuasaan Partai Komunis Azerbaijan semakin melemah, sehingga akibatnya pasukan MVD yang dikirim tersebut malah bertugas untuk mengamankan kekuasaan partai daripada melindungi penduduk etnis Armenia.[95] Peristiwa yang nantinya lebih dikenal dengan nama Januari Hitam tersebut merusak hubungan antara pemerintah Azerbaijan dan pemerintah pusat.

Pertempuran Qazakh

Di wilayah Armenia, Azerbaijan memiliki sejumlah eksklave yaitu Yukhari Askipara, Barkhudarli dan Sofulu di barat daya dan eksklave Karki di Nakhchivan. Pada awal 1990, jalan yang berada di sekitar desa perbatasan Baganis, sering mendapat serangan dari anggota milisi Azerbaijan.[96] Pada waktu yang sama, pasukan Armenia menyerang eksklave-eksklave Azerbaijan tersebut dan desa perbatasan rayon Qazakh dan rayon Sadarak yang berada di daratan Azerbaijan. Pada 26 Maret 1990, sejumlah mobil yang berpenumpang paramiliter Armenia tiba di desa perbatasan Baganis, lalu pada senja harinya, mereka kemudian melewati garis perbatasan kedua wilayah dan memasuki sebuah desa Azerbaijan, Bağanis Ayrum. Pasukan Armenia tersebut kemudian membakar 20 rumah dan membunuh 8-11 penduduk desa Azerbaijan tersebut.[97] Mayat-mayat korban serangan tersebut, seperti satu keluarga dengan bayinya ditemukan di reruntuhan rumah-rumah yang telah terbakar. Ketika pasukan MVD Soviet tiba di Bağanis Ayrum, pasukan penyerang tersebut telah melarikan diri.[96]

Pada 18 Agustus 1990, milisi Armenia terlihat berkerumun di garis perbatasan kedua wilayah. Keesokan harinya, pasukan tentara Armenia memborbardir desa Yuxarı Əskipara, Bağanis Ayrum, Aşağı Əskipara dan Quşçu Ayrım yang berada di Azerbaijan dengan menggunakan mortar dan granat berpeluncur roket (RPG) (menurut para saksi mata).[97] Serangan pertama dari pihak Armenia bisa dipukul mundur, tetapi dengan tambahan pasukan yang datang dari Yerevan,[97] pasukan Armenia berhasil merebut Yuxarı Əskipara dan Bağanis Ayrum. Pada 20 Agustus 1990, tentara Uni Soviet dibawah pimpinan Mayjen Yuri Shatalin ditambah dengan sejumlah senjata anti-pesawat, tank dan helikopter bersenjata masuk ke daerah tersebut dan berhasil mengusir pasukan milisi Armenia dari kedua wilayah itu menjelang akhir hari.[97] Menurut Menteri dalam Negeri Soviet (MVD), seorang pasukan MVD dan dua anggota polisi terbunuh serta 9 pasukan dan 13 penduduk sipil terluka. Menurut media Armenia, lima orang militan terbunuh dan 25 orang terluka, sementara itu menurut laporan media Azerbaijan, 30 orang terbunuh dan 100 orang terluka.[97]

Operasi Cincin

Pada awal 1991 Gorbachev mengadakan sebuah referendum khusus di seluruh negara bagian untuk menentukan keputusan apakah republik-republik Soviet akan tetap bersatu lewat Perjanjian Persatuan. Namun pada saat itu juga, sejumlah pemimpin nonkomunis berhasil meraih kekuasaan di beberapa negara bagian, seperti Boris Yeltsin di Russia (Gorbachev tetap sebagai Presiden Uni Soviet), Levon Ter-Petrosyan di Armenia, dan Ayaz Mutalibov di Azerbaijan. Enam republik Soviet termasuk Armenia memboikot referendum tersebut (Armenia sendiri kemudian menyelenggarakan referendum kemerdekaan dan menyatakan kemerdekaannya dari Uni Soviet pada 21 September 1991). Sementara itu, di sisi lain, Azerbaijan menyetujui isi dari referendum tersebut.[47]Sementara itu di saat masing-masing penduduk etnik Armenia dan etnik Azerbaijan yang tinggal di Karabakh mulai mengumpulkan persenjataan (yang didapat dari gudang-gudang senjata yang berada di berbagai wilayah Karabakh) untuk mempertahankan diri masing-masing, Mutalibov meminta bantuan Gorbachev untuk melancarkan operasi militer bersama untuk melucuti senjata milisi-milisi Armenia. Operasi yang dikenal dengan nama Operasi Cincin ini dilakukan bersama oleh pasukan Soviet bersama pasukan OMON Azerbaijan dengan cara mendeportasi secara paksa penduduk etnik Armenia yang tinggal di desa-desa di wilayah Shahumyan,[98] dengan menggunakan pasukan darat, militer, kendaraan lapis baja dan artileri.[99] Sayangnya, deportasi tersebut justru dilakukan dengan penuh pelanggaran HAM seperti yang telah didokumentasikan oleh sejumlah organisasi HAM internasional.[100][101][102]

Operasi Cincin sendiri dianggap oleh pejabat pemerintah Armenia dan Soviet sebagai upaya untuk mengintimidasi penduduk etnik Armenia Nagorno-Karabakh untuk mencabut tuntutan mereka untuk menggabungkan diri mereka dengan Armenia.[47] Namun sayangnya, tafsiran dari pejabat Soviet tersebut salah, dimana pada akhirnya justru akibat kekerasan dalam operasi militer ini, penduduk etnik Armenia mengganggap dan menguatkan anggapan bahwa jalan satu-satunya untuk menyelesaikan Konflik Karabakh adalah dengan perlawanan bersenjata. Perlawanan penduduk etnik Armenia dalam operasi Cincin kemudian mengilhami sukarelawan untuk mulai membentuk detasemen sukarela yang tidak teratur.[51]

Upaya awal mediasi perdamaian

Upaya mediasi perdamaian pertama sendiri dimulai oleh Presiden Rusia Boris Yeltsin dan Presiden Kazakhstan Nursultan Nazarbayev pada September 1991. Setelah sejumlah perundingan damai yang diselenggarakan pada 20-23 September di Baku, Ganja, Stepanakert (Khankendi) dan Yerevan, pihak-pihak yang bertentangan setuju untuk mentandatangani Deklarasi Zheleznovodsk di Zheleznovodsk, Rusia yang didasarkan padan prinsip-rinsip integritas wilayah, tidak mencampuri urusan dalam negeri negara-negara yang berdaulat, serta menaati prinsip hak-hak sipil sebagai dasar perjanjian tersebut. Perjanjian tersebut sendiri ditandatangani oleh Yeltsin, Nazarbayev, Mutalibov, dan Ter-Petrosian.[103] Sayangnya, upaya perdamaian tersebut terpaksa terhenti sementara karena OMON Azerbaijan terus membombardir dan melakukan kekejaman di Stepanakert dan Chapar pada akhir September.[104] Pada akhirnya, setelah sebuah helikopter Azerbaijan yang berpenumpang tim mediator perdamaian dari Rusia, pengamat dari Kazakhstan serta pejabat tinggi Azerbaijan ditembak jatuh, upaya mediasi perdamaian pun mengalami kegagalan dan terpaksa berakhir.[105]

Konflik menjelang keruntuhan Uni Soviet

Pada akhir 1991, milisi Armenia melakukan serangan untuk merebut desa-desa berpenduduk etnik Armenia yang direbut oleh OMON Azerbaijan di bulan Mei-Juli 1991. Pasukan Azerbaijan yang meninggalkan desa-desa tersebut kemudian membakarnya.[106] Menurut sebuah organisasi HAM dari Moskwa, Memorial, akibat serangan pasukan tentara Armenia, ribuan penduduk dari bekas rayon milik Azerbaijan seperti Shahumian, Hadrut, Martakert, Askeran dan Martuni terpaksa meninggalkan rumah mereka, desa-desa lain (seperti Imereti dan Gerevent) dibakar oleh milisi Armenia, dan ditambah dengan sejumlah tindakan kekerasan terhadap warga sipil (seperti di desa Meshali).[106]

Pada saat yang sama pada saat serangan balik dari Azerbaijan, pihak Armenia mulai menargetkan serangan pada desa-desa Azerbaijan. Menurut Memorial, desa Malibeyli and Gushchular yang sering digunakan pasukan Azerbaijan untuk memborbardir Stepanakert,[107][108][109] diserang oleh pasukan Armenia yang menyebabkan sejumlah rumah dibakar dan puluhan orang terbunuh. Kedua belah pihak saling menuduh masing-masing pihak menggunakan desa masing-masing sebagai titik pengumpulan strategis untuk melindungi posisi artileri mereka.[106] Pada 19 Desember, pasukan MVD mulai meninggalkan Nagorno-Karabakh, yang selesai dilakukan pada 27 Desember.[110] Dengan runtuhnya Uni Soviet dan keluarnya pasukan MVD Soviet dari Nagorno-Karabakh, situasi di daerah konflik pun menjadi tidak terkendali.

Kekosongan persenjataan

Kedua pihak yang berkonflik yang melihat tanda-tanda Keruntuhan Uni Soviet semakin nyata di akhir 1991, mulai berusaha membangun persenjataan dengan merebut senjata dari gudang senjata yang berada di berbagai wilayah di Karabakh. Awalnya perebutan persenjataan ini lebih menguntungkan Azerbaijan, hal ini dikarenakan doktrin militer Soviet pada masa Perang Dingin yang menyatakan bahwa Armenia akan menjadi wilayah pertempuran saat serangan anggota NATO Turki. Hal ini membuat divisi yang ditempatkan di wilayah RSS Armenia hanya tiga dan tanpa pangkalan udara, sedangkan Azerbaijan sendiri punya lima divisi dan lima pangkalan udaram ditambah dengan Armenia yang hanya memiliki 500 gerbong amunisi dibandingkan jumlah 10.000 gerbong amunisi yang dimiliki Azerbaijan.[25]

Keluarnya pasukan MVD pada waktu yang sama juga meninggalkan sejumlah amunisi dan kendaraan lapis baja kepada penduduk etnik Armenia dan etnik Azerbaijan. Pasukan-pasukan pemerintah yang dikirim Gorbachev sendiri berasal dari republik-republik Soviet yang lain dan mereka sudah ingin meninggalkan wilayah Karabakh. Pasukan-pasukan ini, kebetulan merupakan pemuda yang mengikuti wajib militer dan miskin, yang menjual senjatanya datau kendaraan lapis bajanya demi uang atau hanya demi vodka. Akibat gudang senjata dan persenjataan yang dibiarkan begitu saja tanpa diawasi, sejumlah ahli mengganggap kebijakan Gorbachev menjadi penyebab utama dari konflik ini.[111] Persenjataan tersebut kemudian dibeli oleh Azerbaijan dalam jumlah besar. Menurut laporan Menteri Luar Negeri Azerbaijan pada November 1993, Azerbaijan telah membeli 286 tank, 842 kendaraan lapis baja dan 386 artileri dalam kekosongan kekuasaan tersebut. [112] Impor senjata asal Barat yang terjadi kemudian didorong oleh kemunculan pasar gelap.[113]

Kebanyakan persenjataan sendiri dibuat oleh Rusia atau berasal dari bekas negara Blok Timur, ditambah dengan sejumlah improvisasi pada kedua belah pihak. Azerbaijan sendiri diberikan bantuan militer dari Turki, Israel dan sejumlah negara Arab.[41] Di lain pihak, Armenia sendiri dibantu oleh diaspora Armenia dalam jumlah besar, bahkan diaspora ini kemudian berhasil mendorong Kongres Amerika Serikat untuk mengesahkan rancangan undang-undang UU Dukungan untuk Kebebasan Pasal 907 sebagai respon atas blokade Azerbaijan atas Armenia, sehingga AS melarang segala bentuk bantuan militer dari AS kepada Azerbaijan pada tahun 1992.[114] Azerbaijan mengganggap Rusia awalnya membantu Armenia, namun kemudian pihak Armenia dianggap "paling baik menggunakan persenjataan militer Soviet dibanding lawannya".[111]

Pada 26 Desember 1991, Mikhail Gorbachev mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Uni Soviet, yang berarti mengakhiri keberadaan negara komunis terbesar tersebut. Pengunduran diri Gorbachev sendiri yang disusul pernyataan kemerdekaan dari republik-republik Soviet yang tersisa seperti Ukraina, Belarus dan Rusia, tampak menghilangkan hambatan antara Armenia dan Azerbaijan untuk berperang dalam skala penuh. Sebulan sebelumnya, pada 21 November, Parlemen Azerbaijan telah mencabut status otonom Karabakh dan mengganti nama ibukotanya menjadi Xankandi. Pemimpin parlemen Karabakh (yang berasal dari etnik Armenia) menanggapinya dengan mengadakan sebuah referendum pada 10 Desember (yang diboikot etnik Azerbaijan di Karabakh) yang isinya mendukung penuh kemerdekaan Karabakh dari Armenia. Selanjutnya, pada 6 Januari 1992, Karabakh memutuskan menyatakan kemerdekaannya dari Azerbaijan.[47]

Namun, penarikan pasukan MVD Soviet dari Nagorno-Karabakh di wilayah Kaukasus hanya bersifat sementara. Pada Februari 1992, terbentuklah Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS) yang anggotanya berasal dari mayoritas bekas negara-negara bagian Uni Soviet. Azerbaijan sendiri tidak bergabung dalam CIS, sementara Armenia sebaliknya karena menghindari serangan dari Turki dalam konflik Karabakh. Masuknya Armenia dalam CIS membawanya ikut "payung keamanan bersama" organisasi ini. Pada Januari 1992, pasukan CIS mendirikan markas baru mereka di Stepanakert dan mengambil peran yang sedikit lebih aktif dalam pemeliharaan perdamaian, menggabungkan unit-unit lama tentara Soviet, termasuk Resimen Senapan Bermotor ke-366 dan elemen-elemen dari Tentara Keempat Soviet.[55]

Membangun angkatan bersenjata

Tentara Armenia di Karabakh pada 1994, mengenakan helm pertempuran Soviet dan memegang senjata AK-74
Pasukan Azerbaijan dalam perang, 1992

Pertempuran sporadis antara Armenia dan Azerbaijan semakin meningkat setelah Operasi Cincin, dimana kedua belah pihak saling merekrut ribuan sukarelawan ke dalam pasukan improvisasi dari kedua belah pihak. Banyak orang Armenia yang membandingkan kelompok separatis Armenia di Karabakh dengan tokoh-tokoh sejarah yang legendaris seperti Andranik Ozanian dan Garegin Nzhdeh yang melawan Kesultanan Utsmaniyah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.[115] Selain program wajib militer yang dicanangkan pemerintah kepada seluruh laki-laki berusia 18-45 tahun, banyak orang Armenia lain menjadi sukarelawan untuk bertempur dan membentuk jokat, atau detasemen berjumlah 40 orang, yang digabungkan dengan yang lain, berada dibawah komando letnan kolonel. Pada awalnya, banyak kelompok tersebut memilih sendiri dimana mereka dan kapan mereka bertugas dan bertindak sesuai keinginan masing-masing tanpa pengawasan ketika menyerang atau mempertahankan suatu wilayah.[41] Akibatnya, banyak terjadi pembangkangan, seperti tidak muncul dalam perang, mayat-mayat tentara dirampok, dan minyak diesel serta kendaraan lapis baja dicuri untuk dijual di pasar gelap.[41]

Banyak wanita mendaftar menjadi anggota militer Nagorno-Karabakh, dimana mereka mengambil bagian dalam pertempuran serta memberikan bantuan ringan seperti memberikan pertolongan pertama dan mengevakuasi pria yang terluka dari medan perang.Militer Azerbaijan sendiri berkerja dengan cara yang sama dengan militer lawannya, dengan keadaan yang lebih terorganisir dengan baik pada awal jalannya perang. Pemerintah Azerbaijan juga melakukan wajib militer dan banyak penduduk Azerbaijan dengan antusias mendaftar untuk bertempur dalam perang di awal bulan setelah Uni Soviet runtuh. Tentara Nasional Azerbaijan terdiri dari sekitar 30.000 orang, ditambah 10.000 pasukan paramiliter OMON dan ribuan sukarelawan dari Front Rakyat. Suret Huseynov, seorang penduduk Azerbaijan yang kaya raya, juga berimprovisasi dengan menciptakan brigade militernya sendiri, yaitu pasukan ke-709 Tentara Azerbaijan dan membeli banyak senjata dan kendaraan milik Divisi Senapan Motor ke-23. [112] Mobilisasi juga dilakukan oleh bozqurt yang dipimpin oleh Isgandar Hamidov dan kelompok Serigala Abu-Abu. Pemerintah Azerbaijan juga mengeluarkan banyak uang untuk merekrut tentara bayaran dari negara-negara lain melalui pendapatan yang diperolehnya dari aset ladang minyak di dekat Laut Kaspia.[32]

Kedua belah pihak juga dibantu oleh sejumlah bekas tentara Soviet. Sebagai contoh, salah satu perwira yang paling menonjol di pihak Armenia adalah mantan Jenderal Soviet Anatoly Zinevich, yang bertuga di Nagorno-Karabakh selama lima tahun (1992-1997) dan terlibat dalam perencanaan dan implementasi banyak operasi militer pasukan Armenia. Pada akhir perang ia memegang posisi Kepala Staf Angkatan Bersenjata Republik Artsakh. Perkiraan jumlah angkatan perang dan kendaraan militer yang dimiliki oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik pada tahun 1993-1994 adalah:[24]

 Armenia +  Nagorno-Karabakh  Azerbaijan
Personil militer20,000 (8,000 + 12,000)[24]64,000
Artileri177–187 (160–170 + 17)[26]388[26]–395[33]
Tank90–173 (77–160 + 13)[26]436[26]–458[33]
Kendaraan pengangkut lapis baja290–360(150[26]–240 + 120)558[26]–1,264[33]
Kendaraan tempur lapis baja 39[26]–200 + N/A389[26]-480
Pesawat tempur3[26] + N/A63[26]–170
Helikopter13[26] + N/A45–51

Dikarenakan Armenia tidak memiliki perjanjian kerjasama dengan Rusia (yang ditandatangani kemudian pada 1997 dan 2010), dan juga dikarenakan CSTO masih belum terbentuk, Armenia harus melindungi perbatasannya dengan Turki secara mandiri. Selama jalannya perang, mayoritas personil dan persenjataan Armenia harus bertahan di wilayah daratan Armenia untuk menjaga perbatasannya untuk mewaspadai kemungkinan adanya agresi Turki.[26]

Dalam perbandingan militer secara keseluruhan, jumlah pria yang memenuhi syarat untuk dinas militer di Armenia, dalam yang berusia 17-32 tahun berjumlah 550.000 orang, sedangkan di Azerbaijan ada 1.3 juta orang. Sebagian besar tentara pria dari kedua belah pihak telah bertugas di Tentara Soviet dan dengan demikian juga memiliki beberapa pengalaman militer sebelumnya, termasuk dalam perang Soviet sebelumnya di Afganistan. Di tentara etnik Armenia Karabakh, sekitar 60% personilnya telah bertugas di Angkatan Darat Soviet sebelumnya.[24] Namun, bagi etnik Azerbaijan di militer Soviet, mereka justru didiskriminasi dimana mereka kebanyakan bekerja di batailon konstruksi dibanding di korps pertempuran.[116] Meskipun sudah dibantu dengan adanya akademi militer dan sekolah angkatan laut di Azerbaijan, kurangnya pengalaman militer seperti di atas membuat pasukan Azerbaijan terlihat tidak siap dalam menghadapi perang.[116] Militer Azerbaijan kemudian juga dibantu oleh jenderal perang Afganistan, Gulbuddin Hekmatyar. Bantuan dari Afganistan untuk Azerbaijan sendiri direkrut di Peshawar oleh komandan perang Fazle Haq Mujahid kemudian beberapa kelompok pasukan dikirim ke Azerbaijan untuk tugas yang berbeda.[11][117]

Catatan kaki

Daftar pustaka